Filsafat al-Ghazali

KATA PENGANTAR

Puji Syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat, taufiq, dan hidayahnya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah filsafat islam tepat waktu. Shalawat dan Salam selalu tercurahkan kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW yang telah menuntun kita dari gelapnya Zaman jahiliyyah hingga zaman islamiyah yang terang benderang.
Al-Ghazali adalah seorang pemikir islam yang hidup antara tahun 1058-1111 M, ketika pemikiran di dunia uslam memperlihatkan perkembangan dan keragaman yang tinggi. Sejarah hidupnya menunjukkan bahwa dalamam mencari usaha yang diyakininya, menempuh proses yang panjang dengan jalan mempelajari hampir seluruh system pemahaman keagamaan yang ada pada masanya. Sebelum menyerang filsafat, ia terlebih dahulu mempelajari dan menguasainya. Oleh karena itu Imam Al-Ghazali dikenal dengan Hujjah al-Islam yang berarti bukti kebenaran islam. Oleh karena itu imam al-Ghazali adalah salah satu ulama’ yang lengkap dalam berbagai bidang keilmuan, mulai dari sufi, fiqih, filsafat dan masih banyak lainnya. Imam al-Ghazali menguasai swmua itu.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. H. Fauzan Naif yang telah memberi kesempatan bagi kami untuk mengkaji tentang filsafat imam al-Ghazali. Tentu dalam makalah kami masih banyak kesalahan dan jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kami harap pembaca yang budiman, mau memberi kritik dan saran supaya makalah ini dapat menjadi lebih baik dan bermanfaat.

 







DAFTAR ISI

COVER.................................................................................................................................
KATA PENGANTAR.......................................................................................................... i
DAFTAR ISI......................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................... iii
A. Latar belakang...................................................................................................... iii
B. Rumusan Masalah................................................................................................. iii
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................... 1
A.    Biografi Imam Al-Ghazali................................................................................... 1
B.     Pemikiran Imam Al-Ghazali................................................................................. 3
C.     Kritik Imam Al-Ghazali Terhadap Filosuf...........................................................5
D.    Karya Imam Al-Ghazali...................................................................................... 9

BAB III PENUTUP.............................................................................................................. 11
A. Kesimpulan............................................................................................................. 11
B.  Kritik dan Saran...................................................................................................... 11
        
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................... 12





BAB I
PENDAHULUAN

A.              Latar Belakang

Pada abad ke 5 filsafat mengalami perkembangan filsafat mengalami kemajuan, yang dikatakan dapat merubah pola pemikiran filsafat islam. Yang banyak dipertentangkan. Hal ini dibuktikan dengan pemikiran-pemikiran Imam Al Ghazali sebagai pionir filsafatnya yang dominan dan relevan dengan konsep Islam.
Ketika filsafat Islam dibicarakan, maka terbayang disana hadir beberapa tokoh yang disebut filosof muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, Ibnu Maskawaih dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini memang tidak bisa dihindarkan, tidak saja karena dari merekalah kita dapat mengenal filsafat islam, akan tetapi juga karena mereka benih-benih filsafat Islam dikembangkan.
Dalam makalah ini, penulis hanya membatasi pemaparan mengenai Al-ghazali, seorang ulama besar yang pemikirannya sangat berpengaruh terhadap islam dan filsafat Dunia Timur. Beliau adalah seorang sufi sekaligus seorang theology yang mendapat julukan Hujjah al- Islam. Pemikiran Al-Ghazali begitu beragam dan banyak, mulai pemikiran beliau dari bidang teolog (kalam), tasawuf, dan filsafat. Dalam hal ini akan dibahas tentang filsafat Al-Ghazali yang berkaitan dengan biografi, hasil karya, pemikirannya dan bahkan kritik beliau terhadap filosof Muslim lainnya.

B.              Rumusan Masalah

1.      Bagaimana Riwayat hidup Al-Ghazali?
2.      Bagaimana pemikiran filsafat Al-ghazali?
3.      Apa Saja Karya-Karya yang pernah beliau hasilkan?





BAB II
PEMBAHASAN


A.    Biografi Imam Al-Ghazali

Nama lengkap ialah Abu Dawud Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad Al-Ghazali ath-Thusi. Ia lahir di thus, Wilayah Kurasan, pada tahun 450 H./1058 M., Ia termasuk salah seorang pemikir Islam yang terbesar dengan gelar Hujjatul Islam (Bukti Kebenaran Islam) dan Zainud Addhin (Hiasan Agama).
Ayahnya seorang sufi yang sangat wara’ yang hanya akan makan dari usaha tangannya sendiri. Kerjanya memintal dan menjual wool, ia meninggal sewaktu anaknya itu masih kecil. Sebelum meninggal, ia menitipkan al-Gazali dan saudaranya, Ahmad, pada seorang sufi lain untuk mendapatkan pendidikan dan bimbingan. Beliau menitipkan Al-Ghazali dan kakanya Pada seorang Sufi tersebut (sahabat karibnya) sambil mengucapkan kalimat penyesalan : “Nasibku sangat malang, karena tidak mempunyai ilmu pengetahuan, saya ingin kemalangan saya dapat ditebus oleh kedua anakkku ini, peliharalah mereka dan pergunakan harta warisan yang aku tinggalkan ini untuk mengajar mereka”.
Pada mulanya, Al-Ghazali belajar ditempat asalnya, Thus. Disini ia belajar ilmu Fiqih pada seorang Ulama’ yang bernama Ahmad ibnu Muhammad ar-Razakani. Setelah itu, ia belajar di jurjan pada imam Abu Nashr al-Isma’ili, dimana ia menulis suatu ulasan dalam ilmu fiqih.[1]
Bersama rombongan mahasiswa dari Thus, al-Ghazali melanjutkan studinya di Naisabur pada seorang ulama terkenal, Imam Al-Haramain Abu al-Ma’ali al Juwaini. Di sini, ia belajar mazhab-mazhab fikih, retrotika, logika dan juga ilmu filsafat, sehinggamelebihi kawan-kawannya. Dan setelah imam al-Juwaini meninggal tahun 478 H. Al-Ghazali meninggalkan Naisabur menuju Mu’sakar untuk bertemu dengan Nizamul Mulk, Perdana mentri Bani Saljuk. Mu’askar  adalah suatu lapangan luas disebe;ah kota Naisabur dimana didirikan barak-barak militer oleh Nizaham al-Muluk. Di sini, Al-Ghazali diterima dengan penuh kehormatan olehnya, terutama karena kemampuannya dalam mengalahkan para ulama’ setempat dalam munazaroh.
Dengan bantuan Nizhamul Almulk, al-ghazali pergi ke ota Baghdad pada tahun 484 H./1090 M. Untuk mengajar pada madarasah Nizamiayah di kota itu. Ia melaksanakan tugasnya dengan baik sekali, sehingga banyak para penuntut ilmu memadati halkahnya. Namanya menjadi lebih terkenal di kawasan itu karena berbagai fatwa agama yang dikeluarka nnya. Di samping mengajar, ia mulai berikir dan menulis dalam ilmu Fiqih dan ilmu Kalam dan juga kitab kitab kitb yang berisi sanggahan terhadap aliran aliran batiniyyah Islamiyyah dan falsafah.
Akan tetapi ia mengalami krisis Rohani pada tahun 488 H./1098 M., yakni krisis keraguan yang meliputi akidah dan semua jenis Ma’rifah, baik yang empiris maupun yang rasional, krisis itu tidak lebih dari dua bulan. Setelah itu, ia memperdalam studi tentang sekte-sekte teologi, ilmu kalam, falsafah hingga terbesit menulis kitab dalam bidang falsafah.
Namun Al-Ghazali tidak merasa puas akan kerjaannya itu, ia meninggalkan kota baghdad menuju Damaskus, dimana ia tinggal kurang lebih selama dua tahun. Dalam masa ini ia mengi’tikafkan diri disebuah masjid. Mengurung diri dimenara masjid pada siang hari.
Kemudian ia berpindah ke baitulmakdis untuk melanjutkan khalwah dan ibadahnya kepada Allah. Pada masa ini timbullah gerak hatinya untuk naik haji, lalu ia pergi ke Makkah dan selanjutnya ke Madinah untuk ziarah ke makam nabi Muhammad SAW. Setelah terlebih duu menziarahi makam nabi Ibrahim di Qudus.
Setelah kurang lebih sepuluh tahun mondar mandir di Negeri Syam, Baitulmaqdis dan Hijaz, maka pada tahun 499 H./ 1106 M/ al-Ghazali kembali ke Naisabur atas desakan Fakhrul Muluk, anak Nizhamul Muluk untuk mengajar di madraah Nizammiyah kota itu. Tidak diketahui berapa lama dia mengajar disana. Dan setelah Fakhrul Muluk mati terbunuh pada tahun 500 H./ 1107 M. Ia kemudian kembali ke Thus, dimana ia menghabiskan sisa umurnya untuk membaca Al-Quran, Hadist serta mengajar. Di sebelah rumahnya, ia membangun madrasah untuk para penuntut ilmu dan tempat khalwat (khaniqah) bagi para sufi. Pada hari senin, 14 Jumadil Akhirah, Tahun 505 H. (18 Desember 1111 M) imam al-ghazali berpulang ke rahmatullah ditempat asal kelahirannya, Thus, dengan usia lima puluh lima tahun Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.”Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.”Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari) dengan meninggalkan sejumlah anak perempuan[2].  


B.     Pemikiran Imam Al-Ghazali

Dalam pemikirannya terhadap filsafat, Al-Ghazali memiliki pandangan-pandangan yang dibagi menjadi tiga aspek yaitu:

a. Metafisika
                Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal menjelaskan bahwa jika berbicara mengenai ketuhanan (metafisika), maka disinilah terdapat sebagian besar kesalahan mereka (para filosof) karena tidak dapat mengemukakan bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah mereka tetapkan sendiri dalam ilmu logika. Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional, yang mengandalkan akal untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan.
Menurut Al-Ghazali, “Akal bagaikan penglihatan sehat, sedangkan Alquran bagaikan matahari yang menebarkan sinarnya. Satu sama lainya saling membutuhkan, kecuali orang-orang yang bodoh, yakni orang yang mengabaikan akal dan mencukupkan diri dengan Alquran. Mereka bagaikan orang yang melihat cahaya matahari dengan menutup kelopak mata. Tidak ada bedanya antara orang seperti ini dengan orang buta.” Dengan demikian, menurut Al-Ghazali, akal tidak mungkin menetapkan suatu kebenaran yang dinafikan syara’ dan syara’ tidak akan  membawa suatu keyakinan yang tidak dapat diterima oleh akal. [3]                                                                                                                      Dia pun menekuni bidang filsafat secara otodidak sampai menghasilkan beberapa karya yang mengangkatnya sebagai filsuf. Tetapi hasil kajian ini mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa metode rasional para filsuf tidak bisa dipercaya untuk memberikan suatu pengetahuan yang meyakinkan tentang hakikat sesuatu di bidang metafisika (ilahiyyat) dan sebagian dari bidang fisika (thabi’iyat) yang berkenaan dengan akidah Islam.

b.  Iradat Tuhan                                                                                                          Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan semata-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak merupakan undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom) yang masih abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak dengan undang-undang itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita lihat ini.                                                                               Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah transenden, tetapi kemauan iradatnya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.[4] Pengikut Aristoteles, menamakan suatu peristiwa sebagai hukum pasti sebab dan akibat (hukum kausalitas), sedangkan Al-Ghazali seperti juga Al-Asy’ari berpendapat bahwa suatu peristiwa itu adalah iradat Tuhan, dan Tuhan tetap bekuasa mutlak untuk menyimpangkan dari kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat tersebut. Sebagai contoh, kertas tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kain. Semua ini hanya merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata. Begitu juga dengan kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api. Mereka menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan menghilangkan sifat membakar dari api itu atau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim menjadi suatu materi yang tidak bisa terbakar oleh api.[5]

c. Etika                                                                                                                        Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam buku Ihya’ ‘Ulumuddin. Mengenai tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal “Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman ‘Ala Thaqah al-Basyariyah”. Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.                                                                    Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan      .[6]


C.     Kritik Imam Al-Ghazali terhadap Filosuf

Pada dasarnya, Al-Ghazali tidak menyerang semua cabang filsafat, hanya filsafat ketuhanan (Metafisika). Al-Ghazali menyerang kaum filsuf dalam kitab Tahafut Al-Falasifah, karena mereka berlebihan menggunakan akal, dan menetapkan sesuatu tanpa bukti atas nama akal, di samping menafikan sesuatu  yang tidak ada dalil-dalil syara’ yang menafikannya. Tentangan yang di lontarkan al-Ghazali ini, yakni dapat dilihat dari perkataannya dalam kitab Tahafut Al-Falasifah sebagai berikut:
“...sumber kekufuran manusia pada saat itu adalah terpukau dengan nama-nama filsuf besar seperti Socrates, Epicurus, Plato, Aristoteles dan lain-lainnya ..., mereka mendengar perilaku pengikut filsuf dan kesesatannya dalam menjelaskan intelektualitas dan kebaikan prinsip-prinsipnya, ketelitian ilmu para filsuf di bidang geometri, logika, ilmu alam, dan telogi ..., mereka mendengar bahwa para filsuf itu mengingkari semua syari’at dan agama, tidak percaya pada dimensi-dimensi ajaran agama. Para filsuf menyakini bahwa agama adalah ajaran-ajaran yang disusun rapi dan tipu daya yang dihiasi keindahan...[7]
           
Bahkan dalam kitab Al-Munqidz min Adh-Dhalal, dijelaskan bahwa orang yang mengingkari pendapat para filsuf dalam hal gerhana bulan dan gerhana matahari dengan mengatasnamakan agama dan mengingkari hal-hal yang berkaitan dengan ilmu pasti yang dianggap cabang filsafat alam, padahal semuanya berdasarkan dalil-dalil yang meyakinkan, tidak ada jalan untuk mengingkarinya. Ilmu filsafat menurut Al-Ghazali terbagi menjadi enam bagian, yakni : ilmu matematika, logika, filsafat, politik, etika dan metafisika (ketuhanan).
 Menurut Al-Ghazali, ada dua puluh masalah ihwal ketuhanan yang menjadi titik kesalahan para filsuf, sehingga ia memberikan komentar terhadap dua puluh masalah itu :
1.      Membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini azali
2.      Membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini kekal
3.      Menjelaskan keragu-raguan mereka bahwa Allah-lah pencipta alam semesta dan alam ini ciptaan-Nya
4.      Menjelaskan kelemahan mereka dalam membuktikan Yang Maha Pencipta
5.      Menjelaskan kelemahan mereka dalam menetapkan dalil bahwa mustahil adanya Tuhan dua
6.      Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak punya sifat
7.      Membatalkn pendapat mereka bahwa Allah tidak terbagi ke dalam al-jins dan al-fashl
8.      Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah mempunyai substansi basit (simple) dan tidak mempunyai mahiyah (hakikat)
9.      Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah tidak berjisim
10.  Menjelaskan kelemahan pendapat mereka tentang ad-dahr (kekal dalam arti tidak bermula dan tidak berakhir)
11.  Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui yang selainnya
12.  Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa membuktikan Allah hanya mengetahui zat-Nya
13.  Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mengetahui juz’iyyat
14.  Menjelaskan pendapat mereka bahwa planet-planet adalah hewan yang bergerak dengan kemauan-Nya
15.  Membatalkan apa yang mereka sebutkan tentang tujuan penggerak dari planet-planet
16.  Membatalkan pendapat mereka bahwa planet-planet mengetahui semua yang juz’iyyat
17.  Membatalkan pendapat mereka yang mengatakan bahwa mustahil terjadinya sesuatu diluar hukum alam
18.  Menjelaskan pendapat mereka bahwa roh manusia adalah jauhar (substansi) yang beridir sendiri, tidak memilik tubuh
19.  Menjelaskan pendapat mereka yang menyatakan mustahilanya fana (lenyap) jiwa manusia
20.  Membatalkan pendapat mereka yang menyatakan bahwa tubuh tidak akan dibangkitkan dan yang akan menerima kesenangan dalam surga, yang menerima kepedihan dalam neraka hanya roh[8]

Filsafat al-Ghazali dalam menolak pendapat filosof tentang bebarapa masalah. Pertama; masalah qadim-nya alam, bahwa tercipta dengan tidak bermula, tidak pernah tidak ada di masa lampau. Bagi al-Ghazali yang qadim hanyalah Tuhan. Selain Tuhan haruslah hadits (baru). Karena bila ada yang qadim selain Tuhan, dapat menimbulkan paham:
1. Banyaknya yang qadim atau banyaknya Tuhan; ini syirik dan dosa besar  yang tidak diampuni Tuhan
2. Ateisme; alam yang qadim tidak perlu kepada pencipta.
Memang, antara kaum teolog dan filosof terdapat perbedaan tentang arti al-ihdats dan qadim. Bagi kaum teolog al-ihdats mengandung arti menciptakan dari “tiada” (creatio ex nihilo), sedang bagi kaum filosof berarti menciptakan dari “ada”.
Pertama yang qadim ini berasal dari Tuhan melalui al-faidh (pancaran). Tetapi menurut al-Ghazali, penciptaan dari tiadalah yang memastikan adanya Pencipta. Oleh sebab itu, alam pasti “baru” (hadits) dan diciptakan dari “tiada”. (al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, hal. 9 dan seterusnya). Dalam pemikiran al-Ghazali, sewaktu Tuhan menciptakan alam, yang ada hanyalah Tuhan. Disinilah Sulaiman Dunianya mencacat al-Ghazali sebagai baina al-falasifah wa al-mutakallimin, karena secara substansial al-Ghazali berfikir sebagai teolog, tetapi secara instrumental berfikir sebagai filosof.           Kedua, mengenai Tuhan tidak mengetahui juz`iyyat. Sebuah pemahaman bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyyat (hal-hal yang sifatnya terperinci/kecil), bukanlah sebuah pemahaman yang dianut oleh para filosof Muslim. Sedangkan pemahaman yang banyak digunakan filosof Muslim itu adalah pemahaman yang dianut oleh Aristoteles. Menurut al-Ghazali para filosof Muslim itu mempunyai pemahaman bahwa Allah sebagai Tuhan umat Muslim hanya mengetahui zat-Nya sendiri dan tidak bisa mengetahui yang selain-Nya. Pendapat para filosof Muslim ini di jawab oleh al-Ghazali. Al-Ghazali mengatakan bahwa para filosof itu telah melakukan kesalahan fatal. Menurut al-Ghazali lebih lanjut adalah sebuah perubahan pada objek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu. Karena ilmu berubah tidak membawa perubahan pada zat, dalam artian keadaan orang yang mempunyai ilmu tidak berubah. Allah SWT mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya yang satu (Esa) semenjak azali dan tidak berubah meskipun alam yang diketahui Nya itu mengalami perubahan.[9]                                                                     
Ketiga, tentang kebangkitan jasmani. Banyak dari para filosof berpendapat bahwa yang akan dibangkitkan nantinya di alam akhirat adalah rohani semata, sedangkan jasmani (jasad) akan hancur. Maka dari itu, ketika di akhirat nanti, tentang adanya kebahagiaan ataupun kepedihan di sana yang dapat merasakan adalahrohani.
Sedangkan menurut al-Ghazali, berdasarkan gambaran al-Qur’an dan al-Hadits Nabi Muhammad SAW. Tentang kehidupan di akhirat bukanlah mengacu pada kehidupan rohani saja. Tetapi pada kehidupan rohani dan jasmani. Jasad dibangkitkan dan disatukan dengan jiwa-jiwa manusia yang pernah hidup di dunia untuk merasakan nikmat surgawi yang bersifat rohani-jasmani. Kehidupan di surga dan neraka yang bersifat rohani-jasmani itu, menurut al-Ghazali, bukanlah kehidupan di surga dan neraka bersifat rohaniah saja, menurut al-Ghazali adalah pemahaman yang mengingkari adanya kebangkitan jasad di hari akhirat. Pemahaman demikian, menurutnya bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh al-Qur’an dan al-Hadits, karena itu dikufurkannya. Al-Ghazali berpandangan bahwa yang akan dibangkitkan itu adalah jasmani. Ini terbukti dengan perkataannya :
“... adalah bertentangan dengan seluruh keyakinan seorang Muslim, keyakinan mereka yang mengatakan bahwa badan jasmani manusia tidak akan dibangkitkan pada hari kiamat, tetapi hanya jiwa yang terpisah dari badan yang akan diberi pahala dan hukuman, dan pahala atau hukuman itu pun akan bersifat spritual dan bukannya bersifat jasmaniah. Sesungguhnya, mereka itu benar di dalam menguatkan adanya pahala dan hukuman yang bersifat spritual karena hal itu memang ada secara pasti; tetapi secara salah, mereka menolak adanya pahala dan hukuman yang bersifat jasmaniah dan mereka dikutuk oleh hukum yang telah diwahyukan dalam pandangan yang mereka nyatakan itu.”[10]

Tiga pemikiran itulah yang menjadi bahasan utama al-Ghazali dalam kitabnya Tahfut al-Falasifah, dan selanjutnya ia mengkafirkan para filosof lantaran pendapat mereka tentang tiga hal tersebut berbeda dengan pemikirannya. Tindakan pengkafiran inilah yang dianggap mempengaruhi dan membuat orang Islam enggan bahkan takut mempelajari filsafat, dan menjadi biang kemunduran pemikiran di kalangan umat Islam.
AjaranTasawuf-Al-Ghazali di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlu Al Sunnah wa Al-jama’ah. Corak tasawufnya adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral.


D.    Karya Imam Al-Ghazali
Al-ghazali merupakan seorang ulama dan pemikir dalam islam, pastinya ia sangat tekun untuk menuliskan kitab sebagai pelajaran untuk orang yang hidup setelahnya kelak. Dalam buku yang berjudul Muallafat Al-Ghazali, Abdurrahman mengklasifikasikan kitab-kitab yang berhubungan dengan Al-Ghazali dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok kitab yang dapat dipastikan sebagai karya Beliau terdiri atas 72 kitab. Kedua, kelompok kitab yang diragukan sebagai karyanya yang asliterdiri dari 22 kitab. Ketiga, kelompok kitab yang dipastikan bukan karyanya, terdiri dari 31 kitab. Sejumlah karyanya tersebar ke sekuruh penjuru dunia.
Bidang ushuluddin dan akidah
1.      Arba’in Fi ushuluddin
2.      Qowaid Alpaqoid yang disatukan dengan ihya pada jilid pertama
3.      Al-iqtishod fil I’tiiqod
4.      Faishal Attafriqiyah bayn al-islam wa zanadiqoh
Bidang ushul fiqh, fiqqh, filsafat dan tasawwuf


1.      Al mushtafa min ilmil ushul
2.      Mahakun nadzar
3.      Miyar al ilmi
4.      Maarif al-aqliyah
5.      Misykat al-anwar
6.      Al-maqshad al-asna fi syarhi asmaillahil husna
7.      Mizanul amal
8.      Tahafut al falasifah
9.      Al- ajwibah al-ghazaliyyah
10.  Roudhotuutolibin
11.  Aarrisalah alladuniyah
12.  Ihya’ lumuddin
13.  Al- munqidzu minadzolal
14.  Al- wasith
15.  Al- basith
16.  Al- wajiz
17.  Al- khulasoh
18.  Minhjul Abbidin



Masih banyak lagi karya yang dihasilkan oleh imam Ghazali, karena ilmu beliau begitu luas. Ia buakan hanya seorang ahli tasawwuf, namun juga pakar dalam bidang fikih, ushul fikih dan filsafat.[11]




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Al-Ghazali adalah seorang teolog sekaligus seseorang pemikir islam yang banyak menyumbangkan pemikirannya sampai sekarang.
Al-Ghazali mengkritik para filosof tentang tiga persoalan yang keliru dikalangan para filosof:
1.      Bahwa materi dapat merusak sedangkan jiwa tidak, karena materi adalah entitas materi yang terpisah dan hanya jiwa yang abadi yang karena inilah esensi logos yang merupakan ruh.
2.      Menolak klaim bahwa pengetahuan yang khusus berubah jelas mungkin. Tuhan tidak mungkin berubah.
3.      Al-Ghazali mengatakan tidak ada satu kasuspun yang tidak abadi, mulai dari yang abadi.



B.     Kritik dan Saran

Imam Al-Ghazali adalah salah satu cerminan keberhasilan meniru nabi Muhammad SAW, dalam arti dari seseorang yang begitu menguasai berbagai aspek ilmu sampai mendapatkan gelar Hujjaj Al-Islam, beliau adalah maha karya yang pemikirannya selaras dengan agama Islam. Karya karyanya sangatlah banyak. Oleh karenanya maka sudah selayaknya kita juga memiliki jiwa akademik yang begitu giat seperti Imam Al-Ghazali yang sangat haus dengan ilmu hingga menghasilkan sebuah kitab Ihya’ Ulumuddin, dan begitu kritis dalam pemikiran, khususnya dalam bidang filsafat.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, Mukasyafatul Qulub (Rahasia Ketajaman Mata Hati), Surabaya: Terbit Terang.
Sulaiman Dunya, Al Haqiqah fi Nazharil Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal, Sulaiman Dunya, Khairo, 1947.
Nasution, Harun. Akal dan wahyu dalam islam, Jakarta :Universitas Indonesia. 1983.
Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah, beirut: Darul Ma’rifah.2001.
Supriyadi, Dedi. Pengantar Filsafat Islam. Bandung Pustaka Setia: 2009
Sulaiman Dunya,  Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, Tahkik, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1971.
Daudy, A. Kuliah Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1986.
Poerwantana,dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam. Bandung :CV ROSDA,1988
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2004





[1] Al-Ghazali, Mukasyafatul Qulub (Rahasia Ketajaman Mata Hati), (Surabaya: Terbit Terang, t.t), hal. Vii


[2] Lihat Sejarah hidup al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal, Sulaiman Dunya, Al Haqiqah fi Nazharil Al-Ghazali (Khairo, 1947), hal 19-76.
[3] Harun Nasution, Akal dan wahyu dalam islam, Jakarta :Universitas Indonesia. 1983.
[4] Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung: CV ROSDA, 1988), hal. 172.


[5] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 176
[6] M. Amin Abdullah, Studi Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal.280.
[7] Al-Ghazali, lihat “Muqaddimah” kitab Tahafut Al-Falasifah, Tahkik Sulaiman Dunya, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1928), hal.1
[8] Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah …, hal. 86-87
[9] Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah …, hlm. 206-207


[10] Al-Ghazali, Al-Munqiz min al-Dhalal, terj. Abdullah bin Nuh, (Jakarta: Tinta Mas, 1960), hlm. 129


[11] Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hal.97



0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.