Kedudukan dan Peran Perempuan dalam Sejarah Islam

A.    Kedudukan dan Peran Perempuan dalam Lintas Sejarah Islam
1.      Kedudukam dan Peran Perempuan Pra Islam
Pada masa pra Islam kedudukan dan peran perempuan sangatlah rendah dan hina, perempuan selalu dianggap sebagai makhluk nomor dua. Bahkan muncul anggapan bahwa kedudukan dan peran wanita pada masa itu disamakan dengan binatang. Perempuan identik dianggap sebagai pangkal keburukan dan sumber bencana.[1]
Hampir disemua masa dan bangsa sebelum Islam pada umumnya memandang wanita sebagai makhluk sebangsa hewan atau binatang bahkan lebih rendah dari itu. Eksistensi kaum perempuan pada masa-masa itu seperti barang dagangan yang dijual di pasar-pasardan dianggap sebagai sampah.[2]
Pada masa Yunani dan Romawi kedudukan perempuan tidak lebih dari barang dagangan, tidak berhak mewarisi, dan tidak boleh mempergunakan hartanya apalagi harta suaminya. Sedangkan pada agama Yahudi dan Nasrani, kaum perempuan dianggap sebagai pangkal kejahatan atau sumber kejahatan, sumber kesalahan, sumber dosa. Pada masa Jahiliyah pun perempuan dianggap sebagai barang atau budak, bahkan pada masa ini praktik merendahkan derajat dan martabat kaum perempuan dilakukan dengan cara membunuh atau mengubur bayi-bayi perempuan yang baru lahir. Dari segi hak, pada masa Jahiliyah kaum perempuan tidak mempunyai hak apapun dan tidak mewarisi apapun bahkan perempuan dianggap sebagai sumber aib dan kehinaan.


2.      Kedudukan dan Peran Perempuan dalam Masa Awal dan Pertengahan Islam
Pada awal dan abad pertengahan Islam kaum perempuan mulai merasakan atau menikmati hak dan kewajibannya dalam berbagai bidang kehidupan baik yang bersifat keagamaan maupun kemasyarakatan yang menyangkut bidang politik, ekonomi, pekerjaan, ilmu pengetahuan dan lain-lain.[3] Islam mengadakan perbaikan-perbaikan mendasar dengan menetapkan wanita pada tempat yang terhormat yang tidak kurang derajatnya dari laki-laki, baik dalam harkat dan martabat kemanusiaan maupun dalam hal keagamaan.[4]
Al-Qur’an sebagai rujukan, pedoman prinsip masyarakat Islam, pada dasarnya mengakui bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama keduanya diciptakan dari satu nafs, dimana yang satu tidak memiliki keunggulan terhadap yang lain.[5]
Dalam kehidupan bermasyarakat pada awal dan abad pertengahan Islam antara perempuann dan laki-laki selalu terjadi interaksi, baik dalam bidang politik, sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan, hukum, tolong-menolong.[6] Hal ini dapat dilihat dari perjalanan sejarah mulai pada awal Islam sampai abad pertengahan dimana perempuan telah memberikan andil yang cukup besar dalam pertumbuhan dan pergerakan Islam, seperti yang dicontohkan oleh para ister-isteri Rasulullah Saw. Sedangkan pada bidang hukum perempuan pada masa itu memiliki hak penuh untuk menggunakan hartanya tanpa diadakan perwalian atasnya.[7]

3.      Kedudukan dan Peran Perempuan di Era Kotemporer
Jika pada masa awal dan pertengahan Islam kaum perempuan sudah dapat menikmati dan merasakan hak dan kewajibannya, baik dalam hal yang berkaitan dengan kedudukannya sebagai hamba Allah atau sebagai warga masyarakat, seperti pada bidang politik, ekonomi, sosial, hukum, pendidikan, dan lain-lain. Maka pada masa kotemporer kaum perempuan telah memainkan peran-peran tertentu dalam berbagai aspek kehidupan bahkan telah memegang peran-peran penting dalam bidang pemerintahan, swasta, bank, pabrik, pasar, tentara, olahraga, dan lain-lain.
Kaum perempuan pada masa ini mulai mempunyai kemampuan intelektual yang tidak kalah dengan kaum laki-laki. Tuntutan kehidupan masyarakat yang semakin kompleks, mejadikan kaum perempuan merasa wajib ikut ambil bagian dalam berkarya, serta berpacu untuk merebutkan kesempatan untuk berupaya memenuhi tuntutan kehidupannya, sehingga pada hampir seluruh lapangan atau sektor pekerjaan telah didominasi kaum perempuan, baik jenis pekerjaan yang ,engandalkan akal, ketelitian, bahkan yang mengandalkan otot sekalipun.[8]
Di dunia politik pada perkembangan modern ini bahkan banyak muncul tokoh perempuan yang aktif dalam bidang pekerjaan organisasi, baik pribadi, kelompok, maupun umum, seperti, Benazir Bhutto, Khalida, Megawati Soekarno Putri, Ali Zabet, Tuti Alawiyah, dan lain-lain.
Kemajuan-kemajuan uyang dicapai kaum perempuan bukan hanya dalam urusan keduniawian saja, akan tetapi dalam masalah ibadah pun kaum perempuan mengalami kemajuan yang sangat pesat. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya majlis-majlis ta’lim yang ada di masjid-masjid, sekolah, rumah, kantor, dan tempat-tempat lainnya yang dipenuhi oleh kaum perempuan baik itu orang tua, dewaa, remaja, bahkan anak-anak.[9]

B. Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama tentang Pemimpin Perempuan
1. Ulama yang tidak memperbolehkan Kepemimpinan Perempuan.
            Argumentasi yang digunakan mereka adalah Ijma’ ulama (konsesus para ahli hukum Islam) dengan berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadis sebagai berikut:
a.       Surat an-Nisa’:34 tentang Laki-laki menjadi pemimpin atas Perempuan
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Artinya: “kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena itu Allah swt. Telah melebihkan sebagian mereka (lai-laki) atas sebagian yang lain (peerempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. (QS. An-Nisa’: 34).
Quraish Shihab menyatakan bahwa ayat tersebut menjelaskan tentang tanggung jawab kepemimpinan, karena kepemimpinan untuk setiap unit merupakan hal yang mutlak.[10]
Sedangkan Muhammad Rasyid Rida mengatakan bahkan ayat tersebut menjelaskan tentang kedudukan laki-laki sebagai pemimpin, karena laki-laki lebih baik dan lebih utama dari perempuan, makanya kenabian dikhususkan bagi kaum laki-laki.[11]
Sementara Ibnu Katsir berpendapat bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan terletak pada kekuatan akal dan kejernihan pikiran, seehoingga laki-laki lebih mampu berusaha, berkreasi, dan mengatur urusan. Oleh karena itu, laki-laki diberi tugas untuk memimpinny, mendidiknya, dan sebagainya. [12]
Ali As-Sabuni mengatakan bahwa keutamaan (fadal) laki-laki atas perempuan karena empat hal, yaitu kecerdasan akal (kamal al-aql), kemampuan manajerial (husnu at-tadbir), keberanian berpendapat (wazanah ar-ra’yi), kelebihan kekutatan fisik (mawazidu al-quwah), kepemimpinan (imamah), kekuasaan (wilayah), dan persaksian (syahadah). Lebih lanjut beliau mengutip pendapatnya Abu Su’ud yang mengatakan bahwa, oleh karena laik-laki mempunyai sifat lebih baik dan lebih utama dari perempuan, maka Allah mengkhususkan semua jenis perintah yang sesuai dengan sifat tersebut, sebagaimana memangku sebuah jabatan kenabian, kepemimpinan, kekuasaan, persaksian, perjuangan dan lain-lain.[13]
b.      Surat Ali ‘Imran: 36 tentang Perbedaan Lakip-laki dan Perempuan
.....وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنْثَى وَإِنِّي سَمَّيْتُهَا مَرْيَمَ وَإِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Artinya: “Anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan” (QS. Ali ‘Imran: 36)
Abdur Razak menjelaskan bahwa yang dimaksud ayat di atas meliputi semua perbedaan yang tidak terbatas pada kapasitas kemampuan laki-laki dan perempuan saja, akan tetapi sudah menjadi sunatullah, bahwa dalam kehidupan ini semua makhluk Allah diciptakan berbeda-beda agar siklus kehidupan tetap terjaga. Sebagian manusia menjadi pemimpin, yang lain dipimpin sehingga semua manusia memainkan peran dalam kehidupan ini, baik besar maupun kecilm rakyat jelata ataupun penguasa. Oleh karena itu, dengan adanya perebedaan mencolok antara laki-laki dan perempuan, baik dalam peniptaan anggota tubuh maupun kejiwaan, masing-masing individu telah merasa nyaman dengan fitrahnya tersebut.[14]
c.       Surat Al-Baqarah: 228 tentang Kelebihan Laki-laki dan Perempuan
....وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya: “Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya”. (QS. Al-Baqarah: 228)
Menurut Sa’ad Shadiq Muhammad, kelebihan derajat laki-laki atas perempuan inikarena beberapa hikmah diantaranya adalah:
1.      Laki-laki diciptakan memiliki kelebihan potensi akal (berpikir)
2.      Laki-laki mempunyai kekutan tenaga yang dengan kekuatan ini dapat mampu berusaha melebihi perempuan menjaga keluarganya dari serangan musuh dan bahaya lain.
3.      Dengan kelebihan ini, kemudahan Allah menentukan sifat kepemimpinan dalam diri laki-laki , baik kepemimpinan yang bersifat umum (menyeluruh) di tengah masyaraka, maupun yang bersifat khusus di dalam rumah. Sifat ini mutlak diperlukan karena tanpa sifat kepemimpinan, aturan ini tidak akan bisa terwuud. Sehingga dengan kelebihan ini, laki-laki berkewajiban memikul perekonomian keluarga.[15]
d.      Surat Al-Baqarah: 282 tentang Perbedaan Laki-laki dan Perempuan dalam Persaksian
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya: “ Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki-laki di antaramu. Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai , supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatnya”. (QS. Al-Baqarah: 282)
Menurut Ali Ahmad Jurjani, dan dikutip oleh tafsir  Departemen Agama kaum laki-laki lebih banyak menggunakan pikiran dalam menimbang problem yang dihadapi, sedangkan perempuan leboih banyak menggunakan pikirannya dalam masalah pelik, lebih-lebih dalam keadaan marah dan benci.[16]
Muhammad Yunus mengatakan, ketentuan saksi laki-laki hanya seorang sedangkan perempuan dua orang, hali ini disebabkan urusan utang piutang biasanya dilakukan oleh laki-laki, bukan urusan perempuan, sehiungga perempuan tidak begitu mementingkannya, karena kerap kali perempuan lupa sehingga harus dilakukan oleh dua orang.[17]
e.       Perempuan Akal dan Agamanya Kurang
H.R. Bukhori
Artinya: “Dari Sa’id Al-Khudri berakata, Rasulullah saw. keluar hari raya Adha atau Fitri ke tempat salat, maka beliau melewati para perempuan, kemudian beliau bersabda: wahai kaum perempuan, bersedekahlah kamu semua, karena saya diperlihatkan kamu paling banyaknya ahli neraka. Mereka bertanya, sebab apa kami ya Rasulullah, beliau menjawab: kamu semua banyak mengerjakan perkara yang dilaknat dan mengingkari pemberian suaminya. saya tidak melihat (orang) yang lemah akalnya dan kurang agamnya, tetapi mampu meluluhkan hati seorang laki-laki yang teguh, selain dari salah satu kamu semua. Mereka bertanya, apa bukti kekurangan agama dan lemahnya akal kami wahai Rasulullah? Rasulullah menjawab, bukanlah seorang perempuan setengah dari kesaksian laki-laki (satu orang laki-laki berbanding satu orang perempuan). Mereka menjawab benar ya Rasulullah. Rasulullah bersabda lagi, itu bukti kelemahan akalnya. Kemudian lanjut beliau, bukankah jika seorang perempuan sedang haid ia tidak puasa dan shalat? Mereka menjawab, benar ya Rasulullah, Rasulullah bersabda lagi, itulah bukti kekurangan agamanya”. (HR. Bukhari).[18]
f.       Perempuan Tidak Bisa Menjadi Imam Shalat bagi Makmum Laki-laki
HR. Ibnu Majah dari Jabir.
Artinya: “jangan perempuan menjadi imam (shalat) atas laki-laki, dan A’robi atas muhajir, serta orang yang berdosa atas mukmin”. (HR. Ibnu Majah dari Jabir).[19]

2. Ulama yang Memperbolehkan Kepemimpinan Perempuan
            Sedangkan pandangan kedua ini yang menyatakan bahwa perempuan boleh terlibat dalam dunia politik dan bahkan memimpin negara, karena perempuan dan laki-laki sama-sama diciptakan Allah sebagai khalifah di muka bumi.
Argumen yang menyatakan kebolehan Kepemimpinan Perempuan adalah sebagai berikut:
a.       Surat An-Nisa’: 34. Pernyataan Al-Qur’an tentang Laki-laki Sebagai Pemimpin Atas Perempuan
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Artinya: “Kaum Laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah swt, telah melebihkan sebagai mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. (QS. An-Nisa: 34)
            Zaitunah Subhan mengatakan bahwa ayat ini secara eksplisit menegaskan tentang kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan hanya dalam rumah tangga saja, karena ayat ini turun berkaitan dengan nuzus-nya Habibah kepada suaminya Sa’ad.[20]
            Menurut Quraish Shihab, ayat di atas kalau dijadikan dalil tentang kepemimpinan laki-laki kurang tepat sebab kata ar-Rijalu dalam ayat tersebut bukan berarti laki-laki secara umum, tetapi suami. Seandainya yang dimaksud dengan kata  laki-laki adalah kaum laki-laki secara umum, tentu konsideransnya tidak demikian, terlebih lanjt lagi kanjutan ayat tersebut lebih jelas berbincang tentang para istri dan kehidupan rumah tangga.[21] Oleh karena itu, wilayah ayat tersebut hanya sebatas urusan domestik, bukan urusan publik. Kepemimpinan wilayah domestik, karena pertimbangan sesuatu hal, diserahkan keooada laki-laki. Sedangkan kepemimpinan untuk wilayah publik diserahkan mengikuti kelayakan dan kemampuan seorang yang bisa saja dilakukan oleh laki-laki dan perempuan.
b.      Surat At-Taubah: 71. Pernyataan tentang Kesamaan Laki-laki dan Perempuan


وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar”. (QS: At-Taubah: 71)
            Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat di atas memberikan pemahaman antara laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama, karena secara umum ayat tersebut memberikan gambaran tentang kewajiban melakukan kerja sama antara laki-laki dan perempuan untuk berbagai bidang kehidupan yang ditunjukkan dengan kalimat menyuruh mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar. Pengertian kata Auliya’ mencakup kerja sama, bantuan, dan penguasaan, sedangkan pengertian yang terkandung dalam frase menyuruh mengerjakan yang ma’ruf mencakup segala segi kebaikan dan perbaikan kehidupan, termasuk memberikan nasihat atau kritik pada penguasa, sehingga setiap laki-laki dan perempuan muslim hendaknya mengikuti perkembangan masyarakat agar masing-masing mampu melihat dan memberikan saran atau nasihat untuk berbagai bidang kehidupan, karena keduanya mempunyai tanggung jawab yang sama di dalam membangun masyarakat.[22]
c.       Fakta Sejarah
Dalam sejarah telah diungkapkan bahwa sejumlah perempuan telah terbukti mampu memimpin bangsanya dengan sukses gemilang. Pada masa sebelum Islam, kita mengenal Ratu Balqis, penguasa negeri Saba’, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surat An-Naml:
إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ
Artinya: “Sesungguhnya Aku menjumpai seorang perempuan yang memerintah mereka dan dia anugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasan yang besar”. (QS. An-Naml: 23)
            Pemaparan kisah ini menunjukkan bahwa perempuan dibenarkan menjadi pemimpin untuk sebuah negeri, karena jika dilarang tentu Al-Qur’an akan menyatakan celaan terhadap perbuatan tersebut. Akan tetapi justru sebaliknya, Al-Qur’an menerangkan kebijakan yang dilakukan oleh Ratu Balqis dalam memerintah rakyatnya, yaitu dalam kepemimpinannya ia dikenal sangat piawai dan dikenal sukses gemilang, negaranya aman sentosa. Kesuksesan ini antara lain karena Balqis mampu mengatur negaranya dengan sikap dan pandangannya yang demokratis.[23]
d.      Adanya Maslahah
Husen Muhammad menukil pendapatnya Ibnu al-Qayyim bahwa syari’at Islam dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan kemanusiaan universal yang lain, yaitu kemaslahatan, keadilan, kerahmatan, dan kebijaksanaan. Prinsip ini harslah menjadi dasar. Dan subtansi dari seluruh persoalan fiqh, ia harus senantiasa ada dalam pikiran setiap ahli fiqh ketika memutuskan kasus hukum. Penyimpangan terhadap prinsip ini berarti menyalahi cita-cita syari’at lebih-lebih dalam persoalan yang menyangkut kemasyarakatan dan politik, maka yang paling penting adalah faktor kemaslahatan, sebagaimana perkataan Ibnu ‘Aqil yang berbunyi sebgai berikut:
Artinya: “Siyasah adalah cara yang dapat mengantarkan masyarakat pada kehidupan yang menjamin kemaslahatan dan menjauhkan mereka dari kerusakan / kebinasaan, meskipun cara itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw, dan tidak ada aturan wahyu Tuhan”.[24]
Dengan dasar kemaslahatan ini, perempuan boleh menjadi kepala negara, karena telah banyak terbukti sejumlah perempuan mampu memimpin bangsanya dengan sukses gemilang. Sehingga dalil yang melarang perempuan menjadi kepala negara tidak dapat dipertahankan lagi, karena kesuksesan atau kegagalan dalam memimpin bangsa tidak ada kaitan dengan jenis kelamin, akan tetapi lebih pada sistem yang diterapkan dan kemampuan pemimpinnya. Berangkat dari pemahaman ini, maka hukum akan berubah sesuai dengan illatnya, hal ini sebagaimana disebutkan dalam kaidah berikut ini:
Artinya: “Hukum bisa berubah karena perubahan waktu, tempat, dan keadaan”.[25]
Atas dasar kemaslahatan ini pula menjadi syarat diterimanya keputusan suatu konsensus (Ijma’). Muhammad Mustafa Syalabi mengatakan bahwa Ijma’ yang diputuskan dengan cara yang benar terhadap hukum kemaslahatannya tidak berubah sepanjang zaman. Dengan kata lain, keputusan Ijma’ dapat diubah apabila nilai kemaslahatan di mana hukum harus ditegakkan di atasnya telah mengalami perubahan.[26]




[1]  Al- Mas’udah, Skripsi “Kepemimpinan Perempuan dalam Islam: Studi Atas Kepemimpinan Bupati Tuban; Dra. Haeni Relawati Rini Widyastuti, M. Si.” (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2009), hlm. 31.
2 Ika Khusnul Khotimah, Skripsi “Reinterpretasi Hadis-Hadis Afdal  Al-A’mal: AplikasiTeori Fungsi Interpretasi Jorge J.E. Gracia” (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2013), hlm. 22.




[3] Al- Mas’udah, Skripsi “Kepemimpinan Perempuan dalam Islam: Studi Atas Kepemimpinan Bupati Tuban; Dra. Haeni Relawati Rini Widyastuti, M. Si.” (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2009), hlm. 40.

[4]  Ali Yafie, Kemitra Sejajaran Wanita dan Pria dalam Prespektif Agama Islam, al-Mawarid (Yogyakarta: Jurnal Fakultas Syariah UII, edisi kelima, 1996), hlm. 27.
[5]  Mansor Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, cet. ke-12 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 129-130.
[6]  M. Tamyis Muharrom, Kepemimpinan Politik Perempuan Dalam Islam Berkenalam dengan Pandangan Progresif  (Yogyakarta: Seminar Sehari 13 April 1998), hlm. 2.
[7]  A. Rahman Zainuddin, Hak Asasi (Jakarta: Media Dakwah, 1979), hlm. 191.
[8]  M, Sularno, Pemberdayaan Kaum Wanita dan Mewaspadai Dampak Negatifnya, al- Muwarid, (Yogyakarta, edisi V, 1996), hlm. 36-37.
[9] Al- Mas’udah, Skripsi “Kepemimpinan Perempuan dalam Islam: Studi Atas Kepemimpinan Bupati Tuban; Dra. Haeni Relawati Rini Widyastuti, M. Si.” (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2009), hlm. 54.

[10] Shibab, Quraish. (2000), Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan.
[11] Rasyid Rida, Muhammad. (1341), Al-Imamah aw Al-Imamah al-‘Uzma, Kairo : Dar al-Manar.
[12] Kasir, Isma’il Ibnu. (t.t), Tafsir Al-Qur’an al-Azhim, Semarang: Maktabah Toha Putra.
[13] As-sabuni, Ali. (1996), Sofwatu at-Tafsir, Beirut: Dar Fikr.
[14] Abdur Razak, Fada. (2004), Wanita Muslimah, terj. Mir’atul Al-Makiyyah, Yogyakarta: Darussalam.
[15] Muhammad, Sa’ad Sadiq. (2004), Harkat Wanita Dalam Islam, (terj. Mahsun Muhammad). Malang: Al-Qayyim.
[16] Departemen Agama, (1996), Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Jakarta: Menara Kudus.
[17] Yunus, Muhammad. (1993), Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Jakarta: Hidakarya Agung.
[18] AL- Bukhari. Ismail,  Shahih Bukhari, Semarang: Maktabah Usaha Keluarga.
[19] Al-Baghdadi, Abdurrahman. (1998), Emansipasi Adakah Dalam Islam, Jakarta: Gema Insani Press.
[20] Al-Wahidi, Ali bin Ahmad. (1969), Asbabu an-Nuzul, Kairo: Dar al-Kitab al-Jadid
[21] Shihab Quraish. (2000), Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan
[22] Shihab Quraish. (2000), Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan

[23] Muhammad, Husen (2001), Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas wacana Agama dan Gender, Yogyakarta: LKIS
[24]  Ibid.
[25] Ibid.
[26] Ibid.

0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.