Hermeneutika Romantic: Jorge J.E Garcia

Hermeneutika Romantic: Jorge J.E Garcia
Makalah Ini disusun Untuk Memenuhi Tugas Individu
Mata Kuliah Hermeneutika kelas B
Dosen Pengampu : Bapak Dr. Fahruddin Faiz, M. Ag
  



Disusun oleh :

Sofia Aulia Zakiyatun Nisa                (NIM: 15530042)



FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA

TAHUN 2017


BAB I
Pendahuluan

Secara garis besar, kajian hermeneutika membicarakan tentang bagaimana memahami (how to understand) dan menafsirkan (how to interprete)[1]. Interpretasi atau penafsiran terhadap teks merupakan salah satu problem bagi filosof maupun ahli sejarah, terutama yang terkait dengan teks-teks keagamaan. Hal ini dikarenakan sebuah interpretasi teks memiliki aspek yang lebih kompleks dari apa yang tertulis dalam teks itu sendiri.
Melihat betapa pentingnya interpretasi terhadap teks, maka muncul tokoh-tokoh hermeneutik yang menawarkan berbagai teori demi menjawab problem-problem penafsiran tersebut. Salah satu tokoh yang muncul pada masa hermeneutika romantic adalah Jorge J.E Gracia. Berbeda dengan pedahulunya Schleirmacher yang terfokus pada objektivitas teks. Maka pada teori Gracia ini mulai memunculkan teori yang mencoba untuk menyeimbangkan antara objektivitas dan subjektivitas teks. Ini dapat dibuktikan dari ke tiga teori fungsi interpretasi yang dibangunnya, yaitu fungsi historis, fungsi pengembangan makna, dan fungsi implikatif. Pembahasan lebih lanjut terkait tokoh dan teori Jorge J.E Gracia akan dibahas pada pembahasan-pembahasan selanjutnya.









BAB II
Pembahasan

A.           Sekilas Tentang Hermeneutika Romantic

Seperti pembahasan yang telah lalu, secara umum hermeneutika dapat didefinisikam sebagai teori atau filsafat interpretasi makna. Bermula dari kemunculan kemodernnannya pada abad-19, baru-baru ini hermeneutika menjadi topik utama dalam filsafat ilmu-ilmu sosial, filsafat seni dan bahasa, dan dalam kritik sastra.[2]  
Kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani yaitu seorang dewa yang bernama Hermes. Hermes dalam mitologi Yunani merupakan dewa yang menyampaikan pesan para dewa kepada manusia. Hermes bertugas untuk menafsirkan pesan-pesan dewa kepada manusia sehingga pesan-pesan tersebut dapat dimengerti dengan jelas dan bermakna oleh manusia. Selanjutnya hermeneutika secara konsekuen terikat pada dua tugas ini: Pertama, memastikan isi dan makna sebuah kata, kalimat, teks. Kedua, menemukan intruksi-intruksi yang terdapat di dalam bentuk-bentuk simbolis.[3]
Di sepanjang sejarahnya, hermeneutika secara umum muncul dan berkembang sebagai teori interpretasi saat hermeneutika mulai diperlukan  untuk penerjemahan literatur otoritatif di bawah kondisi-kondisi yang tidak mengizinkan akses kepadanya, disebabkan adanya rentang jarak dan waktu.[4]
Schleiermacher yang dikenal sebagai Bapak Hermeneutika Umum setidaknya telah mengembangkan hermeneutika yuridis karya Betti dengan membentuk teori hermeneutik umum yang di antaranya terdapat “kanon totalitas dan koherensi makna” atau sering disebut “lingkaran hermeneutik”.  Dua tradisi yang mempengaruhi Schleiermacher dalam mengembangkan hermeneutikanya adalah filsafat transendental dan romantisisme. Selanjutnya, Schleiermacher menyatakan bahwa setiap pikiran pengarang harus dikaitkan dengan kesatuan dari sebuah subjek yang berkembang secara aktif dan organis: relasi antara individualitas dan totalitas menjadi titik utama hermeneutika romantik.[5]
Sistematika dari teori Schleiermacher terdiri dari dua bagian, yaitu interpretasi gramatis dan psikologis. Menurutnya, dengan pengetahuan historis dan linguistik yang tepat, interpretator berada dalam posisi untuk memahami pengarang lebih baik dari pengarang mengalami dirinya sendiri.

 Lingkaran hermenetik adalah hubungan dialektis antara bagian dari keseluruhan teks. Interpretasi psikologis dan interpretasi gramatis saling mengandaikan dalam memahami teks. Hermeneutika gramatikal berarti seorang penafsir harus memperhatikan aspek diakronik teks, seperti kosa kata dan tata bahasa yang berlaku pada saat teks muncul. Sedangkan hermeneutika psikologis adalah bentuk penafsiran di mana seseorang memahami makna di balik teks yang berupa makna dan kejiwaan teks dengan cara memperhatikan aspek psikologis pengarang dan kondisi historis teks itu muncul.[7] Singkatnya, interpretasi gramatis fokus pada unsur-unsur bahasa teks, sedang interpretasi psikologis fokus pada isi pikiran penulis, yakni intensi awalnya untuk menulis teks tersebut.[8]
Melihat dari tujuan Schleiermacher dengan menyeimbangkan kedua hermeneutik (gramatis dan psikologis) yang diharapkan mampu menangkap makna orisinal yang dimaksud pengarang teks dan menghindari kesalahpahaman  terhadap teks, maka hermeneutika Schleiermacher ini digolongkan dalam hermeneutika objektivis (romantisis).[9] Salah satu tokoh lain dari hermeneutika objektivis ini adalah Jorge J.E Garcia, pembahasan lebih lanjut mengenai tokoh ini akan dibahas pada pembahasan berikutnya.

B.            Biografi Jorge J.E Garcia[10]
Jorge J.E Gracia lahir pada tahun 1942 di Kuba dari seorang ibu yang bernama Leonila M. Otero Munoz dan ayahnya bernama Dr. Ignacio J.L. de la C. Gracia Dubie. Gracia merupakan seorang profesor di Universitas Negeri New York, Departemen Filsafat dan Departemen Sastra Perbandingan.  Ia menerima gelar Ph.D. dalam Filsafat Abad Pertengahan dari University of Tronto, sebelumnya ia sempat menyelesaikan pendidikannya di Kuba, Kanada, dan Amerika Serikat. Pada tahun 1966 Gracia menikah dengan Norm E. Silva Cabase. Dari pernikahan tersebut, ia dikaruniai dua orang anak dan empat orang cucu.
Sebagai akademisi, Gracia telah menulis banyak buku, artikel dalam jurnal, antologi, mengisi seminar, juga sebagai editor sebuah buku. Karya-karyanya antara lain membahas pada bidang Metafisika/Ontologi, Historiografi Filosofis, Etnis/Ras/Isu Kebangsaan, Medieval/Scholastic Filsafat dan Hispanik, Latino/Filsafat Amerika Latin, dan juga Filsafat Bahasa/ Hermeneutika. Di antara judul bukunya adalah A Theory of Textuality: The Logic and Epistemologi yang diterbitkan di State University of New York pada tahun 1995. Buku inilah yang sangat terkait dengan dunia hermeneutik.




C.           Teori Interpretasi Jorge J.E Gracia
1.      Hakikat Interpretasi
Dalam bukunya A Theory of Textuality[11], Gracia menjelaskan bahwa secara bahasa istilah interpretation adalah terjemah dari kata latin interpretatio yang berasal dari kata interpres yang bermakna “menyebarkan keluar”. Kata interpres menurutnya dapat diterjemahkan agen antara dua pihak, broker atau negosiator, penerjemah atau penjelas. Sedangkan kata interpretatio memiliki tiga kemungkinan makna, yaitu: 1) meaning (arti), yaitu memberi interpretasi (penafsiran) itu sama dengan memberi arti pada sesuatu yang sedang ditafsirkan. 2) Translation (penerjemahan), yaitu penerjemahan/mengalih bahasakan teks dari bahasa yang satu ke bahasa lainnya. 3) Explanation (penjelasan), yaitu menjelaskan sesuatu yang tersembunyi dan tidak jelas, membuat sesuatu yang tidak teratur menjadi teratur, dan menyediakan informasi tentang sesuatu atau lainnya.
Sedangkan secara terminologis, Gracia menyatakan bahwa interpretasi mencakup tiga definisi, yaitu: 1) understanding (pemahaman), yaitu pemahaman seorang terhadap makna teks. Dalam hal ini Gracia menambahkan bahwa kebenaran dalam penafsiran ini bisa saja plular (banyak pemahaman). 2) Deconding (pengkodean), yaitu proses atau aktivitas di mana seseorang mengembangkan pemahaman terhadap teks yang melibatkan pengkodean terhadap teks untuk memahami pesannya, dan pemahaman itu tidak harus identik dengan pesan itu sendiri.[12] 3) Interpretasi merujuk pada  teks yang melibatkan tiga hal, yaitu: teks yang ditafsirkan (interpretandum), penafsir (interpreters), keterangan tambahan (interpretans).
Selanjutnya, apa yang ditambahkan pada teks yang ditafsirkan (interpretans) itu merupakan sesuatu yang lain karena interpretasi merupakan sesuatu yang lebih dari teks. Teks yang ditafsirkan penafsir baik yang ditulis maupun yang secara mental hadir dalam pikiran, itu bukanlah interpretasi. Interpretasi dikatakan hadir atau muncul ketika seorang penafsir mulai menganalisis teks itu ke dalam terma-terma dan konsep-konsep yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam teks tersebut.[13]

2.      Fungsi Interpretasi
Fungsi umum dari interpretasi adalah menciptakan pemahaman-pemahaman dalam benak audiens kotemporer terkait dengan teks tertentu. Dengan kata lain, sebuah penafsiran seharusnya merupakan tindakan yang dapat memberikan pengaruh pada audiens, menciptakan di dalam diri audiens pemahaman terkait dengan teks historis yang sedang menjadi objek penafsiran.[14] Untuk menjawab permasalahan tersebut, Gracia menawarkan konsep The Priciple of Propotional Understanding (Prinsip Pemahaman yang Proposional). Di mana konsep tersebut menegaskan bahwa kualitas pemahaman yang dimiliki audiens kotemporer harus dipertimbangkan pemahaman yang dimiliki oleh pengarang audiens historis.[15]
Selanjutnya secara khusus Gracia menjelaskan fungsi interpretasi menjadi tiga fungsi, fungsi-fungsi tersebut yaitu:
a.       Fungsi Historis (Historical Function)
Dengan asumsi bahwa teks muncul pada konteks ruang dan waktu tertentu, maka teks tentu tidak terlepas dari latar belakang kondisi sosial budaya masyarakat pada saat teks itu muncul. Seorang penafsir mempunyai tugas membuat audiens kotemporer paham terhadap makna teks yang dimiliki oleh pengarang dan audiens pada masanya.[16]
b.      Fungsi Pengembangan Makna (Meaning Function)
Fungsi interpretasi pengembangan makna ini adalah menciptakan di benak audiens kotemporer suatu pemahaman yang mungkin melampaui pemahaman yang dimiliki oleh pengarang historis dan audiens historis teks, dengan cara memunculkan aspek-aspek makna teks yang belum diketahui oleh pengarang dan audiens historis.[17]
Selain itu, menurut Gracia tujuan interpretasi bukanlah menciptakan kembali pemahaman pengarang dan audiens historis, bahkan bisa jadi makna teks yang ditafsirkan lebih luas daripada makna yang dimiliki oleh pengarang dan audiens historis. Seorang penafsir dituntut menguasai berbagai ilmu untuk menafsirkan teks. Sehingga dengan luasnya pengetahuan penafsir, maka akan semakin luas pula penafsiran terhadap teks tersebut.[18]
c.       Fungsi Implikatif (Implicative Function)
Interpretasi dalam fungsi ini yaitu menciptakan di benak audiens kotemporer sebuah pemahaman di mana audiens tersebut memahami implikasi-implikasi (kesimpulan-kesimpulan) makna, terlepas dari apakah implikasi-implikasi makna tersebut telah disadari atau diketahui oleh pengarang dan audiens historis atau belum.[19] Secara singkat, audiens (pembaca) kotemporer diarahkan untuk melihat implikasi (kesimpulan) dari makna teks yang ditafsirkan.

3.      Ragam Interpretasi
Gracia membagi interpretasi menjadi dua macam, yaitu interpretasi tekstual dan kontekstual. Penjelasan lebih lanjut sebagai berikut:
a.       Interpretasi Tekstual
Interpretasi tekstual dapat dipahami sebagai upaya seorang penafsir untuk mengungkap makna dari apa yang ditafsirkan dengan cara menambahkan keterangan apapun yang penting menurut penafsir dengan tujuan mendapatkan hasil-hasil tertentu dibenak/pikiran audiens. Hasil tertentu ini berupa tiga hal, yaitu:[20] 1) menemukan pemahaman pengarang teks historis dan audiens historis (audiens di mana teks itu muncul). 2) Menciptakan makna baru untuk audiens kotemporer (masyarakat saat ini) yang telah diolah oleh penafsir pada masanya. 3) Menangkap implikasi (kesimpulan) dari makna teks tertentu.
b.      Interpretasi Non Tekstual
Interpretasi non tekstual adalah interpretasi yang didasarkan pada interpretasi tekstual namun mempunyai sesuatu yang lain dan tujuan utama, meskipun tujuan tersebut melibatkan semacam bentuk pemahaman juga. Pendek kata, fungsi ini berbeda dengan tiga fungsi interpretasi yang diarahkan pada makna teks atau implikasinya.[21]
Interpretasi nontekstual bertujuan mencari makna dibalik makna tekstual (tersurat). Sehingga interpretasi non tekstual tidak sebatas mencari makna teks tersebut.



D.    Tinjauan Kritis Teori Gracia dengan Tokoh  Hermeneutika Lain
Secara umum teori interpretasi Gracia dapat diaplikasikan pada teks-teks keagamaan baik hadis maupun al-Qur’an. Hal ini terlihat dari banyaknya penelitian dari para akademisi terkait teks al-Qur’an maupun hadis yang menggunakan teori interpretasi Gracia.
Hal ini juga diperkuat dengan banyaknya kesesuaian teori maupun konsep yang ditawarkan Gracia yang tidak berbeda dengan tokoh-tokoh hermeneutik lainnya. Seperti contohnya pada teori fungsi historis interpretasi milik Gracia ini mirip dengan hermeneutika Scheleirmacher, dimana dalam teorinya ia juga menekankan pada pencarian makna asal dari sebuah obyek penafsiran. Tidak berbeda jauh dengan Gracia, menurut Scheleirmacher fungsi interpretasi historis di sini adalah upaya merekontruksi apa yang dimaksud oleh pengarang teks berdasar analisa bahasa dan analisa psikologi sang pengarang. Hal ini dikarenakan teks terikat dan tergantung pada pencipta teks tersebut, sehingga seorang penafsir harus memahami seluk-beluk dan latar belakang pengarangnya.[22]
Selain tokoh Scheleirmacher yang memperkuat teori historis milik Gracia, Emilio Betti pun berpendapat bahwa penafsiran pada dasarnya dimaksudkan agar pemikiran akan sesuatu dipahami apa adanya sesuai dengan pemilik gagasan (pengarang) selaras dengan lingkungan sosial yang meliputinya.[23]
Hirsch juga berpendapat bahwa hermeneutik adalah proses untuk membangkitkan kembali maksud pengarang makna akan menjadi valid.[24] Pendapat ini tentunya semakin memperkuat teori fungsi historis Gracia tersebut.
Teori milik Gracia selanjutnya yang diperkuat oleh tokoh hermeneutika yang lain adalah teori pengembangan makna. Gadamer menyatakan bahwa dalam proses penafsiran itu tidak hanya ada horison teks, namun perlu diakui adanya horison pembaca. Kedua horison tersebut dikomunikasikan untuk mengatasi ketegangan antara keduanya. Agar teks tersebut bisa dipahami oleh audiens kotemporer, maka perlu melakukan pengembangan makna.[25]
Selanjutnya, pada teori fungsi implikatif milik Gracia memiliki persamaan dengan apa yang disebut Gadamer dengan istilah application (aplikasi). Gadamer mengharapkan makna yang telah didapat dalam proses pemahaman sebelumnya dan telah mengalami pengembangan bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Senada dengan Gadamer, Paul Ricoeur pun menegaskan bahwa puncak penafsiran adalah appropriation, yaitu proses memahami diri sendiri dihadapan dunia yang diproyeksikan teks.[26]












BAB III
Kesimpulan

Dari penjelasan panajang menganai biografi tokoh hermeneutik Jorge. J.E Gracia hingga teori-teorinya yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan beberapa point sebagai berikut:
1.    Jorge J.E Gracia merupakan salah satu tokoh hermeneutik pada masa romantic namun ia tidak hanya menekankan teori hermeneutiknya dengan melihat sisi objektivitas teks, namun sudah berupaya menyeimbangkan sisi objektivitas dan subjektivitas teks. Maka aliran hermeneutik Gracia kerap digolongkan dalam aliran objektivis-cum-subjektivis.
2.    Gracia berpendapat bahwa interpretasi melibatkan tiga hal, yaitu teks yang ditafsirkan (interpretandum), penafsir, keterangan tambahan (interpretans).
3.    Fungsi interpretasi menurut Gracia terdiri dari fungsi historis, fungsi pengembangan makna, fungsi implikatif.
4.    Untuk mengatasi problem dilema penafsir yaitu salah satunya disebabkan adanya kebimbangan fungsi penafsiran historis yang dimungkinkan dapat mendistorsi teks yang ditafsirkan, namun di sisi lain tanpa adanya penambahan keterangan (interpretans) audiens kotemporer tidak dapat memahami teks historis. Maka Gracia menawarkna konsep the Principle of Propotional Text, yaitu dengan menyamakan rasio/jumlah/kualitas pemahaman antara audiens kotemporer dengan penyusun teks yang ditafsirkan audiens historis.
5.    Interpretasi memiliki dua macam jenis yaitu interpretasi tekstual dan interpretasi non tekstual.
6.    Tujuan penafsiran menurut Gracia adalah untuk menciptakan teks penafsiran yang dapat membentuk di benak audiens kotemporer pemahaman-pemahaman yang secara intensional sama dengan pemahaman-pemahaman yang diciptakan oleh pengarang dan audiens historis dari teks historis tersebut.
7.    Menurut Gracia, tidak mudah membicarakan kebenaran interpretasi. Menurutnya tidak relevan menentukan bahwa interpretasi itu benar atau salah. Yang tepat adalah mengatakan bahwa sebuah interpretasi itu lebih efektif atau kurang efektif, atau lebih cocok atau kurang cocok.
8.    Kebenaran interpretasi itu tidaklah tunggal, melainkan plular. Namun bukan berarti kebenaran interpretasi ini bersifat relatif yang tidak terbatas. Interpretasi itu pasti mengandung nilai objektivitas dan subjektivitas dalam waktu yang bersamaan.





Daftar Pustaka
Bleicher, Josef. 2003. Hermeneutika Kotemporer:Hermeneutika sebagai Metode, Filsafat, dan Kritik .Yogyakarta:Fajar Pustaka.
Faiz, Fahruddin. 2005. Hermeneutika Al-Qur’an;Tema-Tema Kontroversial. Yogyakarta: Elsaq.
Fuadi, Irawan. 2013. Skripsi “Tafsir Surat al-Nur Ayat 11-20 Tentang Hadis Al-IFK: AplikasiTeori Hermeneutika Jorge J.E. Gracia”. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
Gracia, Jorge J.E. 1995. A Theory of Teextuality: The logic and Epistemology. New York: State University of New York Press. 
Hardiman, F. Budi. 2015. Seni Memahami. Yogyakarta: PT Kanisius. 

Khotimah, Ika Khusnul. 2013. Skripsi “Reinterpretasi Hadis-Hadis Afdal  Al-A’mal: AplikasiTeori Fungsi Interpretasi Jorge J.E. Gracia”. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
Nadia, Zunly. 2013. “Hermeneutika Jorge J.E Gracia dan Relevansinya dalam memahami Hadis” Thesis Pascasarjana. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
Prakosa, Heru.  ”Penyingkapan Makna:Sekedar Kembali ke Maksud Pengarang (Pokok-pokok Pemikiran E.D. Hirsch tentang Interpretasi)” dalam Syafa’atun Almirzanah dan Sahiron Syamsuddin (Ed.)
Sirry, Mun’im. “La Ikraha fi al-Din (tidak ada paksaan dalam Agama): Menafsirkan tafsir al-qur’an bersama Paul Ricoeur” dalam Syafa’atun Almirzanah dan Sahiron Syamsuddin (Ed.)
Setiawan, M. Nur Kholis. “Emmilio Betti dan Hermeneutika sebagai Auslegung” dalam Syafa’atun Almirzanah dan Sahiron Syamsuddin (Ed.)
Syamsuddin, Sahiron dan Syafa’atun al-Mirzanah. 2011. Pemikiran Hermeneutika dalam Tradisi Barat:Reader. Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Syamsuddin, Sahiron. 2009. Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Wawesea Press.
Syamsuddin, Sahiron dan Syafa’atun Almirzanah (Ed). Upaya Integrasi Hermeneutika dalam Kajian Al-Qur’an dan Hadis: Teori dan Aplikasi (Buku 2 Tradisi Barat).
Syamsuddin, M. Sahiron, “Hermeneutika Hans-Georg Gadamer dan Pengembangan Ulumul Qur’an danPembacaan al-Qur’an pada Masa Kotemporer” dalam Syafa’atun Almirzanah dan Sahiron Syamsuddin (Ed.)










[1] Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an; Tema-Tema Kontroversial, (Yogyakarta: Elsaq, 2005), hlm. 4
[2] Josef Bleicher, Hermeneutika Kotemporer:Hermeneutika sebagai Metode, Filsafat, dan Kritik (Yogyakarta:Fajar Pustaka,2003), hlm. V.
[3] Josef Bleicher, Hermeneutika Kotemporer:Hermeneutika sebagai Metode, Filsafat, dan Kritik (Yogyakarta:Fajar Pustaka,2003) hlm. 3.
[4] Ibid.
[5] Ibid. hlm. 10.
[6] F. Budi Hardiman, Seni Memahami (Yogyakarta: PT Kanisius, 2015), hlm. 43-44.
[7] Sahiron Syamsuddin dan Syafa’atun al-Mirzanah, Pemikiran Hermeneutika dalam Tradisi Barat:Reader (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011), hlm. Ix.
[8] F. Budi Hardiman, Seni Memahami (Yogyakarta: PT Kanisius, 2015), hlm. 45.
[9] Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Wawesea Press, 2009), hlm. 27-42.
[11] Jorge J.E. Gracia, A Theory of Teextuality: The logic and Epistemology (New York: State University of New York Press, 1995), hlm. 147.
[12] Syafa’atun Almirzanah dan Sahiron Syamsuddin (Ed). Upaya Integrasi Hermeneutika dalam Kajian Al-Qur’an dan Hadis: Teori dan Aplikasi (Buku 2 Tradisi Barat), hlm. 149.
[13] Sahiron Syamsuddin dan Syafa’atun al-Mirzanah, Pemikiran Hermeneutika dalam Tradisi Barat:Reader (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011), hlm. 126.
[14]Gracia, Pemikiran Hermeneutika dalam Tradisi Barat, terj. Sahiron Syamsuddin (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011), hlm. 136.
[15] Ika Khusnul Khotimah, Skripsi “Reinterpretasi Hadis-Hadis Afdal  Al-A’mal: AplikasiTeori Fungsi Interpretasi Jorge J.E. Gracia” (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2013), hlm. 22.

[16] Gracia, Pemikiran Hermeneutika dalam Tradisi Barat, terj. Sahiron Syamsuddin, hlm. 137.

[17] Jorge J.E. Gracia, A Theory of Teextuality: The logic and Epistemology (New York: State University of New York Press, 1995), hlm. 154.
[18] Irawan Fuadi, Skripsi “Tafsir Surat al-Nur Ayat 11-20 Tentang Hadis Al-IFK: AplikasiTeori Hermeneutika Jorge J.E. Gracia” (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2013), hlm. 20.
[19] Jorge J.E. Gracia, A Theory of Textuality: The logic and Epistemology (New York: State University of New York Press, 1995), hlm. 154.
[20] Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Wawesea Press, 2009), hlm. 59.
[21] Ibid, hlm. 60.
[22]  Zunly Nadia, “Hermeneutika Jorge J.E Gracia dan Relevansinya dalam memahami Hadis” Thesis Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2013, hlm. 65.
[23] M. Nur Kholis Setiawan, “Emmilio Betti dan Hermeneutika sebagai Auslegung” dalam Syafa’atun Almirzanah dan Sahiron Syamsuddin (Ed.), Upaya Integrasi Hermeneutika...., hlm. 10.
[24] Heru Prakosa, ”Penyingkapan Makna:Sekedar Kembali ke Maksud Pengarang (Pokok-pokok Pemikiran E.D. Hirsch tentang Interpretasi)” dalam Syafa’atun Almirzanah dan Sahiron Syamsuddin (Ed.), Upaya Integrasi Hermeneutika...., hlm. 129.
[25]M. Sahiron Syamsuddin, “Hermeneutika Hans-Georg Gadamer dan Pengembangan Ulumul Qur’an danPembacaan al-Qur’an pada Masa Kotemporer” dalam Syafa’atun Almirzanah dan Sahiron Syamsuddin (Ed.), Upaya Integrasi Hermeneutika...., hlm. 39.
[26] Mun’im Sirry, “La Ikraha fi al-Din (tidak ada paksaan dalam Agama): Menafsirkan tafsir al-qur’an bersama Paul Ricoeur” dalam Syafa’atun Almirzanah dan Sahiron Syamsuddin (Ed.), Upaya Integrasi Hermeneutika...., hlm. 67.

0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.