BAB I
PENDAHULUAN
Dinamika sejarah Al-Qur’an diwarnai dengan ciri khas berbagai
periode tertentu, seperti dalam periode pertengahan yang bercabang menjadi
corak-corak tafsir. Corak merupakan objek formal yang tidak dapat dipisah dari
kajian tafsir dan tujuan mufasir. Seorang mufasir pasti mempunyai kecenderungan
tertentu dalam membukukan tafsir. Terlepas dari kelebihan kekurangan disiplin
ilmu yang diambil, tafsir pasti mempunyai tujuan dan signifikansi bagi pembaca.
Jika tidak, kita akan kebingungan menguji keabsahannya dan sulit untuk mencapai
gagasan ide yang ingin dicapai.
Salah satu corak era pertengahan
adalah Tafsir Falsafi. Filsafat saat itu berkembang pesat dibawah kejayaan
dinasti-dinasti Islam dan tentu saja sedikit banyak dari pengaruh pemikiran
barat. Terlepas dari perdebatan penerimaan filsafat dalam agama, filsafat
memberikan kontribusi penting dalam sejarah tafsir Al-Qur’an. Namun kebanyakan
filosof jarang yang membukukan Tafsir Al-Qur’an secara lengkap. Hanya saja,
mereka mendasarkan teori filsafatnya dengan kandungan ayat Al-Qur’an.
Maka dari itu, pembahasan tentang
tafsir falsafi ini dirasa penting untuk didalami. Mengingat begitu banyak
filosof muslim yang mengeluarkan teori filsafat dan diperkuat dengan ayat
Al-Qur’an.
1)
Bagaimana
penjelasan dari Tafsir corak falsafi?
2)
Bagaimana
karakteristik tafsir corak falsafi?
3)
Siapa
tokoh-tokoh terkait tafsir corak falsafi?
4)
Bagaimana
pengaruh perbedaan madzab terhadap penafsiran?
5)
Bagaimana
contoh dari tafsir corak falsafi?
BAB II
ISI
Ada beberapa pengertian
yang di ungkapkan para ulama dalam mendefinisikan tafsir falsafi, antara lain:
1.
tafsir falsafi
adalah upaya penafsiran al-Qur’an dikaitkan dengan persoalan-persoalan
filsafat.[1]
2. menafsirkan
ayat-ayat al-Qur`an berdasarkan pemikiran atau pandangan falsafi, seperti
tafsir bi al-Ra`yi.[2]
3. Seperti
halnya Adz-Dzahabi, Dr. Abdul Mustaqim dalam bukunya Dinamika Sejarah Tafsir
Al-Quran menjelaskan bahwa Tafsir Falsafi adalah upaya penafsiran
Al-Quran yang dikaitkan dengan persoalan-persoalan filsafat. sebagai
konsekuensinya, tafsir falsafi banyak didominasi oleh teori-teori filsafat
sebagai paradigmanya dan ketika menafsirkan ayat-ayat Al-Quran menggunakan
teori-teori filsafat. dalam hal ini ayat-Al-Quran lebih berfungsi sebagai
justifikasi pemikiran filsafat, bukan pemikiran yang menjustifikasi ayat
Al-Quran.[3]
Pendekatan yang digunakan
dalam tafsir falsafi adalah penggunaan akal yang lebih dominan sehingga
ayat-ayat yang ada dipahami dengan rasio mufasir sendiri. Menanggapi hal ini
umat Islam terbagi menjadi dua kelompok, pertama golongan yang menolak dan yang
menerima corak tafsir ini.
Kelompok Pertama,
mereka yang menolak ilmu-ilmu yang bersumber dari buku-buku karangan para
filosof. Mereka menolaknya karena menganggap bahwa antara filsafat dan agama
adalah dua bidang ilmu yang saling bertentangan sehingga tidak mungkin
disatukan.
Kelompok
Kedua, mereka yang mengagumi filsafat. Mereka menekuni dan menerima filsafat
selama tidak bertentangan dengan norma-norma Islam. Mereka berusaha memadukan
filsafat dan agama serta menghilangkan pertentangan yang terjadi di antara
keduanya.[4]
2. Latar Belakang Kemunculan
Latar belakang
munculnya tafsir corak falsafi, jika kita melihat secara sosio-historis seperti
yang dijelaskan dalam buku Madzahibut Tafsir karya Abdul Mustaqim dijelaskan
bahwa awal mula tafsir ini dimulai saat pemikiran filosofis masuk kedalam islam
melalui filsafat yunani yang dijumpai ahli-ahli fikir islam di suria,
mesopotamia, persia, dan mesir. Kebudayaan dan falsafat yunani datang ke
daerah-daerah itu dengan ekspansi alexander yang agung ke timur di abad ke 4
sebelum kristus. Politik alexander untuk menyatukan kebudayaan yunani dan
persia meninggalkan bekas besar di daerah-daerah yang pernah dikuasainya dan
kemudian timbulah pusat-pusat kebudayaan yunani di timur, seperti alexandria di
mesir, antioch di suria, jundisyapur di mesopotamia, dan basra di persia.[5]
Hal ini adalah awal mula yang menjadi sebab timbulnya tafsir corak falsafi.
Setelah penerjemahan
buku filsafat dari barat, umat Muslim menjadi dimudahkan untuk mempelajari
filsafat yang kemudian diadopsi kedalam Islam sebagai teori-teori yang kemudian
meminta legitimasi menggunakan al-Qur’an. Terdapat reaksi-reaksi dari kaum
Muslimin atas tanggapan masuknya filsafat kedalam Islam. Pertama, respon yang
sangat antusias di kalangan para filosof, sebab mereka ingin melakukan al-tawfiq
(mengkompromi antara filsafat dan agama) bahwa keduanya tidak saling
bertentangan. Kedua, sikap yang gembira, yaitu oleh para kaum teolog
(mutakallimun). Mereka menggunakan metode-metode filsafat untuk ilmu kalam yang
berguna mempertahankan akidah dari serangan musuh yang menggunakan metode dari
filsafat yunani. Ketiga, sikap yang sangat kritis, yaitu dari ahli fikih
(fuqaha) dan ahli bahasa (lughawiyyun) yang tidak suka dengan kedatangan
filsafat yunani ini. Mereka menolak teori-teori filsafat tertentu lantaran
mereka melihat teori-teori ini bertentangan dengan keyakinan teologis mereka.
Mereka umumnya membatasi kebenaran hanya dalam interpretasi fikih dan teologis.
Sementara para kaum sufi, cenderung bersikap tenang tidak terlalu reaktif, tapi
diam-diam mereka ternyata juga terpengaruh dengan filsafat yang kemudian
melahirkan corak sufi-falsafi.[6]
Karakter dari corak tafsir falsafi
adalah penggunaan ilmu filsafat sebagai penafsiran Al-Qur’an. Cara yang
ditempuh adalah dengan mena’wil teks-teks agama dan hakikat hukumnya yang
sesuai dengan pandangan-pandangan filsosofi. Selain itu juga menggunakan metode
pensyarahan teks-teks agama dan hakikat hukumnya berdasarkan
pandangan-pandangan filosof.[7]
Di dalam corak tafsir ini, berbagai
aliran filsafat menjadi variabel penting di dalam menafsirkan al-Quran.
Pengertian filsafat tidak hanya membahas tentang metode berfirkir saja,
melainkan lebih dari itu filsafat telah menjadi disiplin ilmu yang membicarakan
persoalan hubungan manusia dengan Tuhan dan keberadaan Tuhan.
Ranah nuansa tafisiran filsafat adalah
mengungkap pandangan al-Quran secara komprehensif tentang keyakinan dan sistem
teologi. Namun, proses yang dilakukan bukan dalam rangka pemihakan terhadap
madzhab tertentu, yang sudah terbangun mapan dalam sejarah, tetapi lebih pada
upaya menggali secara serius bagaimana al-Quran berbicara dalam soal-soal
teologis itu dengan melacak tema-tema pokok, serta konteks-konteks di mana
terma itu dipakai al-Quran. Pendekatan yang digunakan dalam tafsir falsafi
adalah penggunaan akal yang lebih dominan sehingga ayat-ayat yang ada dipahami
dengan rasio mufasir sendiri.
Muhammad Husain al-Dzahabi menyebutkan bahwa sebenarnya tidak ditemukan
adanya ahli filsafat muslim yang menulis tafsir Al-Qur’an secara lengkap. Yang
ada hanyalah pendapat-pendapat dari tokoh-tokoh mereka yang menafsirkan
Al-Qur’an secara terpisah dan dikemukakan dalam buku-buku filsafat karangan
mereka.Di antara kitab tafsir yang ditulis berdasakan corak falsafi ini, yaitu
dari golongan pertama yang menolak tafsir falsafat adalah:
1. Mafatih
Al-Ghaib, karyaFakhr al-Razi (w. 606 H)
2. Al-Isyarat, karya Imam al-Ghazali (w. 505 H)
Sedangkan dari golongan kedua seperti komentar al-Dzahabi tidak pernah
mendengar bahwa diantara filosof mengarang kitab tafsir al-Qur’an secara
lengkap, kerana sejauh ini tidak lebih dari sebagian pemahaman terhadat
al-Qur’an secara parsial yang termuat dalam kitab falsafah yang mereka tulis.[8]Penulisansecaraparsialtafsirfalsafiantaralain:
1. Fushush
al-Hikam, karya al-Farabi (w. 339 H)
2. Rasail Ibn Sina,
karya Ibn Sina (w. 370 H)
Dalam makalah ini kami akan lebih membahas lebih rinci mengenai kitab
tafsir bercorak falsafi dari tokoh yang menolak filsafat yaitu Fakhr al-Din
al-Razi dalam kitabnya Mafatih al-Ghaib. Setelah
itu kami akan mencantumkan beberapa tokoh tafsir falsafi dan pemikiran mereka
berkaitan dengan filsafat.
· Mafatih al-Ghaib
karya Fakhr al-Din al-Razi
a.
MetodedanCorakPenafsiranTafsir Mafātīh
al-Ghaib
TafsiriniditulisolehFakhruddinar-RazisebagaitanggapanterhadaptafsirideologikaranganZamakhsyari
(KitabTafsir al-Kasysyaf).DimanaFakhruddinar-Razi yang
beraliranAsy’ariyahberusahamempertahankanalirannya (mazhabSyafi’i)
danmencari-carijalanuntukmembenarkannya.
Tafsirar-Razitermasukdalammetode Tahlili.Adapunmetode
Imam ar-Razidalamtafsirnyadapatdisimpulkansebagaiberikut:
1) Imam
ar-Razitelahmencurahkanperhatianuntukmenerangkanhubungan-hubunganantarasatuayatdenganayatlainnyadanhubungansatusuratdengansatusurat
yang mengikutinya. Adakalanyabeliautidakmengemukakansatuhubungansaja,
melainkanlebihdarisatuhubungan.
2) Imam
ar-Raziberbicarapanjanglebardalammenyajikanargumentasi.
Sebagianpembicaraanitumenjadikankitabnyatakberbedadengankitabfilsafat,
matematikadanilmueksakta, sampai-sampai Ibn ‘Atiyahberkatadalamkitab Imam
ar-Razi, “segalanyaadakecualitafsiritusendiri.”Namunsesungguhnya, sekalipun
Imam ar-Razibanyakberbicaratentangmasalah-masalahilmukalamdantinjauan-tinjauanalamsemesta,
beliauberbicaratentangtafsir al-Quran.
3) Mazhabalirannya, ialah Imam Nasir ar-Razi,
danmenentangkerasmazhabMu’tazilahdanmembantahnyadengansegalakemampuannya.
SebabitubeliautidakpernahmelewatkansetiapkesempatanuntukmenghadapkanbantahanterhadapmazhabMu’tazilahitu.beliaubentangkan pendapat-pendapatmereka,
kemudianbeliauserangpendapat-pendapattersebutdanbeliaubongkarkelemahan-kelemahannya,
walaupunadakalanyabantahan-bantahanbeliautidakcukupmemadaidanmemuaskan. Beliaumenyorotimazhab-mazhabfiqhdalammenafsirkanayat-ayathukum,
dengansegalakemampuanbeliau,
dengantujuanmenguatkanmazhab-mazhabSyafi’ikarenabeliaumemangbermazhabSyafi’i.
4) Beliau juga
kadang-kadangsukamelanturdalammembahasmasalah-masalahushulfiqhdanmasalah-masalah
yang berhubungandenganilmunahwudanbalaghah. Hanyasajabeliautidakberlebih-lebihandalamhal-haltersbutseperti
yang beliaulakukandalammasalah-masalaheksaktadanilmu-ilmukealaman.[10]
Tafsir Mafātīh al-Ghaib atau yang
dikenal sebagai Tafsir al-Kabir dikategorikan sebagai tafsir bi
al-ra’y, yaitu tafsir yang dalam menjelaskan maknanya mufassir hanya
berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulan yang didasarkan oleh ra’y semata[11] dengan pendekatan Mazhab Syafi’iyyah dan
Asy’ariyah.
·
Abu Nashr Muhammad Ibnu Muhammad al-Farabi dan Pemikirannya
Al-Farabilahir di Wasij, suatudesa di Farab (Transoxania) di tahun 870 M.
menurutketerangandiaberasaldariTurkidan orang tuanyaadalahseorangJenderal,
iasendiripernahmenjadi hakim. Dari Farab, iakemudianpindahke Baghdad, pusatilmupengetahuan
di waktuitu.DisanaiabelajarkepadaBishr Matta IbnuYunus (seorangpenterjemah)
dantinggal di Baghdad selama 20 tahun. Kemudianiapindahke Aleppo dantinggal di
istanaSaif Al-Daulahberkonsentrasitentangilmupengetahuandanfilsafatdiwaktuitu.
Dalamumur 80 tahun Al-Farabiwafat di Aleppo padatahun 950 M.[12]
Mengenai pemikirannya, dia menafsirkan al-Qur’an dengan filsafat murni,
suatu pemahaman bahwa hakikat al-Qur’an sebagai simbol – simbol dan
isyarat – isyarat yang tidak dapat dipahami oleh kebanyakan orang dan
tidak dapat dimengerti oleh orang-orang yang nalarnya terbatas. Oleh karena itu
menurutnya, nabi menjelaskan dengan gaya bahasa yang sesuai dengan daya tangkap
mereka, yaitu dengan gaya bahasa inderawi demi kemaslahatan mereka meskipun
tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya, dan itu menurut para filsuf tidak
dianggap sebagai suatu kebohongan.[13]
Artinya adalah bahwa semua ayat -
ayat al-Qur’an menurut para filsuf harus di tafsir atau di takwil sesuai dengan
filsafat, sehingga mereka menetapkan bahwa alam akhirat adalah bersifat aqli dan rohani, bukan
jasmaniah. Atas dasar itulah mereka menolak konsep pemikiran yang
menyatakan adanya kebangkitan jasmani, mengingkari kelezatan jasmani di surga
dan penderitaan jasmani di neraka, sebagaimana yang dideskripsikan al-Qur’an
dan as-Sunah.[14]
Diantarapenafsiran yang dilakukanoleh
al-Farabiadalahpenafsiran kata al-zhahir dan kata al-bathin pada
Q.S. Al-Hadidayat 3:
"Dialah yang
Awaldan yang akhir yang Zhahirdan yang Bathin dandiaMahamengetahuisegalasesuatu".
Penafsiran al-Farabiterhadapayatinibercorakplatonik, yakniargumen Plato
tentangkekekalanalam.Olehkarenaitu al-Farabimenafsirkankepemulaan Allah
darisegibahwasegala yang adadanmengakibatkanadanya yang lain,
itusemuaadalahberasaldari-Nya. Allah adalah yang pertamadarisegiada-Nya.Ia yang
pertamadarisetiapwaktu yang keberadaannyabergantungpada-Nya, telahadawaktuketikatidakadasesuatuselaindiri-Nya.
·
Abu Ali Husain Ibnu Abdillah Ibnu Sina
dan Pemikirannya
Ibnu Sina lahir di Afsyana, suatu tempat yang terletak di Bukhara tahun 980
M. Orang tuanya adalah sorang pegawai negeri atau pegawai pemerintahan pada
pemerintahan Dinasti samani. Menurut sejarah hidup yang ditulis oleh muridnya –
Jurjani – dari semenjak kecil Ibnu Sina telah banyak mempelajari ilmu – ilmu
pengetahuan yang ada di zamannya, seperti fisika, matematika, kedokteran, hukum
dan termasuk juga ilmu tafsir al-Qur’an. Dia meninggapl di Isfahan, pada tahun
1037 M.
Contoh tafsir yang dilakukan Ibnu Sina adalah penafsiran al-jannah(surga)
sebagai alam akal, an-nar (neraka) sebagai alam imajinasi, dan
alam konkretnya adalah alam kubur. Sedangkan kata ash-shirath diartikan
sebagai jalan akal. Berikut adalah contoh penafsiran yang dilakukan oleh Ibnu
Sina, dalam menafsirkan surat an-Nur ayat 35 :
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah,
adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus yang di dalamnya ada Pelita besar.
Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya)
seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya,
(yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak
pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir
menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis),
Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah
memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui
segala sesuatu.”
Ibnu Sina mengatakan bahwa Nur mempunyai makna ganda,
denotatif dan konotatif. Makna denotatifnya adalah penerangan yang sempurna,
sedangkan makna konotatfnya adalah kebaikan dan faktor penyampai kepada
kebaikan. Makna yang dimaksudkan disini adalah kedua-duanya, yakni bahwa alloh
SWT adalah dzat yang maha baik dan penyebab dari semua kebaikan. Ungkapan as-samawati
wal-ardhi merupakan ungkapan dari universalitas. Kata misykat (lentera)
merupakan ungkapan dari akal material (al-aqlul-huyuli) dan
jiwa yang berakal. Karena misykat itu dekat dengan dinding,
maka daya pantulnya lebih kuat dan cahayanya lebih banyak. Demikian juga dengan
akal, sebenarnya menyerupai cahaya (nur).
Yang dilambangkan dengan misykat (lentera) adalah akal
material yang kaitannya dengan akal mustafad (acquired
intelect)adalah bagaikan kaitan misykat dengan cahaya.
Sementara mishbah(lampu) sebenarnya merupakan ungkapan dari
akal mustafad itu sendiri. Hubungan akal mustafad dengan akal material adalah seperti hubungan misbah dengan misykat.
Adapun kata fi zujajah (kaca), ditafsirkan bahwa hubungan
antara akal material dan akal mustafad pada sisi lain adalah
seperti hubungan yang terjadi antara penerang dan mishbah. Hubungan
ini tidak dapat dicapai kecuali dengan perantara sumbu. Dari sumbu itu
muncul az-zujajah karena dia adalah penerang yang menerima
cahaya.[15]
·
Al-Kindi
bin Ishaqi dan Pemikirannya
Al- Kindi bin Ishaq atau
nama legkapnyaAl-Kindi bin Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq Al-Kindi ialah
ilmuan dan filosof besar Islam yang hidup pada masa kekhalifahaan Bani
Abbasiyah. Ia lahir pada 809 M dan wafat pada 873M. Ia masih keturunan suku
Kindah, sebuah suku besar di Arab Selatan pada masa sebelum Islam.
Al-Kindi hidup selama
pemerintahan Bani Abbasyiah, yaitu Al-Amin (809-813M),
Al-Ma’mun (813-833M), Al-Mu’tasim (833-842M), Al-Watsiq (842-847M), dan Al-Mutawakil (847-851M). Selama kurun waktu itu,
Al-Kindi banyak melahirkan karya dibidang filsafat, matematika (geometri),
agama, asrtonomi, logika dan kedokteran.
Berkenaan dengan
teori filsafat, menurut al-Kindi Tuhan berada di luar segala yang dapat diserap
panca indera dan akal pikiran. Satu-satunya sifat yang paling tepat bagi Tuhan
adalah Dia itu Esa, Tunggal, sifat inilah yang membedakan antara ciptaan dan
penciptanya. Al-Kindi mengemukakan teori ini berdasar logika mantiq. Menurutnya
Tuhan disebut al haq al awwal
(kebenaran pertama). Kebenaran adalah kesesuaian antara apa yang ada di dalam
akal dan di luar akal. Menurutnya di alam ini benda-benda memiliki bagian
(juz’i) yang disebut ainiyah, dan
hakikat kulli yang disebut mahiyah.
Tuhan tidak termasuk keduanya karena bukan termasuk jenis atau spesies.[16]
5.
Pengaruh
Perbedaan Madzhab Dalam Penafsiran
Perbedaan pendekatan
dan metodologi dalam membaca al-Qur’an akan menghasilkan penafsiran yang
berbeda. Seorang mufassir yang menggunakan pendekatan sosiologis akan memiliki
hasil yang berbeda dengan mufassir yang menggunakan pendekatan semantik
(linguistik). Begitu juga perbedaan madzhab,
baik kalam ataupun fiqh, juga dapat mempengaruhi hasil
penafsiran. Sebuah madzhab tidak ada bedanya dengan sebuah metodologi, hal ini
disebabkan setiap madzhab memiliki batasan teori terhadap suatu hal tertentu.
Semisal Mu’tazilah yang menganggap bahwa keesaan Allah menghalangi-Nya untuk
memiliki sifat. Beda halnya dengan Sunni yang meyakini bahwa Allah memiliki
sifat-sifat yang sempurna.[17]
Bergitu juga dengan
permasalahan melihat Allah kelak di akhirat. kaum mu’tazilah menganggap bahwa
melihat Allah merupakan suatu hal yang mustahil. Disisi yang lain, aliran Sunni
berpendapat bahwa melihat (ru’yatullah) itu adalah mngkin. Perbedaan ajaran ini
berimplikaasi terhadap perbedaan penafsiran dua aliran tersebut terhadap surat
al-Qiyamah: 23
4n<Î)$pkÍh5u×otÏß$tRÇËÌÈ
Menurut
al-Razi, sebagai perwakilan Sunni, klimat di atas menunjukkan taqdim
al-maf’ul yang bermakna khusus. Sehingga dia menafsiri bahwa di akhirat
kelak, umat muslim akan melihat kepada dzat Allah.[18]
Sedangkan menurut Zamakhsyari, seorang Mu’tazli, kalimat itu bukanlahtaqdim
al-maf’ul, melainkan adanya pentakdiran terhadap kata ni’mat. Begitu juga
dengan penjelasan kata “Nadzirah”menurut al-Razi kata itu
berarti “ru’yah”, sedangkan menurut Zamakhsyari
berarti “al-Raja”.[19]
Begitu
juga dengan surat al-Taubah 123
$pkr'¯»ttûïÏ%©!$#(#qãZtB#uä(#qè=ÏG»s%úïÏ%©!$#Nä3tRqè=tÆÏiBÍ$¤ÿà6ø9$#(#rßÉfuø9uröNä3ÏùZpsàù=Ïñ4(#þqßJn=÷æ$#ur¨br&©!$#yìtBúüÉ)GßJø9$#ÇÊËÌÈ
Ayat ini merupakan perintah untuk memerangi orang kafir yang paling
dekat dengan kaum muslimin. kaum kafir pada ayat ini merujuk pada bani
Quraidzah, Nadzir, ataupun kaum arab hijazy. Pendapat ini disepakati oleh
zamakhsyari dan al-Razi. Sedangkan Ibn Arabi berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan “orang kafir yang dekat dengan kamu” adalah teman dalam diri
manusia yang selalu mendampinginya yang tidak lain adalah hawa nafsu. Hawa
nafsu sendiri adalah musuh utama dan paling besar sebagaimana yang telah
dijelaskan Rasulullah.
v Contoh tafsir ibn Rusyd
Jika
alam ini baru dan yang mengadakan adalah Allah maka pertanyaan yang muncul,
bagaimana membuktikan bahwa Allah itu esa. Dalam hal ini rupanya Ibnu Rusyd
menggunakan argumen teologis yang biasa dipakai oleh kaum teolog, yaitu Surat
al-Anbiya’, ayat 22;
öqs9tb%x.!$yJÍkÏùîpolÎ;#uäwÎ)ª!$#$s?y|¡xÿs94z`»ysö6Ý¡sù«!$#Éb>uĸöyèø9$#$£JtãtbqàÿÅÁtÇËËÈ
“Sekiranya ada di langit dan di bumi
tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah Rusak binasa. Maka Maha
suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.”
Sebagaimana
halnya para teolog di sini ibn Rusyd menjelaskan ayat tersebut dengan al-Qiyas
‘ala al-gho’ib bi asy-Syahid yaitu meng-analogkan yang ghaib dengan
yang nyata.
Kata Ibnu Rusyd: “Sudah menjadi hal yang maklum bahwa berkumpulnya
dua penguasa di satu negeri menyebabkan rusaknya negeri tersebut”. Demikian
pula jika di alam ini ada dua tuhan bahkan lebih niscaya akan alam ini akan
rusak, namun kenyataan membuktikan bahwa alam ini tetapberjalan baik dan
teratur, berartl Allah itu esa. Ibnu Rusyd kemudian memperkuat loglka tersebut
dengan ayat lain yaitu: “Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan
sekali-kali tidak ada tuhan yang lain besertanya, kalau ada Tuhan
besertanya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang
diciptakannya dan sebagian dari tuhantuhan itu akan mengalahkan sebagian
yang lain. Maha suci Allah dari apa yang mereka sifatkan. (Q.S:
al-Mukminun: 9).
v Contoh dalam Tafsir Mafatihul Ghoib, karya Ar-Razi.
Dalam
menafsirkan QS. Ad-Dukhon [44]: 17 ;
*ôs)s9ur$¨ZtFsùóOßgn=ö6s%tPöqs%cöqtãöÏùöNèduä!%y`ur×AqßuîLqÌ2ÇÊÐÈ
“Sesungguhnya sebelum mereka telah Kami uji kaum Fir'aun dan telah
datang kepada mereka seorang Rasul yang mulia.”
BAB III
PENUTUP
Tafsir falsafi berati pernafsiran al-Qur’an dengan menggunakan
perserktif falsafah, yaitu tafsir yang didominasi oleh teori-teori
filsafat sebagai paradigmanya. Ada juga yang mendefisnisikan tafsir falsafi
sebagai penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori
filsafat. Hal ini berarti bahwa ayat-ayat al-Qur’an dapat ditafsirkan
dengan menggunakan filsafat. Karena ayat al-Qur’an bisa berkaitan dengan
persoalan-persoalan filsafat atau ditafsirkan dengan menggunakan teori-teori
filsafat.
Adapun awal berkembangnya tafsir falsafah ini, bermula pada saat
ilmu-ilmu agama dan sain mengalami kemajuan, kebudayaan-kebudayaan Islam
berkembang di wilayah-wilayah kekuasaan Islam dan penerjemahan buku-buku asing
ke dalam bahasa Arab digalakkan pada masa khalifah Abbasiyah, diantara
buku-buku yang diterjemahkan adalah buku-buku karangan para filosof seperti
Aristoteles dan Plato. Pada perkembangan selanjutnya para ulama tafsir mencoba
memahami Al-Qur’an dengan metode filsafat tersebut, maka lahirlah metode
falsafi
al-Dzahabi, M. Husein. 1995. Kitâb al-Tafsîr wa al-Mufassirûn.
Juz III. Beirut: Dar al-Fikr.
al-Dzahabi, M. Husein. 1995. Kitâb al-Tafsîr wa
al-Mufassirûn. Juz I. Beirut: Dar al-Fikr.
al-Razi, Fahruddin . Mafatih al-Ghaib, Maktabah al-Syamilah.
Juz 16.
al-Qattan,Manna’ Khalil. Studi
Ilmu-Ilmu Qur’an.
Anwar, Rosihan.
2008. Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia
Katsir,Ibnu. Tafsir al-Qur’anul Karim li Ibni
al-Katsir. Beirut: Maktabah al-Aulad as-Syaikh li At-Turats.
Mustaqim,Abdul. 2014.Dinamika
sejarah tafsir al-Qur’an. Yogyakarta: Adab Press
Praja, Juhaya S. 2000. Tafsir
Hikmah. Bandung : PT Remaja Rosda Karya
Syihab, Quraisy, dkk. 1999. Sejarah dan Ulum Al Qur’an.
Jakarta: Pustaka Firdaus.
Zamakhsyari. al-Kasyaaf, Maktabah al-Syamilah. Juz 7.
[1] Quraisy Syihab
dkk, Sejarah dan Ulum Al Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999),
hlm. 182.
[2]Muhammad Husein
al-Dzahabi, Kitâb al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Beirut: Dar al-Fikr,
1995), Jilid I, hlm. 419.
[3]Abdul
Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Quran, (Yogyakarta: Adab
Press, 2014) hlm. 131-132
[4]Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung : Pustaka Setia,
2008) hal. 169-170
[5]Abdul Mustaqim,
Dinamika sejarah tafsir al-Qur’an,
(yogyakarta: Adab Press, 2014), hlm. 132-133.
[7]Juhaya S. Praja, Tafsir Hikmah, (Bandung :
PT Remaja Rosda Karya, 2000) hal. 15
[8] Muhammad Husein al-Dzhabi, At-Tafsir wa Al-Mufassirun, (Bairut: Dar al-Fikri, 1995), Juz III, hlm. 90.
[9]Al-Majlis al-A’la li al-Syuuni
al-Islamiyah, al-Mausuah al-Qur’aniyah al-Mutakhossisah, (Kairo:
Wazir al-Auqaf, 2003), hlm. 285-286.
[12]Adz-Dzahabi, tafsir wal mufassirun. Hal: 421
[14]IbnuKatsir, Tafsir al-Qur’anul Karim li Ibni
al-Katsir (Beirut: Maktabah al-Aulad as-Syaikh li At-Turats), hlm. 115
[15]DR.
Husein Aziz, MA. Bahasa al-Qur’an Perspektif Filsafat Ilmu.
[16]Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an,
(Yogyakarta:Adab Press, 2014). Hal.135-136
[17]Lihat Prof. KHM
Taib Thahir, Ilmu Kalam, Yogyakarta, hlm. 104
[18]Fahruddin
al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Maktabah al-Syamilah, Juz 16 hlm. 198
[19]Zamakhsyari, al-Kasyaaf,
Maktabah al-Syamilah, Juz 7, hlm. 190
0 komentar:
Posting Komentar