Toleransi Agama dalam Islam

BAB I
Pendahuluan

A.         Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk indiviudu sekaligus sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial tentunya manusia dituntut untuk mampu berinteraksi dengan individu lain dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Dalam menjalani kehidupan sosial dalam masyarakat, seorang individu akan dihadapkan dengan kelompok-kelompok yang berbeda warna dengannya salah satunya adalah perbedaan agama.

Dalam pembukaaan UUD 1945 pasal 29 ayat 2 disebutkan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Olehnya itu kita sebagai warga Negara sudah sepatutnya menjunjung tinggi sikap saling toleransi antar umat beragama dan saling menghormati antar hak dan kewajiban yang ada diantara kita demi keutuhan Negara.

Kebebasan beragama pada hakikatnya adalah dasar bagi terciptanya kerukunan antar umat beragama. Tanpa kebebasan beragama tidak mungkin ada kerukunan antar umat beragama. Kebebasan beragama adalah hak setiap manusia. Hak untuk menyembah Tuhan diberikan oleh Tuhan, dan tidak ada seorang pun yang boleh mencabutnya. Oleh karena itu dalam makalah in akan dibahas lebih lanjut terkait toleransi agama dalam al-Qur’an dan pokok-pokok toleransi dalam beragama tersebut.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana  pengertian toleransi agama?
2.      Ayat apa saja yang terkait dengan toleransi agama?
3.      Bagaimana analisis penafsiran ayat-ayat tentang toleransi agama?
4.      Apa saja pokok-pokok ajaran toleransi agama dalam al-Qur’an?


BAB II
Pembahasan

A.         Pengertian Toleransi

Toleransi berasal dari bahasa latin “tolerare” yang berarti sabar atau tahan. Toleransi  adalah sikap seseorang yang bersabar terhadap keyakinann filosofis dan moral orang lain yang dianggap berbeda, dapat disanggah, atau bahkan keliru.[1]

Istilah toleransi dalam bahasa Inggris yaitu “tolerance, tolerate, ” yang berarti memperkenankan atau sabar dengan tanpa protes terhadap perilaku orang atau kelompok lain. Juga dapat berarti saling menghormati, melindungi, dan kerjasama terhadap yang lain.[2] Dalam bahasa Arab toleransi disebut dengan istilah “tasamuh” yang berarti saling mengizinkan, saling memudahkan.

Sehingga dari beberapa pengertian tersebut makna toleransi adalah mengakui kemerdekaan yang dimiliki oleh individu dengan tidak adanya paksaan, intervensi ataupun campur tangan orang lain.[3] Bersikap toleran secara sederhana dapat diartikan sebagai sikap menghargai kemajemukan.[4]

Menurut Heiler toleransi yang diwujudkan dalam kata dan perbuatan harus dijadikan sikap dalam menghadapi pluralisme agama yang dilandasi kesadaran ilmiah dan harus dilakukan dalam hubungan dan kerjasama yang bersahabat antar umat beragama.[5]

Sedangkan toleransi menurut Wazler toleransi harus mampu membentuk kemungkinan-kemungkinan sikap yang berupa menerima adanya perbedaan, mengakui hak orang lain, menghargai eksistensi orang lain, dan mendukung serta antusias terhadap perbedaan budaya dan keragaman ciptaan Tuhan (multikularisme).[6]

B. Ayat Al-Qur’an Tentang Toleransi Agama
1. QS. AL-Hujarat : 13
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚإِنَّأَكْرَمَكُمْعِنْدَاللَّهِأَتْقَاكُمْۚإِنَّاللَّهَعَلِيمٌخَبِيرٌ
Artinya :Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.[7]

            2. QS.  Al- Baqarah 256
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖقَدْتَبَيَّنَالرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚفَمَنْيَكْفُرْبِالطَّاغُوتِوَيُؤْمِنْبِاللَّهِفَقَدِاسْتَمْسَكَبِالْعُرْوَةِالْوُثْقَىٰلَاانْفِصَامَلَهَاۗوَاللَّهُسَمِيعٌعَلِيم
Artinya : Tidak ada paksaan dalam (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang (teguh) kepada buhul tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.




C.    Analisis Penafsiran Ayat Tentang Toleransi Agama
1. QS. AL-Hujarat : 13
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚإِنَّأَكْرَمَكُمْعِنْدَاللَّهِأَتْقَاكُمْۚإِنَّاللَّهَعَلِيمٌخَبِيرٌ
Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.[8]
Pada ayat tersebut Zuhairi[9] berpendapat bahwasannya ayat tersebut secara eksplisit menjelaskan bahwa Tuhan menciptakan manusia dalam jenis kelamin laki-laki dan perempuan, lalu menjadikan mereka bersuku-suku. Keragaman tersebut merupakan sebuah kehendak Tuhan yang sudah dicatat di singgasanaNya, oleh karena itu manusia harus mampu membangun toleransi dan saling pengertian di antara mereka.[10]
Ayat tersebut memiliki substansi humanis bahwasannya yang membedakan manusia dengan manusia lain adalah ketaqwaannya, bukan status sosialnya. Ayat tersebut juga memberikan motivasi untuk saling menyempurnakan satu dengan yang lain untuk memakmurkan bumi Tuhan.
2. Al-Baqarah ayat 256
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖقَدْتَبَيَّنَالرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚفَمَنْيَكْفُرْبِالطَّاغُوتِوَيُؤْمِنْبِاللَّهِفَقَدِاسْتَمْسَكَبِالْعُرْوَةِالْوُثْقَىٰلَاانْفِصَامَلَهَاۗوَاللَّهُسَمِيعٌعَلِيم
Artinya :Tidak ada paksaan dalam (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Thaghut[11] dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang (teguh) kepada buhul tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
Menurut Zuhairi ayat ini mengandung konsep toleransi dan kasih sayang yang telah digariskan oleh Tuhan dan Rosulullah. Tidak deperkenankan adanya paksaan dalam berdakwah karena sesungguhnya antara kebaikan dan kezaliman sudah jelas. Memaksa kehendak bukanlah hak manusia.[12]
Selanjutnya menurut Zuhairi larangan paksaan perlu dimaknai lebih luas, yakni larangan atas tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama. Penghancuran tempat ibadah agama lain tidak diperbolehkan. Ayat tersebut memiliki dampak yang lebih luas dalam rangka membangun kehidupan beragama yang harmonis dan toleran. Perbedaan merupakan karunia Tuhan yang mulia.

D. Pokok-Pokok Ajaran Toleransi dalam Al-Qur’an
1. Kebebasan beragama
Kebebasan merupakan elemen penting dalam agama Islam, hal ini dikarenakan kebebasan beragama merupakan fitrah Allah.[13] Islam meberikan kebebasan untuk memilih beriman atau tidak beriman, hanya saja pilihan tersebut harus dipertanggungjawabkan.[14] Seperti dalam Q.S al-Kahfi ayat 29, Allah berfirman:

وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا
Artinya: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman, dang barangsiapa ingin kafir biarlah ia kafir. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang yang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka, dan jika mereka meminta minum dengan air yang seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.

2. Kesatuan persatuan umat manusia
 Perbedaan merupakan rahmat Allah dan merupakan tanda kekuasaan-Nya, dalam QS. al-Rum ayat 22, Allah berfirman:

وَمِنْ آَيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu bernar-benar terdapat tanda bagi orang-orang yang mengetahui.”
Dalam ayat di atas dapat dipahami bahwa latar belakang yang berbeda bukan halangan menuju kesatuan umat manusia. Dalam surat al-Baqarah ayat 213 disebutkan:

كاَ نَ أ لناَّ سُ وَحِدَةً ....
Artinya: “Manusia itu adalah umat yang satu...”
      
Berdasarkan ayat tersebut dapat dikatakan bahwa Islam menghapus struktur etnis, kelas, dan suku bangsa walaupun ada perbedaan dalam banyak hal. Islam juga menghapus keinginan manusia yang muncul dari faktor diskriminasi.

3. Sikap menghormati dan berbuat baik dalam bidang akidah, ibadah dan muamalah dengan agama lain.
Dalam Islam konsep toleransi bertujuan agar suasana damai dan harmonis tercipta dalam hubungan antar agama. Seperti dalam Q.S al-Mumtahanah ayat 8, Allah berfirman:

وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا  
Artinya: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”

5.      Larangan tindakan teror dan anjuran mengutamakan perdamaian
Aturan Islam sama sekali tidak menganjurkan penganutnya untuk melakukan tindakan-tindakan teror, kejahatan, penghancuran, ataupun sikap yang berlebihan terhadap kelompok lain yang bersebrangan. Begitu pula dalam menyikapi kebudayaan dan peradaban, tidak pula disikapi dengan kekerasan yang merugikan orang lain. Perilaku teror dan kekerasan hanya akan menimbulkan kerugian bagi banyak pihak, mengancam stabilitas keamanan dan kemaslahatan secara umum.[15]

Dalam pola hubungan manusia secara universal, Islam jelas melarang segala bentuk tindakan yang di luar batas kemanusiaan seperti arogan, memaki, menyakiti, membunuh, dan tindakan-tindakan lain yang mengancam perdamaian umum. Seperti dalam Q.S al- Maidah ayat 32 Allah berfirman:
مِنْ أَجْلِ ذَٰلِكَ كَتَبْنَا عَلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا ۚ وَلَقَدْ جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ بَعْدَ ذَٰلِكَ فِي الْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ

Artinya: “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.”
Menurut al-Zuhaili, para ulama dari generasi klasik hingga modern sepakat bahwa prinsip hubungan antara muslim dengan kelompok di luarnya adalah mengutamakan perdamiaan, bukan peperangan dan pertikaian.[16]

4.      Larangan Menebar Kebencian

Aturan dalam syari’at melarang sikap fanantik buta baik dalam ber-agama maupun mazhab. Adanya wujud perbedaan dalam keyakinan agama, mazhab, kepercayaan danlain sebagainya, merupakan hikmah dari Allah agar manusia menemukan sendiri jalan yang benar dan terhindar dari kebatilan. Keimanan dan kepercayaan harus disertai dengan kerelaan penuh dari pelakunya, tanpa paksaan dan kuasa dari orang lain. [17]

Diantara bentuk-bentuk fanatik buta yang dilarang oleh islam adalah mengolok-olok atau memaki agama dan sesembahan di luar Islam. Sikap seperti ini hanya akan menimbulkan perselisihan dan permusuhan antar umat beragama. Sama sekali tidak ada maslahah yang diraih dengan memaki Tuhan ataupun praktik ibadah agama lain, justru akan memantik pertikaian dan kerugian bagi umaat Islam sendiri. Larangan ini sekaliagus sebagai bentuk sikap dan etika toleran islam terhadap agama lain. Sesuai dalam al-Qur’an surat al-An’am (6) Ayat 108:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗكَذَٰلِكَزَيَّنَّالِكُلِّأُمَّةٍعَمَلَهُمْثُمَّإِلَىٰرَبِّهِمْمَرْجِعُهُمْفَيُنَبِّئُهُمْبِمَاكَانُوايَعْمَلُون
Dan maksud yang terdapat pada ayat ini dalam keteragan riwayat abu abbas, para kafir Quraisy mengadu kepada abu Thalib, “ Muhammad dan para sahabatnya harus berhenti mencela tuhan-tuhan kami dan menahan diri untuk melakukan hal itu atau kami juga akan memaki dan mencela tuhanya, kemudian, Allah melarang umat islam mencela berhala-berhalanya.
                       
Pelarangan memaki sembarangan penganut agama lain ini untuk menghindari dampak buruk yang jauh lebih besar, yakni mereka akan belik mencela Tuhan Muslim sebab ketidaktahuannya. [18] Seorang muslim dilarang oleh Allah mencela Tuhan sesembahan para musyrikin, meskipun menurut mereka (orang muslim), hinaan terhadap tersebut akan menghasilkan kebaikan bagi agama Islam. Padahal sebaliknya, perbuatan seperti ini justru akan menimbulan mafsadah terhadap islam. Sebab orang-orang musyrikin tersebut akan balik memaki Allah.

            Adanya perbedaan dalam keyakinan (islam dengan kelompok Musyrikin) merupaka ketetapan dari Allah. Menurut al-Zuhaili, mengutip pendapat para Ulama’ larangan memaki dalam ayat diatas menimbulkan hukum yang bersifat universal sekaigus absolut. Artinya harus dipatuhi  oleh setiap orang islam dan dalam situasi apapun dan dimanapun. Mencela agama lain, dalam prespektif hukum termasuk tindakan maksiat sebab tindakan tersebut termasuk perkara yang seharusnya di tinggalkan. Dan dasar hukum akan larangan- larangan tersebut adalah Saddan LiZara’I.[19]

Sedangkan dalam pola hubungan antar sesama muslim(intra-agama) al-Qur’an juga memperingatkan umat islam agar tidak melakukan tidakan-tindakan yang dapat menyakiti saudara muslimnya, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Oleh karena itu, islam melarang sikap fanatisme buta(ta’assub), baik dalam hal agama maupun kelompok mazhab maksud ta’assub dalam hal ini adalah sikap fanatik yang berlebihan sehingga menafikkan agama ataupun kelompok lain yang berbeda. Akibatnya, sikap seperti ini akan memunculkan kelompok yang cenderung eklusif, intoleran, kuku/rigid, mudah mengkafirkan agama –agama lain, bahkan melakukan tindak kekerasan kepada sesama muslim di luar Mazhab atau kelompoknya.



[1] Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 1111.
[2] Sufa’at Mansur, Toleransi dalam Agama Islam (Yogyakarta: Harapan Kita, 2012), hlm. 1.
[3] Zuhairi Miswari, Al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Plularisme, dan Multikularisme (Jakarta: Penerbit Fitrah, 2007), hlm. 181.
[4] Djohan Efendi, Kemuslimam dan Kemajemukan, dalam TH. Sumatrana (ed), Dialog: Kritikdan Identitas Agama(Yogyakarta: Dian-Interfidel, 1994), hlm. 50.
[5] Djam’anuri, Ilmu Perbandingan Agama, Pengertian dan Objek Kajian (Yogyakarta: PT. Karunia Kalam Semesta, 1998), hlm. 27.
[6] Zuhairi Miswari, Opini Toleransi Versus Intoleransi (Jakarta: Harian Kompas, Jum’at 16 Juni 2006), hlm. 6.
[7] Aplikasi Ayat,QS. Al-Hujarat :13
[8] Aplikasi Ayat,QS. Al-Hujarat :13
[9] Zuhairi Misrawi adalah  intelektual muda NU (Islam), kolomnis dan peneliti pemikiran keislaman kontemporer. Ia menjabat sebagai Direktur Moderate Muslim Society (MMS) dan Ketua PP Baitul Muslimin Indonesia. Beliau  menamatkan S1 di Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, Kairo-Mesir (2000).
[10] Zuhairi Miswari, Al-Qur’an Kitab Toleransi Inklusifisme, Pluralisme dan Multikulturalisme (Jakarta: Fitrah, 2007), hlm. 303.
[11] Thaghut ialah setan dan apa saja yang disembah selain Allah Subhaanahu wa Ta'aala.
[12]  Zuhairi Miswari, Al-Qur’an Kitab Toleransi Inklusifisme, Pluralisme dan Multikulturalisme (Jakarta: Fitrah, 2007), hlm. 250.
[13] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 396.
[14] Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, Passing Over Melintas Batas Agama (Jakarta:Gramedia, 1999), hlm. 199.
[15] Wahban al-Zuhaili, Wasatiyyatul Islam wa Samahatuhu, hlm. 22-23.
[16] Qimatu Khayr al Am wa al-Masalih al- insaniyyah fi al-Qur’an wa Idrakat al-Fuqaha, hlm. 18.

[18]Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Wasit, (Beirut: Darul Fikr, 2000).  Jld. I, hlm.512.
[19]Wahbah al-Zuhaili, Tafsir Al-Munir fi Al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj (Beirut:Darul Fikr, 2009).  Jld.4, hlm. 345-346

0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.