Hermeneutika Romantic: Jorge J.E Garcia
Makalah
Ini disusun Untuk Memenuhi Tugas Individu
Mata
Kuliah Hermeneutika kelas B
Dosen
Pengampu : Bapak
Dr. Fahruddin Faiz, M. Ag
Disusun
oleh :
Sofia Aulia Zakiyatun Nisa (NIM: 15530042)
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
TAHUN 2017
BAB I
Pendahuluan
Secara garis besar, kajian hermeneutika membicarakan
tentang bagaimana memahami (how to understand) dan menafsirkan (how
to interprete)[1].
Interpretasi atau penafsiran terhadap teks merupakan salah satu problem
bagi filosof maupun ahli sejarah, terutama yang terkait dengan teks-teks
keagamaan. Hal ini dikarenakan sebuah interpretasi teks memiliki aspek yang
lebih kompleks dari apa yang tertulis dalam teks itu sendiri.
Melihat betapa pentingnya interpretasi terhadap teks,
maka muncul tokoh-tokoh hermeneutik yang menawarkan berbagai teori demi menjawab
problem-problem penafsiran tersebut. Salah satu tokoh yang muncul pada masa hermeneutika
romantic adalah Jorge J.E Gracia. Berbeda dengan pedahulunya Schleirmacher
yang terfokus pada objektivitas teks. Maka pada teori Gracia ini mulai
memunculkan teori yang mencoba untuk menyeimbangkan antara objektivitas dan
subjektivitas teks. Ini dapat dibuktikan dari ke tiga teori fungsi interpretasi
yang dibangunnya, yaitu fungsi historis, fungsi pengembangan makna, dan fungsi
implikatif. Pembahasan lebih lanjut terkait tokoh dan teori Jorge J.E Gracia
akan dibahas pada pembahasan-pembahasan selanjutnya.
BAB II
Pembahasan
A.
Sekilas Tentang Hermeneutika Romantic
Seperti pembahasan yang telah lalu, secara umum hermeneutika dapat
didefinisikam sebagai teori atau filsafat interpretasi makna. Bermula dari
kemunculan kemodernnannya pada abad-19, baru-baru ini hermeneutika menjadi
topik utama dalam filsafat ilmu-ilmu sosial, filsafat seni dan bahasa, dan
dalam kritik sastra.[2]
Kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani yaitu seorang dewa
yang bernama Hermes. Hermes dalam mitologi Yunani merupakan dewa yang
menyampaikan pesan para dewa kepada manusia. Hermes bertugas untuk menafsirkan
pesan-pesan dewa kepada manusia sehingga pesan-pesan tersebut dapat dimengerti
dengan jelas dan bermakna oleh manusia. Selanjutnya hermeneutika secara
konsekuen terikat pada dua tugas ini: Pertama, memastikan isi dan makna sebuah
kata, kalimat, teks. Kedua, menemukan intruksi-intruksi yang terdapat di dalam
bentuk-bentuk simbolis.[3]
Di sepanjang sejarahnya, hermeneutika secara umum muncul dan
berkembang sebagai teori interpretasi saat hermeneutika mulai diperlukan untuk penerjemahan literatur otoritatif di
bawah kondisi-kondisi yang tidak mengizinkan akses kepadanya, disebabkan adanya
rentang jarak dan waktu.[4]
Schleiermacher yang dikenal sebagai Bapak Hermeneutika Umum
setidaknya telah mengembangkan hermeneutika yuridis karya Betti dengan
membentuk teori hermeneutik umum yang di antaranya terdapat “kanon totalitas
dan koherensi makna” atau sering disebut “lingkaran hermeneutik”. Dua tradisi yang mempengaruhi Schleiermacher
dalam mengembangkan hermeneutikanya adalah filsafat transendental dan
romantisisme. Selanjutnya, Schleiermacher menyatakan bahwa setiap pikiran
pengarang harus dikaitkan dengan kesatuan dari sebuah subjek yang berkembang
secara aktif dan organis: relasi antara individualitas dan totalitas menjadi
titik utama hermeneutika romantik.[5]
Sistematika dari teori Schleiermacher terdiri dari dua bagian,
yaitu interpretasi gramatis dan psikologis. Menurutnya, dengan pengetahuan historis
dan linguistik yang tepat, interpretator berada dalam posisi untuk memahami
pengarang lebih baik dari pengarang mengalami dirinya sendiri.
Lingkaran hermenetik adalah hubungan dialektis antara bagian dari keseluruhan
teks. Interpretasi psikologis dan interpretasi gramatis saling mengandaikan dalam
memahami teks. Hermeneutika gramatikal berarti seorang penafsir harus
memperhatikan aspek diakronik teks, seperti kosa kata dan tata bahasa yang
berlaku pada saat teks muncul. Sedangkan hermeneutika psikologis adalah bentuk
penafsiran di mana seseorang memahami makna di balik teks yang berupa makna dan
kejiwaan teks dengan cara memperhatikan aspek psikologis pengarang dan kondisi
historis teks itu muncul.[7]
Singkatnya, interpretasi gramatis fokus pada unsur-unsur bahasa teks, sedang
interpretasi psikologis fokus pada isi pikiran penulis, yakni intensi awalnya
untuk menulis teks tersebut.[8]
Melihat dari
tujuan Schleiermacher dengan menyeimbangkan kedua hermeneutik (gramatis dan
psikologis) yang diharapkan mampu menangkap makna orisinal yang dimaksud
pengarang teks dan menghindari kesalahpahaman
terhadap teks, maka hermeneutika Schleiermacher ini digolongkan dalam
hermeneutika objektivis (romantisis).[9]
Salah satu tokoh lain dari hermeneutika objektivis ini adalah Jorge J.E Garcia,
pembahasan lebih lanjut mengenai tokoh ini akan dibahas pada pembahasan
berikutnya.
Jorge J.E Gracia lahir pada tahun 1942 di Kuba dari seorang ibu
yang bernama Leonila M. Otero Munoz dan ayahnya bernama Dr. Ignacio J.L. de la
C. Gracia Dubie. Gracia merupakan seorang profesor di Universitas Negeri New
York, Departemen Filsafat dan Departemen Sastra Perbandingan. Ia menerima gelar Ph.D. dalam Filsafat Abad
Pertengahan dari University of Tronto, sebelumnya ia sempat menyelesaikan
pendidikannya di Kuba, Kanada, dan Amerika Serikat. Pada tahun 1966 Gracia
menikah dengan Norm E. Silva Cabase. Dari pernikahan tersebut, ia dikaruniai
dua orang anak dan empat orang cucu.
Sebagai akademisi, Gracia telah menulis banyak buku, artikel dalam
jurnal, antologi, mengisi seminar, juga sebagai editor sebuah buku.
Karya-karyanya antara lain membahas pada bidang Metafisika/Ontologi, Historiografi
Filosofis, Etnis/Ras/Isu Kebangsaan, Medieval/Scholastic Filsafat dan Hispanik,
Latino/Filsafat Amerika Latin, dan juga Filsafat Bahasa/ Hermeneutika. Di
antara judul bukunya adalah A Theory of Textuality: The Logic and Epistemologi
yang diterbitkan di State University of New York pada tahun 1995. Buku
inilah yang sangat terkait dengan dunia hermeneutik.
C.
Teori Interpretasi Jorge J.E Gracia
1.
Hakikat Interpretasi
Dalam bukunya A Theory of Textuality[11], Gracia
menjelaskan bahwa secara bahasa istilah interpretation adalah terjemah
dari kata latin interpretatio yang berasal dari kata interpres
yang bermakna “menyebarkan keluar”. Kata interpres menurutnya dapat
diterjemahkan agen antara dua pihak, broker atau negosiator, penerjemah atau
penjelas. Sedangkan kata interpretatio memiliki tiga kemungkinan makna,
yaitu: 1) meaning (arti), yaitu memberi interpretasi (penafsiran) itu
sama dengan memberi arti pada sesuatu yang sedang ditafsirkan. 2) Translation
(penerjemahan), yaitu penerjemahan/mengalih bahasakan teks dari bahasa yang
satu ke bahasa lainnya. 3) Explanation (penjelasan), yaitu menjelaskan
sesuatu yang tersembunyi dan tidak jelas, membuat sesuatu yang tidak teratur
menjadi teratur, dan menyediakan informasi tentang sesuatu atau lainnya.
Sedangkan secara terminologis, Gracia menyatakan bahwa interpretasi
mencakup tiga definisi, yaitu: 1) understanding (pemahaman), yaitu
pemahaman seorang terhadap makna teks. Dalam hal ini Gracia menambahkan bahwa
kebenaran dalam penafsiran ini bisa saja plular (banyak pemahaman). 2) Deconding
(pengkodean), yaitu proses atau aktivitas di mana seseorang mengembangkan
pemahaman terhadap teks yang melibatkan pengkodean terhadap teks untuk memahami
pesannya, dan pemahaman itu tidak harus identik dengan pesan itu sendiri.[12]
3) Interpretasi merujuk pada teks yang
melibatkan tiga hal, yaitu: teks yang ditafsirkan (interpretandum), penafsir
(interpreters), keterangan tambahan (interpretans).
Selanjutnya, apa yang ditambahkan pada teks yang ditafsirkan (interpretans)
itu merupakan sesuatu yang lain karena interpretasi merupakan sesuatu yang
lebih dari teks. Teks yang ditafsirkan penafsir baik yang ditulis maupun yang
secara mental hadir dalam pikiran, itu bukanlah interpretasi. Interpretasi
dikatakan hadir atau muncul ketika seorang penafsir mulai menganalisis teks itu
ke dalam terma-terma dan konsep-konsep yang tidak disebutkan secara eksplisit
dalam teks tersebut.[13]
2.
Fungsi Interpretasi
Fungsi umum dari interpretasi adalah menciptakan
pemahaman-pemahaman dalam benak audiens kotemporer terkait dengan teks
tertentu. Dengan kata lain, sebuah penafsiran seharusnya merupakan tindakan
yang dapat memberikan pengaruh pada audiens, menciptakan di dalam diri audiens
pemahaman terkait dengan teks historis yang sedang menjadi objek penafsiran.[14]
Untuk menjawab permasalahan tersebut, Gracia menawarkan konsep The Priciple
of Propotional Understanding (Prinsip Pemahaman yang Proposional). Di mana
konsep tersebut menegaskan bahwa kualitas pemahaman yang dimiliki audiens
kotemporer harus dipertimbangkan pemahaman yang dimiliki oleh pengarang audiens
historis.[15]
Selanjutnya secara khusus Gracia menjelaskan fungsi interpretasi
menjadi tiga fungsi, fungsi-fungsi tersebut yaitu:
a.
Fungsi
Historis (Historical Function)
Dengan asumsi bahwa teks muncul pada konteks ruang dan waktu
tertentu, maka teks tentu tidak terlepas dari latar belakang kondisi sosial
budaya masyarakat pada saat teks itu muncul. Seorang penafsir mempunyai tugas
membuat audiens kotemporer paham terhadap makna teks yang dimiliki oleh pengarang
dan audiens pada masanya.[16]
b.
Fungsi
Pengembangan Makna (Meaning Function)
Fungsi interpretasi pengembangan makna ini adalah menciptakan di
benak audiens kotemporer suatu pemahaman yang mungkin melampaui pemahaman yang
dimiliki oleh pengarang historis dan audiens historis teks, dengan cara
memunculkan aspek-aspek makna teks yang belum diketahui oleh pengarang dan
audiens historis.[17]
Selain itu, menurut Gracia tujuan interpretasi bukanlah menciptakan
kembali pemahaman pengarang dan audiens historis, bahkan bisa jadi makna teks
yang ditafsirkan lebih luas daripada makna yang dimiliki oleh pengarang dan
audiens historis. Seorang penafsir dituntut menguasai berbagai ilmu untuk
menafsirkan teks. Sehingga dengan luasnya pengetahuan penafsir, maka akan
semakin luas pula penafsiran terhadap teks tersebut.[18]
c.
Fungsi
Implikatif (Implicative Function)
Interpretasi dalam fungsi ini yaitu menciptakan di benak audiens
kotemporer sebuah pemahaman di mana audiens tersebut memahami
implikasi-implikasi (kesimpulan-kesimpulan) makna, terlepas dari apakah
implikasi-implikasi makna tersebut telah disadari atau diketahui oleh pengarang
dan audiens historis atau belum.[19]
Secara singkat, audiens (pembaca) kotemporer diarahkan untuk melihat implikasi
(kesimpulan) dari makna teks yang ditafsirkan.
3.
Ragam Interpretasi
Gracia membagi interpretasi menjadi dua macam, yaitu interpretasi
tekstual dan kontekstual. Penjelasan lebih lanjut sebagai berikut:
a.
Interpretasi
Tekstual
Interpretasi tekstual dapat dipahami sebagai upaya seorang penafsir
untuk mengungkap makna dari apa yang ditafsirkan dengan cara menambahkan
keterangan apapun yang penting menurut penafsir dengan tujuan mendapatkan hasil-hasil
tertentu dibenak/pikiran audiens. Hasil tertentu ini berupa tiga hal, yaitu:[20]
1) menemukan pemahaman pengarang teks historis dan audiens historis (audiens di
mana teks itu muncul). 2) Menciptakan makna baru untuk audiens kotemporer
(masyarakat saat ini) yang telah diolah oleh penafsir pada masanya. 3)
Menangkap implikasi (kesimpulan) dari makna teks tertentu.
b.
Interpretasi
Non Tekstual
Interpretasi non tekstual adalah interpretasi yang didasarkan pada
interpretasi tekstual namun mempunyai sesuatu yang lain dan tujuan utama,
meskipun tujuan tersebut melibatkan semacam bentuk pemahaman juga. Pendek kata,
fungsi ini berbeda dengan tiga fungsi interpretasi yang diarahkan pada makna
teks atau implikasinya.[21]
Interpretasi nontekstual bertujuan mencari makna dibalik makna
tekstual (tersurat). Sehingga interpretasi non tekstual tidak sebatas mencari
makna teks tersebut.
D.
Tinjauan Kritis Teori Gracia dengan Tokoh Hermeneutika Lain
Secara umum teori interpretasi Gracia dapat diaplikasikan pada
teks-teks keagamaan baik hadis maupun al-Qur’an. Hal ini terlihat dari
banyaknya penelitian dari para akademisi terkait teks al-Qur’an maupun hadis
yang menggunakan teori interpretasi Gracia.
Hal ini juga diperkuat dengan banyaknya kesesuaian teori maupun
konsep yang ditawarkan Gracia yang tidak berbeda dengan tokoh-tokoh hermeneutik
lainnya. Seperti contohnya pada teori fungsi historis interpretasi milik Gracia
ini mirip dengan hermeneutika Scheleirmacher, dimana dalam teorinya ia juga
menekankan pada pencarian makna asal dari sebuah obyek penafsiran. Tidak
berbeda jauh dengan Gracia, menurut Scheleirmacher fungsi interpretasi historis
di sini adalah upaya merekontruksi apa yang dimaksud oleh pengarang teks
berdasar analisa bahasa dan analisa psikologi sang pengarang. Hal ini
dikarenakan teks terikat dan tergantung pada pencipta teks tersebut, sehingga
seorang penafsir harus memahami seluk-beluk dan latar belakang pengarangnya.[22]
Selain tokoh Scheleirmacher yang memperkuat teori historis milik
Gracia, Emilio Betti pun berpendapat bahwa penafsiran pada dasarnya dimaksudkan
agar pemikiran akan sesuatu dipahami apa adanya sesuai dengan pemilik gagasan
(pengarang) selaras dengan lingkungan sosial yang meliputinya.[23]
Hirsch juga berpendapat bahwa hermeneutik adalah proses untuk
membangkitkan kembali maksud pengarang makna akan menjadi valid.[24]
Pendapat ini tentunya semakin memperkuat teori fungsi historis Gracia tersebut.
Teori milik Gracia selanjutnya yang diperkuat oleh tokoh
hermeneutika yang lain adalah teori pengembangan makna. Gadamer menyatakan
bahwa dalam proses penafsiran itu tidak hanya ada horison teks, namun perlu
diakui adanya horison pembaca. Kedua horison tersebut dikomunikasikan untuk
mengatasi ketegangan antara keduanya. Agar teks tersebut bisa dipahami oleh
audiens kotemporer, maka perlu melakukan pengembangan makna.[25]
Selanjutnya, pada teori fungsi implikatif milik Gracia memiliki
persamaan dengan apa yang disebut Gadamer dengan istilah application
(aplikasi). Gadamer mengharapkan makna yang telah didapat dalam proses
pemahaman sebelumnya dan telah mengalami pengembangan bisa diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Senada dengan Gadamer, Paul Ricoeur pun menegaskan bahwa
puncak penafsiran adalah appropriation, yaitu proses memahami diri
sendiri dihadapan dunia yang diproyeksikan teks.[26]
BAB III
Kesimpulan
Dari penjelasan panajang menganai biografi tokoh hermeneutik Jorge.
J.E Gracia hingga teori-teorinya yang telah dipaparkan di atas, dapat
disimpulkan beberapa point sebagai berikut:
1.
Jorge
J.E Gracia merupakan salah satu tokoh hermeneutik pada masa romantic namun ia tidak
hanya menekankan teori hermeneutiknya dengan melihat sisi objektivitas teks,
namun sudah berupaya menyeimbangkan sisi objektivitas dan subjektivitas teks.
Maka aliran hermeneutik Gracia kerap digolongkan dalam aliran
objektivis-cum-subjektivis.
2.
Gracia
berpendapat bahwa interpretasi melibatkan tiga hal, yaitu teks yang ditafsirkan
(interpretandum), penafsir, keterangan tambahan (interpretans).
3.
Fungsi
interpretasi menurut Gracia terdiri dari fungsi historis, fungsi pengembangan
makna, fungsi implikatif.
4.
Untuk
mengatasi problem dilema penafsir yaitu salah satunya disebabkan adanya
kebimbangan fungsi penafsiran historis yang dimungkinkan dapat mendistorsi teks
yang ditafsirkan, namun di sisi lain tanpa adanya penambahan keterangan (interpretans)
audiens kotemporer tidak dapat memahami teks historis. Maka Gracia menawarkna
konsep the Principle of Propotional Text, yaitu dengan menyamakan
rasio/jumlah/kualitas pemahaman antara audiens kotemporer dengan penyusun teks
yang ditafsirkan audiens historis.
5.
Interpretasi
memiliki dua macam jenis yaitu interpretasi tekstual dan interpretasi non
tekstual.
6.
Tujuan
penafsiran menurut Gracia adalah untuk menciptakan teks penafsiran yang dapat
membentuk di benak audiens kotemporer pemahaman-pemahaman yang secara
intensional sama dengan pemahaman-pemahaman yang diciptakan oleh pengarang dan
audiens historis dari teks historis tersebut.
7.
Menurut
Gracia, tidak mudah membicarakan kebenaran interpretasi. Menurutnya tidak
relevan menentukan bahwa interpretasi itu benar atau salah. Yang tepat adalah
mengatakan bahwa sebuah interpretasi itu lebih efektif atau kurang efektif,
atau lebih cocok atau kurang cocok.
8.
Kebenaran
interpretasi itu tidaklah tunggal, melainkan plular. Namun bukan berarti
kebenaran interpretasi ini bersifat relatif yang tidak terbatas. Interpretasi
itu pasti mengandung nilai objektivitas dan subjektivitas dalam waktu yang bersamaan.
Daftar Pustaka
Bleicher,
Josef. 2003. Hermeneutika Kotemporer:Hermeneutika sebagai Metode, Filsafat,
dan Kritik .Yogyakarta:Fajar Pustaka.
Faiz, Fahruddin. 2005. Hermeneutika Al-Qur’an;Tema-Tema
Kontroversial. Yogyakarta: Elsaq.
Fuadi, Irawan.
2013. Skripsi “Tafsir Surat al-Nur Ayat 11-20 Tentang Hadis Al-IFK:
AplikasiTeori Hermeneutika Jorge J.E. Gracia”. Yogyakarta: UIN Sunan
Kalijaga.
Gracia, Jorge
J.E. 1995. A Theory of Teextuality: The logic and Epistemology. New
York: State University of New York Press.
Hardiman, F.
Budi. 2015. Seni Memahami. Yogyakarta: PT Kanisius.
https://www.buffalo.edu/content/www/capenchair/aboutus/jjegracia/_jcr_content/par/download_4/file.res/Gracia-JJE-CV815.pdf
diakses pada 16 September 2017 pukul 9:52 WIB.
Khotimah, Ika
Khusnul. 2013. Skripsi “Reinterpretasi Hadis-Hadis Afdal Al-A’mal: AplikasiTeori Fungsi Interpretasi
Jorge J.E. Gracia”. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
Nadia, Zunly.
2013. “Hermeneutika Jorge J.E Gracia dan Relevansinya dalam memahami Hadis”
Thesis Pascasarjana. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
Prakosa,
Heru. ”Penyingkapan Makna:Sekedar
Kembali ke Maksud Pengarang (Pokok-pokok Pemikiran E.D. Hirsch tentang
Interpretasi)” dalam Syafa’atun Almirzanah dan Sahiron Syamsuddin (Ed.)
Sirry, Mun’im.
“La Ikraha fi al-Din (tidak ada paksaan dalam Agama): Menafsirkan tafsir
al-qur’an bersama Paul Ricoeur” dalam Syafa’atun Almirzanah dan Sahiron
Syamsuddin (Ed.)
Setiawan, M.
Nur Kholis. “Emmilio Betti dan Hermeneutika sebagai Auslegung” dalam
Syafa’atun Almirzanah dan Sahiron Syamsuddin (Ed.)
Syamsuddin,
Sahiron dan Syafa’atun al-Mirzanah. 2011. Pemikiran Hermeneutika dalam
Tradisi Barat:Reader. Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Syamsuddin,
Sahiron. 2009. Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an. Yogyakarta:
Wawesea Press.
Syamsuddin,
Sahiron dan Syafa’atun Almirzanah (Ed). Upaya Integrasi Hermeneutika dalam
Kajian Al-Qur’an dan Hadis: Teori dan Aplikasi (Buku 2 Tradisi Barat).
Syamsuddin, M.
Sahiron, “Hermeneutika Hans-Georg Gadamer dan Pengembangan Ulumul Qur’an
danPembacaan al-Qur’an pada Masa Kotemporer” dalam Syafa’atun Almirzanah
dan Sahiron Syamsuddin (Ed.)
[1]
Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an;
Tema-Tema Kontroversial, (Yogyakarta: Elsaq, 2005), hlm. 4
[2]
Josef Bleicher, Hermeneutika Kotemporer:Hermeneutika sebagai Metode,
Filsafat, dan Kritik (Yogyakarta:Fajar Pustaka,2003), hlm. V.
[3]
Josef Bleicher, Hermeneutika Kotemporer:Hermeneutika sebagai Metode,
Filsafat, dan Kritik (Yogyakarta:Fajar Pustaka,2003) hlm. 3.
[4]
Ibid.
[5]
Ibid. hlm. 10.
[6]
F. Budi Hardiman, Seni Memahami (Yogyakarta:
PT Kanisius, 2015), hlm. 43-44.
[7]
Sahiron Syamsuddin dan Syafa’atun al-Mirzanah, Pemikiran Hermeneutika dalam
Tradisi Barat:Reader (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2011), hlm. Ix.
[8]
F. Budi Hardiman, Seni Memahami (Yogyakarta:
PT Kanisius, 2015), hlm. 45.
[9]
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an (Yogyakarta:
Wawesea Press, 2009), hlm. 27-42.
[10]https://www.buffalo.edu/content/www/capenchair/aboutus/jjegracia/_jcr_content/par/download_4/file.res/Gracia-JJE-CV815.pdf
diakses pada 16 September 2017 pukul 9:52 WIB.
[11]
Jorge J.E. Gracia, A Theory of Teextuality: The logic and Epistemology (New
York: State University of New York Press, 1995), hlm. 147.
[12]
Syafa’atun Almirzanah dan Sahiron Syamsuddin (Ed). Upaya Integrasi
Hermeneutika dalam Kajian Al-Qur’an dan Hadis: Teori dan Aplikasi (Buku 2
Tradisi Barat), hlm. 149.
[13]
Sahiron Syamsuddin dan Syafa’atun al-Mirzanah, Pemikiran Hermeneutika dalam
Tradisi Barat:Reader (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2011), hlm. 126.
[14]Gracia,
Pemikiran Hermeneutika dalam Tradisi Barat, terj. Sahiron Syamsuddin (Yogyakarta:
Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011), hlm. 136.
[15]
Ika Khusnul Khotimah, Skripsi “Reinterpretasi Hadis-Hadis Afdal Al-A’mal: AplikasiTeori Fungsi Interpretasi
Jorge J.E. Gracia” (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2013), hlm. 22.
[16]
Gracia, Pemikiran Hermeneutika dalam Tradisi Barat, terj. Sahiron
Syamsuddin, hlm. 137.
[17]
Jorge J.E. Gracia, A Theory of Teextuality: The logic and Epistemology (New
York: State University of New York Press, 1995), hlm. 154.
[18]
Irawan Fuadi, Skripsi “Tafsir Surat al-Nur Ayat 11-20 Tentang Hadis Al-IFK:
AplikasiTeori Hermeneutika Jorge J.E. Gracia” (Yogyakarta: UIN Sunan
Kalijaga, 2013), hlm. 20.
[19]
Jorge J.E. Gracia, A Theory of Textuality: The logic and Epistemology (New
York: State University of New York Press, 1995), hlm. 154.
[20]
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta:
Wawesea Press, 2009), hlm. 59.
[21]
Ibid, hlm. 60.
[22] Zunly Nadia, “Hermeneutika Jorge J.E
Gracia dan Relevansinya dalam memahami Hadis” Thesis Pascasarjana UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta, 2013, hlm. 65.
[23]
M. Nur Kholis Setiawan, “Emmilio Betti dan Hermeneutika sebagai Auslegung”
dalam Syafa’atun Almirzanah dan Sahiron Syamsuddin (Ed.), Upaya Integrasi
Hermeneutika...., hlm. 10.
[24]
Heru Prakosa, ”Penyingkapan Makna:Sekedar Kembali ke Maksud Pengarang
(Pokok-pokok Pemikiran E.D. Hirsch tentang Interpretasi)” dalam Syafa’atun
Almirzanah dan Sahiron Syamsuddin (Ed.), Upaya Integrasi Hermeneutika....,
hlm. 129.
[25]M.
Sahiron Syamsuddin, “Hermeneutika Hans-Georg Gadamer dan Pengembangan Ulumul
Qur’an danPembacaan al-Qur’an pada Masa Kotemporer” dalam Syafa’atun
Almirzanah dan Sahiron Syamsuddin (Ed.), Upaya Integrasi Hermeneutika....,
hlm. 39.
[26]
Mun’im Sirry, “La Ikraha fi al-Din (tidak ada paksaan dalam Agama):
Menafsirkan tafsir al-qur’an bersama Paul Ricoeur” dalam Syafa’atun
Almirzanah dan Sahiron Syamsuddin (Ed.), Upaya Integrasi Hermeneutika....,
hlm. 67.
0 komentar:
Posting Komentar