KATA PENGANTAR
Puji Syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat,
taufiq, dan hidayahnya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah mata
kuliah filsafat islam tepat waktu. Shalawat dan Salam selalu tercurahkan kepada junjungan kita nabi Muhammad
SAW yang telah menuntun kita dari gelapnya Zaman jahiliyyah hingga zaman
islamiyah yang terang benderang.
Al-Ghazali
adalah seorang pemikir islam yang hidup antara tahun 1058-1111 M, ketika
pemikiran di dunia uslam memperlihatkan perkembangan dan keragaman yang tinggi.
Sejarah hidupnya menunjukkan bahwa dalamam mencari usaha yang diyakininya,
menempuh proses yang panjang dengan jalan mempelajari hampir seluruh system
pemahaman keagamaan yang ada pada masanya. Sebelum menyerang filsafat, ia
terlebih dahulu mempelajari dan menguasainya. Oleh karena itu Imam Al-Ghazali
dikenal dengan Hujjah al-Islam yang berarti bukti kebenaran islam. Oleh karena
itu imam al-Ghazali adalah salah satu ulama’ yang lengkap dalam berbagai bidang
keilmuan, mulai dari sufi, fiqih, filsafat dan masih banyak lainnya. Imam
al-Ghazali menguasai swmua itu.
Kami
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. H. Fauzan Naif yang telah
memberi kesempatan bagi kami untuk mengkaji tentang filsafat imam al-Ghazali.
Tentu dalam makalah kami masih banyak kesalahan dan jauh dari kata sempurna,
oleh karena itu kami harap pembaca yang budiman, mau memberi kritik dan saran
supaya makalah ini dapat menjadi lebih baik dan bermanfaat.
DAFTAR ISI
COVER.................................................................................................................................
KATA PENGANTAR.......................................................................................................... i
DAFTAR ISI......................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................... iii
A. Latar belakang...................................................................................................... iii
A. Latar belakang...................................................................................................... iii
B. Rumusan Masalah................................................................................................. iii
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................... 1
A. Biografi
Imam Al-Ghazali................................................................................... 1
B. Pemikiran
Imam Al-Ghazali................................................................................. 3
C. Kritik
Imam Al-Ghazali Terhadap
Filosuf...........................................................5
D. Karya
Imam Al-Ghazali...................................................................................... 9
BAB III PENUTUP.............................................................................................................. 11
A. Kesimpulan............................................................................................................. 11
B. Kritik dan Saran...................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................... 12
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada abad ke 5
filsafat mengalami perkembangan filsafat mengalami kemajuan, yang dikatakan
dapat merubah pola pemikiran filsafat islam. Yang banyak dipertentangkan. Hal
ini dibuktikan dengan pemikiran-pemikiran Imam Al Ghazali sebagai pionir
filsafatnya yang dominan dan relevan dengan konsep Islam.
Ketika filsafat
Islam dibicarakan, maka terbayang disana hadir beberapa tokoh yang disebut
filosof muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali,
Ibnu Maskawaih dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini memang tidak bisa
dihindarkan, tidak saja karena dari merekalah kita dapat mengenal filsafat
islam, akan tetapi juga karena mereka benih-benih filsafat Islam dikembangkan.
Dalam makalah
ini, penulis hanya membatasi pemaparan mengenai Al-ghazali, seorang ulama besar
yang pemikirannya sangat berpengaruh terhadap islam dan filsafat Dunia Timur.
Beliau adalah seorang sufi sekaligus seorang theology yang mendapat julukan Hujjah al- Islam. Pemikiran Al-Ghazali
begitu beragam dan banyak, mulai pemikiran beliau dari bidang teolog (kalam),
tasawuf, dan filsafat. Dalam hal ini akan dibahas tentang filsafat Al-Ghazali
yang berkaitan dengan biografi, hasil karya, pemikirannya dan bahkan kritik
beliau terhadap filosof Muslim lainnya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Riwayat hidup Al-Ghazali?
2.
Bagaimana pemikiran filsafat Al-ghazali?
3.
Apa Saja Karya-Karya yang pernah beliau hasilkan?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Imam
Al-Ghazali
Nama
lengkap ialah Abu Dawud Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad
Al-Ghazali ath-Thusi. Ia lahir di thus, Wilayah Kurasan, pada tahun 450 H./1058
M., Ia termasuk salah seorang pemikir Islam yang terbesar dengan gelar Hujjatul
Islam (Bukti Kebenaran Islam) dan Zainud Addhin (Hiasan Agama).
Ayahnya
seorang sufi yang sangat wara’ yang hanya akan makan dari usaha tangannya
sendiri. Kerjanya memintal dan menjual wool, ia meninggal sewaktu anaknya itu
masih kecil. Sebelum meninggal, ia menitipkan al-Gazali dan saudaranya, Ahmad,
pada seorang sufi lain untuk mendapatkan pendidikan dan bimbingan. Beliau menitipkan Al-Ghazali dan kakanya Pada seorang
Sufi tersebut (sahabat karibnya) sambil mengucapkan kalimat penyesalan : “Nasibku sangat malang, karena tidak
mempunyai ilmu pengetahuan, saya ingin kemalangan saya dapat ditebus oleh kedua
anakkku ini, peliharalah mereka dan pergunakan harta warisan yang aku
tinggalkan ini untuk mengajar mereka”.
Pada
mulanya, Al-Ghazali belajar ditempat asalnya, Thus. Disini ia belajar ilmu
Fiqih pada seorang Ulama’ yang bernama Ahmad ibnu Muhammad ar-Razakani. Setelah
itu, ia belajar di jurjan pada imam Abu Nashr al-Isma’ili, dimana ia menulis
suatu ulasan dalam ilmu fiqih.[1]
Bersama
rombongan mahasiswa dari Thus, al-Ghazali melanjutkan studinya di Naisabur pada
seorang ulama terkenal, Imam Al-Haramain Abu al-Ma’ali al Juwaini. Di sini, ia
belajar mazhab-mazhab fikih, retrotika, logika dan juga ilmu filsafat,
sehinggamelebihi kawan-kawannya. Dan setelah imam al-Juwaini meninggal tahun
478 H. Al-Ghazali meninggalkan Naisabur menuju Mu’sakar untuk bertemu dengan Nizamul
Mulk, Perdana mentri Bani Saljuk. Mu’askar
adalah suatu lapangan luas disebe;ah kota Naisabur dimana didirikan
barak-barak militer oleh Nizaham al-Muluk. Di sini, Al-Ghazali diterima dengan
penuh kehormatan olehnya, terutama karena kemampuannya dalam mengalahkan para
ulama’ setempat dalam munazaroh.
Dengan
bantuan Nizhamul Almulk, al-ghazali pergi ke ota Baghdad pada tahun 484 H./1090
M. Untuk mengajar pada madarasah Nizamiayah di kota itu. Ia melaksanakan
tugasnya dengan baik sekali, sehingga banyak para penuntut ilmu memadati
halkahnya. Namanya menjadi lebih terkenal di kawasan itu karena berbagai fatwa
agama yang dikeluarka nnya. Di samping mengajar, ia mulai berikir dan menulis
dalam ilmu Fiqih dan ilmu Kalam dan juga kitab kitab kitb yang berisi sanggahan
terhadap aliran aliran batiniyyah Islamiyyah dan falsafah.
Akan
tetapi ia mengalami krisis Rohani pada tahun 488 H./1098 M., yakni krisis
keraguan yang meliputi akidah dan semua jenis Ma’rifah, baik yang empiris
maupun yang rasional, krisis itu tidak lebih dari dua bulan. Setelah itu, ia
memperdalam studi tentang sekte-sekte teologi, ilmu kalam, falsafah hingga
terbesit menulis kitab dalam bidang falsafah.
Namun
Al-Ghazali tidak merasa puas akan kerjaannya itu, ia meninggalkan kota baghdad
menuju Damaskus, dimana ia tinggal kurang lebih selama dua tahun. Dalam masa
ini ia mengi’tikafkan diri disebuah masjid. Mengurung diri dimenara masjid pada
siang hari.
Kemudian
ia berpindah ke baitulmakdis untuk melanjutkan khalwah dan ibadahnya kepada
Allah. Pada masa ini timbullah gerak hatinya untuk naik haji, lalu ia pergi ke
Makkah dan selanjutnya ke Madinah untuk ziarah ke makam nabi Muhammad SAW.
Setelah terlebih duu menziarahi makam nabi Ibrahim di Qudus.
Setelah
kurang lebih sepuluh tahun mondar mandir di Negeri Syam, Baitulmaqdis dan
Hijaz, maka pada tahun 499 H./ 1106 M/ al-Ghazali kembali ke Naisabur atas
desakan Fakhrul Muluk, anak Nizhamul Muluk untuk mengajar di madraah Nizammiyah
kota itu. Tidak diketahui berapa lama dia mengajar disana. Dan setelah Fakhrul
Muluk mati terbunuh pada tahun 500 H./ 1107 M. Ia kemudian kembali ke Thus,
dimana ia menghabiskan sisa umurnya untuk membaca Al-Quran, Hadist serta mengajar.
Di sebelah rumahnya, ia membangun madrasah untuk para penuntut ilmu dan tempat
khalwat (khaniqah) bagi para sufi. Pada hari senin, 14 Jumadil Akhirah, Tahun
505 H. (18 Desember 1111 M) imam al-ghazali berpulang ke rahmatullah ditempat
asal kelahirannya, Thus, dengan usia lima puluh lima tahun Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya
beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya);
Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa
kemari kain kafan saya.”Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta
meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk
menemui Malaikat Maut.”Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap
kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari) dengan
meninggalkan sejumlah anak perempuan[2].
B.
Pemikiran Imam
Al-Ghazali
Dalam
pemikirannya terhadap filsafat, Al-Ghazali memiliki pandangan-pandangan yang
dibagi menjadi tiga aspek yaitu:
a. Metafisika
Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal menjelaskan bahwa jika berbicara mengenai ketuhanan (metafisika), maka disinilah terdapat sebagian besar kesalahan mereka (para filosof) karena tidak dapat mengemukakan bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah mereka tetapkan sendiri dalam ilmu logika. Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional, yang mengandalkan akal untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan. Menurut Al-Ghazali, “Akal bagaikan penglihatan sehat, sedangkan Alquran bagaikan matahari yang menebarkan sinarnya. Satu sama lainya saling membutuhkan, kecuali orang-orang yang bodoh, yakni orang yang mengabaikan akal dan mencukupkan diri dengan Alquran. Mereka bagaikan orang yang melihat cahaya matahari dengan menutup kelopak mata. Tidak ada bedanya antara orang seperti ini dengan orang buta.” Dengan demikian, menurut Al-Ghazali, akal tidak mungkin menetapkan suatu kebenaran yang dinafikan syara’ dan syara’ tidak akan membawa suatu keyakinan yang tidak dapat diterima oleh akal. [3] Dia pun menekuni bidang filsafat secara otodidak sampai menghasilkan beberapa karya yang mengangkatnya sebagai filsuf. Tetapi hasil kajian ini mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa metode rasional para filsuf tidak bisa dipercaya untuk memberikan suatu pengetahuan yang meyakinkan tentang hakikat sesuatu di bidang metafisika (ilahiyyat) dan sebagian dari bidang fisika (thabi’iyat) yang berkenaan dengan akidah Islam.
Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal menjelaskan bahwa jika berbicara mengenai ketuhanan (metafisika), maka disinilah terdapat sebagian besar kesalahan mereka (para filosof) karena tidak dapat mengemukakan bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah mereka tetapkan sendiri dalam ilmu logika. Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional, yang mengandalkan akal untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan. Menurut Al-Ghazali, “Akal bagaikan penglihatan sehat, sedangkan Alquran bagaikan matahari yang menebarkan sinarnya. Satu sama lainya saling membutuhkan, kecuali orang-orang yang bodoh, yakni orang yang mengabaikan akal dan mencukupkan diri dengan Alquran. Mereka bagaikan orang yang melihat cahaya matahari dengan menutup kelopak mata. Tidak ada bedanya antara orang seperti ini dengan orang buta.” Dengan demikian, menurut Al-Ghazali, akal tidak mungkin menetapkan suatu kebenaran yang dinafikan syara’ dan syara’ tidak akan membawa suatu keyakinan yang tidak dapat diterima oleh akal. [3] Dia pun menekuni bidang filsafat secara otodidak sampai menghasilkan beberapa karya yang mengangkatnya sebagai filsuf. Tetapi hasil kajian ini mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa metode rasional para filsuf tidak bisa dipercaya untuk memberikan suatu pengetahuan yang meyakinkan tentang hakikat sesuatu di bidang metafisika (ilahiyyat) dan sebagian dari bidang fisika (thabi’iyat) yang berkenaan dengan akidah Islam.
b.
Iradat Tuhan Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali
berpendapat bahwa dunia itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan semata-mata,
tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan
penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak
merupakan undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom)
yang masih abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak dengan
undang-undang itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita lihat ini. Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu
dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap dan
dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan
waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah transenden, tetapi kemauan
iradatnya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala
kejadian.[4]
Pengikut Aristoteles, menamakan suatu peristiwa
sebagai hukum pasti sebab dan akibat (hukum kausalitas), sedangkan Al-Ghazali
seperti juga Al-Asy’ari berpendapat bahwa suatu peristiwa itu adalah iradat
Tuhan, dan Tuhan tetap bekuasa mutlak untuk menyimpangkan dari
kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat tersebut. Sebagai contoh, kertas tidak
mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kain. Semua ini hanya
merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala
sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata. Begitu juga
dengan kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api. Mereka
menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan menghilangkan sifat membakar
dari api itu atau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim menjadi suatu materi yang
tidak bisa terbakar oleh api.[5]
c. Etika Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam buku Ihya’ ‘Ulumuddin. Mengenai tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal “Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman ‘Ala Thaqah al-Basyariyah”. Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya. Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan .[6]
c. Etika Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam buku Ihya’ ‘Ulumuddin. Mengenai tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal “Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman ‘Ala Thaqah al-Basyariyah”. Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya. Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan .[6]
C. Kritik Imam Al-Ghazali terhadap Filosuf
Pada dasarnya, Al-Ghazali tidak menyerang semua cabang
filsafat, hanya filsafat ketuhanan (Metafisika). Al-Ghazali menyerang kaum
filsuf dalam kitab Tahafut Al-Falasifah, karena mereka berlebihan menggunakan
akal, dan menetapkan sesuatu tanpa bukti atas nama akal, di samping menafikan
sesuatu yang tidak ada dalil-dalil syara’ yang menafikannya. Tentangan yang di lontarkan al-Ghazali ini, yakni
dapat dilihat dari perkataannya dalam kitab Tahafut Al-Falasifah sebagai
berikut:
“...sumber kekufuran manusia pada saat itu adalah
terpukau dengan nama-nama filsuf besar seperti Socrates, Epicurus, Plato,
Aristoteles dan lain-lainnya ..., mereka mendengar perilaku pengikut filsuf dan
kesesatannya dalam menjelaskan intelektualitas dan kebaikan prinsip-prinsipnya,
ketelitian ilmu para filsuf di bidang geometri, logika, ilmu alam, dan telogi
..., mereka mendengar bahwa para filsuf itu mengingkari semua syari’at dan
agama, tidak percaya pada dimensi-dimensi ajaran agama. Para filsuf menyakini
bahwa agama adalah ajaran-ajaran yang disusun rapi dan tipu daya yang dihiasi
keindahan...” [7]
Bahkan dalam kitab Al-Munqidz min Adh-Dhalal, dijelaskan bahwa orang yang
mengingkari pendapat para filsuf dalam hal gerhana bulan dan gerhana matahari
dengan mengatasnamakan agama dan mengingkari hal-hal yang berkaitan dengan ilmu
pasti yang dianggap cabang filsafat alam, padahal semuanya berdasarkan
dalil-dalil yang meyakinkan, tidak ada jalan untuk mengingkarinya. Ilmu
filsafat menurut Al-Ghazali terbagi menjadi enam bagian, yakni : ilmu
matematika, logika, filsafat, politik, etika dan metafisika (ketuhanan).
Menurut Al-Ghazali, ada dua puluh masalah
ihwal ketuhanan yang menjadi titik kesalahan para filsuf, sehingga ia
memberikan komentar terhadap dua puluh masalah itu :
1. Membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini
azali
2.
Membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini kekal
3.
Menjelaskan keragu-raguan mereka bahwa Allah-lah pencipta alam semesta dan alam
ini ciptaan-Nya
4.
Menjelaskan kelemahan mereka dalam membuktikan Yang Maha Pencipta
5.
Menjelaskan kelemahan mereka dalam menetapkan dalil bahwa mustahil adanya Tuhan
dua
6.
Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak punya sifat
7.
Membatalkn pendapat mereka bahwa Allah tidak terbagi ke dalam al-jins dan
al-fashl
8.
Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah mempunyai substansi basit (simple) dan
tidak mempunyai mahiyah (hakikat)
9.
Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah tidak berjisim
10.
Menjelaskan kelemahan pendapat mereka tentang ad-dahr (kekal dalam arti tidak
bermula dan tidak berakhir)
11.
Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui yang selainnya
12.
Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa membuktikan Allah hanya mengetahui
zat-Nya
13.
Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mengetahui juz’iyyat
14.
Menjelaskan pendapat mereka bahwa planet-planet adalah hewan yang bergerak
dengan kemauan-Nya
15.
Membatalkan apa yang mereka sebutkan tentang tujuan penggerak dari
planet-planet
16.
Membatalkan pendapat mereka bahwa planet-planet mengetahui semua yang juz’iyyat
17.
Membatalkan pendapat mereka yang mengatakan bahwa mustahil terjadinya sesuatu
diluar hukum alam
18.
Menjelaskan pendapat mereka bahwa roh manusia adalah jauhar (substansi) yang
beridir sendiri, tidak memilik tubuh
19.
Menjelaskan pendapat mereka yang menyatakan mustahilanya fana (lenyap) jiwa
manusia
20.
Membatalkan pendapat mereka yang menyatakan bahwa tubuh tidak akan dibangkitkan
dan yang akan menerima kesenangan dalam surga, yang menerima kepedihan dalam
neraka hanya roh[8]
Filsafat al-Ghazali dalam menolak pendapat filosof tentang bebarapa
masalah. Pertama; masalah qadim-nya
alam, bahwa tercipta dengan tidak bermula, tidak pernah tidak ada di masa
lampau. Bagi al-Ghazali yang qadim hanyalah Tuhan. Selain Tuhan haruslah hadits
(baru). Karena bila ada yang qadim selain Tuhan, dapat menimbulkan paham:
1. Banyaknya
yang qadim atau banyaknya Tuhan; ini syirik dan dosa besar yang tidak
diampuni Tuhan
2. Ateisme; alam yang qadim tidak perlu kepada pencipta.
Memang, antara kaum teolog dan filosof terdapat
perbedaan tentang arti al-ihdats dan qadim. Bagi kaum teolog al-ihdats
mengandung arti menciptakan dari “tiada” (creatio ex nihilo), sedang bagi kaum
filosof berarti menciptakan dari “ada”.
Pertama yang qadim ini berasal dari Tuhan melalui
al-faidh (pancaran). Tetapi menurut al-Ghazali, penciptaan dari tiadalah yang
memastikan adanya Pencipta. Oleh sebab itu, alam pasti “baru” (hadits) dan
diciptakan dari “tiada”. (al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, hal. 9 dan
seterusnya). Dalam pemikiran al-Ghazali, sewaktu Tuhan menciptakan alam, yang
ada hanyalah Tuhan. Disinilah Sulaiman Dunianya mencacat al-Ghazali sebagai
baina al-falasifah wa al-mutakallimin, karena secara substansial al-Ghazali
berfikir sebagai teolog, tetapi secara instrumental berfikir sebagai filosof. Kedua,
mengenai Tuhan tidak mengetahui juz`iyyat. Sebuah
pemahaman bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyyat (hal-hal yang sifatnya
terperinci/kecil), bukanlah sebuah pemahaman yang dianut oleh para filosof
Muslim. Sedangkan pemahaman yang banyak digunakan filosof Muslim itu adalah
pemahaman yang dianut oleh Aristoteles. Menurut al-Ghazali para filosof Muslim
itu mempunyai pemahaman bahwa Allah sebagai Tuhan umat Muslim hanya mengetahui
zat-Nya sendiri dan tidak bisa mengetahui yang selain-Nya. Pendapat para filosof Muslim ini
di jawab oleh al-Ghazali. Al-Ghazali mengatakan bahwa para filosof itu telah
melakukan kesalahan fatal. Menurut al-Ghazali lebih lanjut adalah sebuah
perubahan pada objek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu. Karena ilmu
berubah tidak membawa perubahan pada zat, dalam artian keadaan orang yang
mempunyai ilmu tidak berubah. Allah SWT mengetahui segala sesuatu dengan
ilmu-Nya yang satu (Esa) semenjak azali dan tidak berubah meskipun alam yang
diketahui Nya itu mengalami perubahan.[9]
Ketiga, tentang kebangkitan jasmani. Banyak dari para filosof berpendapat bahwa yang akan dibangkitkan
nantinya di alam akhirat adalah rohani semata, sedangkan jasmani (jasad) akan
hancur. Maka dari itu, ketika di akhirat nanti, tentang adanya kebahagiaan
ataupun kepedihan di sana yang dapat merasakan adalahrohani.
Sedangkan menurut al-Ghazali, berdasarkan gambaran al-Qur’an dan
al-Hadits Nabi Muhammad SAW. Tentang kehidupan di akhirat bukanlah mengacu pada
kehidupan rohani saja. Tetapi pada kehidupan rohani dan jasmani. Jasad
dibangkitkan dan disatukan dengan jiwa-jiwa manusia yang pernah hidup di dunia
untuk merasakan nikmat surgawi yang bersifat rohani-jasmani. Kehidupan di surga
dan neraka yang bersifat rohani-jasmani itu, menurut al-Ghazali, bukanlah
kehidupan di surga dan neraka bersifat rohaniah saja, menurut al-Ghazali adalah
pemahaman yang mengingkari adanya kebangkitan jasad di hari akhirat. Pemahaman
demikian, menurutnya bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh al-Qur’an dan
al-Hadits, karena itu dikufurkannya. Al-Ghazali berpandangan bahwa yang akan
dibangkitkan itu adalah jasmani. Ini terbukti dengan perkataannya :
“... adalah bertentangan dengan seluruh keyakinan seorang Muslim, keyakinan mereka yang mengatakan bahwa badan jasmani manusia tidak akan dibangkitkan pada hari kiamat, tetapi hanya jiwa yang terpisah dari badan yang akan diberi pahala dan hukuman, dan pahala atau hukuman itu pun akan bersifat spritual dan bukannya bersifat jasmaniah. Sesungguhnya, mereka itu benar di dalam menguatkan adanya pahala dan hukuman yang bersifat spritual karena hal itu memang ada secara pasti; tetapi secara salah, mereka menolak adanya pahala dan hukuman yang bersifat jasmaniah dan mereka dikutuk oleh hukum yang telah diwahyukan dalam pandangan yang mereka nyatakan itu.”[10]
“... adalah bertentangan dengan seluruh keyakinan seorang Muslim, keyakinan mereka yang mengatakan bahwa badan jasmani manusia tidak akan dibangkitkan pada hari kiamat, tetapi hanya jiwa yang terpisah dari badan yang akan diberi pahala dan hukuman, dan pahala atau hukuman itu pun akan bersifat spritual dan bukannya bersifat jasmaniah. Sesungguhnya, mereka itu benar di dalam menguatkan adanya pahala dan hukuman yang bersifat spritual karena hal itu memang ada secara pasti; tetapi secara salah, mereka menolak adanya pahala dan hukuman yang bersifat jasmaniah dan mereka dikutuk oleh hukum yang telah diwahyukan dalam pandangan yang mereka nyatakan itu.”[10]
Tiga pemikiran itulah yang menjadi bahasan utama al-Ghazali dalam kitabnya
Tahfut al-Falasifah, dan selanjutnya ia mengkafirkan para filosof lantaran
pendapat mereka tentang tiga hal tersebut berbeda dengan pemikirannya. Tindakan pengkafiran inilah
yang dianggap mempengaruhi dan membuat orang Islam enggan bahkan takut
mempelajari filsafat, dan menjadi biang kemunduran pemikiran di kalangan umat
Islam.
AjaranTasawuf-Al-Ghazali di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf
sunni berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlu Al
Sunnah wa Al-jama’ah. Corak tasawufnya adalah psikomoral yang mengutamakan
pendidikan moral.
D.
Karya Imam
Al-Ghazali
Al-ghazali
merupakan seorang ulama dan pemikir dalam islam, pastinya ia sangat tekun untuk
menuliskan kitab sebagai pelajaran untuk orang yang hidup setelahnya kelak.
Dalam buku yang berjudul Muallafat Al-Ghazali, Abdurrahman mengklasifikasikan
kitab-kitab yang berhubungan dengan Al-Ghazali dalam tiga kelompok. Pertama,
kelompok kitab yang dapat dipastikan sebagai karya Beliau terdiri atas 72
kitab. Kedua, kelompok kitab yang diragukan sebagai karyanya yang asliterdiri
dari 22 kitab. Ketiga, kelompok kitab yang dipastikan bukan karyanya, terdiri
dari 31 kitab. Sejumlah karyanya tersebar ke sekuruh penjuru dunia.
Bidang
ushuluddin dan akidah
1.
Arba’in Fi
ushuluddin
2.
Qowaid Alpaqoid
yang disatukan dengan ihya pada jilid pertama
3.
Al-iqtishod fil
I’tiiqod
4.
Faishal
Attafriqiyah bayn al-islam wa zanadiqoh
Bidang
ushul fiqh, fiqqh, filsafat dan tasawwuf
1.
Al mushtafa min
ilmil ushul
2.
Mahakun nadzar
3.
Miyar al ilmi
4.
Maarif
al-aqliyah
5.
Misykat al-anwar
6.
Al-maqshad
al-asna fi syarhi asmaillahil husna
7.
Mizanul amal
8.
Tahafut al
falasifah
9.
Al- ajwibah
al-ghazaliyyah
10. Roudhotuutolibin
11. Aarrisalah
alladuniyah
12. Ihya’
lumuddin
13. Al-
munqidzu minadzolal
14. Al-
wasith
15. Al-
basith
16. Al-
wajiz
17. Al-
khulasoh
18. Minhjul
Abbidin
Masih banyak lagi karya yang dihasilkan
oleh imam Ghazali, karena ilmu beliau begitu luas. Ia buakan hanya seorang ahli
tasawwuf, namun juga pakar dalam bidang fikih, ushul fikih dan filsafat.[11]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
Al-Ghazali adalah seorang teolog sekaligus seseorang pemikir islam yang banyak
menyumbangkan pemikirannya sampai sekarang.
Al-Ghazali mengkritik para filosof tentang tiga persoalan yang keliru
dikalangan para filosof:
1. Bahwa materi
dapat merusak sedangkan jiwa tidak, karena materi adalah entitas materi yang
terpisah dan hanya jiwa yang abadi yang karena inilah esensi logos yang
merupakan ruh.
2. Menolak klaim
bahwa pengetahuan yang khusus berubah jelas mungkin. Tuhan tidak mungkin
berubah.
3. Al-Ghazali
mengatakan tidak ada satu kasuspun yang tidak abadi, mulai dari yang abadi.
B. Kritik dan Saran
Imam Al-Ghazali adalah salah satu cerminan
keberhasilan meniru nabi Muhammad SAW, dalam arti dari seseorang yang begitu
menguasai berbagai aspek ilmu sampai mendapatkan gelar Hujjaj Al-Islam, beliau
adalah maha karya yang pemikirannya selaras dengan agama Islam. Karya karyanya
sangatlah banyak. Oleh karenanya maka sudah selayaknya kita juga memiliki jiwa
akademik yang begitu giat seperti Imam Al-Ghazali yang sangat haus dengan ilmu
hingga menghasilkan sebuah kitab Ihya’ Ulumuddin, dan begitu kritis dalam
pemikiran, khususnya dalam bidang filsafat.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Ghazali,
Mukasyafatul Qulub (Rahasia Ketajaman Mata Hati), Surabaya: Terbit
Terang.
Sulaiman Dunya, Al Haqiqah fi
Nazharil Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal, Sulaiman Dunya, Khairo,
1947.
Nasution, Harun. Akal dan wahyu dalam islam,
Jakarta :Universitas Indonesia. 1983.
Al-Ghazali,
Tahafut Al-Falasifah, beirut: Darul Ma’rifah.2001.
Supriyadi, Dedi. Pengantar Filsafat Islam. Bandung Pustaka Setia: 2009
Sulaiman Dunya, Ibnu Rusyd,
Tahafut al-Tahafut, Tahkik, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1971.
Daudy, A. Kuliah
Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1986.
Poerwantana,dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam.
Bandung :CV ROSDA,1988
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan
Filsafatnya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2004
[1]
Al-Ghazali, Mukasyafatul
Qulub (Rahasia Ketajaman Mata Hati), (Surabaya: Terbit Terang, t.t), hal. Vii
[2] Lihat Sejarah hidup al-Ghazali
dalam Al-Munqidz min al-Dhalal, Sulaiman Dunya, Al Haqiqah fi Nazharil
Al-Ghazali (Khairo, 1947), hal 19-76.
[5] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 176
[6] M. Amin Abdullah, Studi Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996), hal.280.
[7] Al-Ghazali, lihat “Muqaddimah” kitab Tahafut Al-Falasifah,
Tahkik Sulaiman Dunya, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1928), hal.1
[8] Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah
…, hal. 86-87
[9] Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah …, hlm. 206-207
[10] Al-Ghazali, Al-Munqiz min al-Dhalal, terj. Abdullah bin Nuh,
(Jakarta: Tinta Mas, 1960), hlm. 129
0 komentar:
Posting Komentar