Ayok Menulis!

Artikel ini terinspirasi dari sebuah tulisan seseorang yg sedang belajar di negeri yg jauh sedangkan sebagai mahasiswa ia harus banyak menulis berbahasa asing di negara tersebut. Namun hebatnya, ia tetap gigih dan terus belajar untuk terus menulis dan belajar.

Tulisannya itu membuat saya tersadar akan diri sendiri yang mengaku senang menulis, namun terkadang merasa malas dan penat saat menulis, padahal menulis dg bahasa tanah air sendiri. Bukankah jauh lebih mudah? Itu yg ada dalam benak saya saat ini. Sibuk menjadi pelajar/mahasiswa terkadang menjadi alasan untuk kurang memberi waktu untuk belajar menulis.

Melalui tulisan sederhana ini, benar kata seorang inspirator tersebut, sebagai pelajar, mahasiswa, akademisi, kemampuan menulis amat diperlukan. Menurut saya, "Tulisan adalah wakil dari suara." Jika kita tidak selalu mampu menyuarakan apa yg kita pikirkan dan ketahui, maka tuliskan semua itu dalam selembar kertas, terlebih dalam sebuah buku. Dengan cara itu kita akan memberi ruang bagi sejarah untuk merekam apa yg kita torehkan melalui pena.  Kata orang menulis itu tidak mudah, memang itu benar, tapi tidak salah jika kita mencobanya...

Keberhasilan hidup sejatinya bukan diukur dari seberapa banyak yg kita miliki atas segala sesuatu, tetapi apa saja yg kita lakukan selama ini. Apa saja yg bisa kita perbuat untuk diri sendiri, keluarga, hingga orang-orang sekitar. Di manapun kita hidup, tiada celah bagi kebahagiaan yg datang secara konstan. Kepedihan, cobaan dan kesedihan akan datang silih berganti di sela-sela kebahagiaan. Orang yg kuat bukan orang yg selalu bahagia, tetapi orang yg tetap bahagia dalam kondisi susah sekalipun.

Akhir kata, di manapun anda, bagaimanapun jalan hidup anda, percayalah bahwa anda selalu mampu untuk berhasil dan bahagia. Teruslah berkarya, menulis, membaca, juga kegiatan bermanfaat lainnya. Jadilah diri sendiri dalam menulis, jangan takut apalagi tak percaya diri. Kita terkadang lebih hebat dibanding apa yg pernah kita pikirkan terhadap diri sendiri. Stay enjoy, focus, and happy.. "Muda berkarya Muda berbahagia" Semoga..

Salam :)
Read More

Hakikat Al-Qur’an dan Tafsir Menurut Fazlur Rahman dan Muhammad Syahrur

Berbicara mengenai al-Qur’an dan tafsir merupakan suatu perbincangan yang tidak tabu lagi bagi sebagian besar umat Muslim. Al-Qur’an sebagai kitab suci bagi umat Islam tidak lagi dipandang menjadi barang baru dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai produk kitab tafsir pun terus bermunculan seiring dengan waktu yang terus berjalan. Dari keumuman masyarakat Muslim yang telah akrab dengan al-Qur’an dan tafsir tersebut, muncul problema baru yang perlu dicermati, yaitu; apakah nilai-nilai al-Qur’an dan tafsir mampu seiring dan sejalan dengan perkembangan kehidupan saat ini? Lalu apakah dalam kehidupan sehari-hari posisi al-Qur’an dan tafsir telah memberi andil atau sekedar menjadi landasan bagi umat Muslim kotemporer dalam menjalankan segala aspek kehidupannya? Pertanyaan inilah yang sekiranya dapat menguatkan argumen bahwa upaya melihat perbandingan  hakikat al-Qur’an dan tafsir konteks masa lalu dengan konteks masa kini perlu dilakukan.                                  
Jika melihat sejarah masa lampau yang biasa disebut zaman klasik, pemaknaan al-Qur’an bahkan pembahasan seputar al-Qur’an secara umum hanya tebatas pada nilai-nilai religius al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai kitab suci dianggap memiliki sakralitas yang sangat tinggi kedudukannya, sehingga kebenarannya pun dianggap final. Al-Qur’an pada masa itu dipandang sebagai kitab yang hanya perlu dibaca apa adanya tanpa mengharuskan adanya analisis-analisis tertentu. Apa yang terkandung dalam al-Qur’an, apa yang disampaikan al-Qur’an, dan apa yang menjadi keputusan hukum al-Qur’an akan diikuti persis seperti itu adanya, sedangkan konteks dan realitas tidak menjadi pertimbangan dalam pembacaan al-Qur’an masa itu. Bisa ditarik kesimpulan bahwa pada masa klasik al-Qur’an merupakan sesuatu yang elit bagi kehidupan masyarakat.                                                              
Tidak berbeda jauh dengan pandangan al-Qur’an pada zaman klasik, kedudukan tafsir pada masa itu pun tidak lebih dari hasil ijtihad mufassir untuk membahas makna bahasa al-Qur’an melalui pendekatan linguistik. Penafsiran pada masa itu lebih terfokus pada pemahaman mufassir terkait dengan maksud ayat secara literal saja. Bahkan produk tafsir masa klasik dapat dikatakan ideologis dan sektarian sesuai dengan kepentingan serta latar belakang para mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an.
Hakikat al-Qur’an dan tafsir pada masa klasik tersebut jauh berbeda dengan masa kini (kotemporer). Jika pada masa klasik al-Qur’an dianggap sangat sakral dan kaku, maka pada masa kini al-Qur’an sudah beralih fungsi menjadi alat yang diharapkan mampu untuk menjawab berbagai problem kehidupan. Al-Qur’an benar-benar difungsikan dengan berbagai macam cara agar nilai-nilai yang dikandungnya dapat sejalan dengan realitas konteks kekinian. Keontentikan dan kesucian al-Qur’an tetap terjaga, namun pemahaman dan cara pandangnya saja yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.                                                    
Tafsir pada masa kotemporer pun telah mengalami peralihan makna yang signifikan bagi sebagian pemikir kotemporer. Para pemikir kotemporer telah memandang tafsir sebagai produk yang dihasilkan dari dialog sinergis antara wahyu, mufassir, dan realitas. Sehingga tafsir sebagai produk pemikiran manusia tidaklah memiliki kebenaran yang final. Konteks realitas yang terus berkembang menuntut pemahaman mufassir pun terus berkembang. Hasil dari produk tafsir harus mampu menjawab problem-problem masyarakat sesuai konteksnya. Berangkat dari asumsi-asumsi tersebut, maka muncullah berbagai tokoh kotemporer yang menggagas pemahaman al-Qur’an dan tafsir di era kotemporer. Di antara tokoh-tokoh itu adalah Falzlur Rahman dan Muhammad Syahrur. Meskipun Rahman dan Syahrur tidak diketahui memiliki relasi hubungan guru murid, namun kedua tokoh tersebut memiliki pandangan yang secara garis besar mirip-mirip terhadap al-Qur’an dan tafsir.                         Fazlur Rahman dikenal sebagai salah satu tokoh filsafat lahir pada 21 September di Barat Laut Pakistan.[1] Pada tahun 1942 ia mendapat gelar MA pada bidang Sastra Arab di Punjab University, lalu gelar doktornya didapatkan dari Universitas Oxford pada tahun 1949 pada bidang filsafat.[2] Sedangkan Syahrur dengan latar belakang tokoh linguistik dan sains  lahir pada 11 April 1938 di Damaskus.[3] Tahun 1969 ia mendapat gelar Master of Science dari Ireland National University, gelar doktornya didapatkan pada 1972.[4] Berbeda dengan tokoh-tokoh pemikir Islam terdahulu dalam memandang al-Qur’an, Rahman berpendapat bahwa al-Qur’an merupakan dasar keimanan, dasar pemahaman, dasar tingkah laku dan moral dalam menjalankan kehidupan. Al-Qur’an yang dahulunya dianggap sakral dan tertutup, baginya kini al-Qur’an adalah suatu pedoman kehidupan yang selalu aktual dan kontekstual sepanjang zaman. Oleh karenanya al-Qur’an sendiri mampu menjawab problem-problem kotemporer sesuai konteks yang dihadapi masyarakat.            
Sayhrur memiliki pemikiran yang tidak jauh berbeda dengan Rahman, menurut Syahrur al-Qur’an merupakan basic moral teologis yang dapat dijadikan alat untuk menyelesaikan problem-problem kehidupan kotemporer. Lanjutnya menurut Syahrur pada era kotemporer saat ini dalam memahami al-Qur’an tidak perlu lagi terbebani secara psikologis maupun teologis terhadap produk-produk tafsir masa lalu. Perlu analogi pemahaman baru bahwa al-Qur’an adalah kitab yang baru saja diturunkan, sehingga pembacaannya pun harus kreatif dan inovatif sesuai kacamata keilmuan kotemporer maupun mempertimbangkan konteks kekinian.                                                  
Terkhusus pada padangan Rahman dan Syahrur terkait tafsir secara garis besar memiliki persamaan. Mereka berpendapat bahwa tafsir adalah hasil ijtihad atau interpretasi manusia atas teks al-Qur’an yang tidak final kebenarannya. Tafsir sebagai proses dialektika antara teks wahyu, akal dan realitas yang dialektis dan dinamis. Proses penafsiran ini menurut mereka harus mempertimbangkan antara teks dan konteks dengan seimbang melalui akal (ijtihad). Hal ini perlu diterapkan mengingat produk tafsir sendiri bersifat nisbi, relatif dan temporer. Sehingga diharapkan produk tafsir tersebut dapat objektif tanpa bias ideologis yang pada akhirnya produk tafsir tersebut mampu menjadi parameter dan acuan masyarakat untuk menyelesaikan berbagai problem-problem kekinian sesuai konteksnya.                            
Perbedaan pendapat Syahrur dan Rahman terhadap tafsir terletak pada pandangan mereka mengenai kebenaran tafsir. Menurut Rahman suatu produk penafsiran dapat dibenarkan ketika penafsiran tersebut sesuai dengan realitas empiris. Sedangkan menurut Syahrur kebanaran tafsir dapat diakui ketika penafsiran tersebut mampu menangkap ideal moral teks wahyu sesuai makna otentiknya yang selanjutnya mampu diterapkan pada konteks zamannya.                                                                                                                                  
Melihat dari pemikiran tokoh pemikir kotemporer Muhammad Syahrur dan Fazlur Rahman dalam mensikapi al-Qur’an dan tafsir tersebut setidaknya dapat memberi pelajaran kepada para pembaca kotemporer bahwa realitas zaman yang terus berkembang seperti saat ini tentunya membutuhkan pembacaan yang lebih cerdas dan maju dalam melihat berbagai masalah kehidupan. Teks suci keagamaan berupa al-Qur’an mapun produknya berupa kitab tafsir seharunya tidak kehilangan sakralitasnya, akan tetapi cara pandang dan pembacaannya memang perlu diperhatikan sesuai dengan konteks perkembangan zamannya.







[1] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kotemporer, (Yogyakarta:LKIS, 2010), hlm. 87.
[2] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kotemporer...hlm. 89.
[3] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kotemporer...hlm. 92.
[4] M. Aunul Abied Shah et al. (ed.), Islam Garda Depan; Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 237. 
Read More

Auliya dalam al-Qur'an

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Al-Qur’an merupakan sumber ajaran umat islam yang pertama sebelum hadis. Di dalam al-Qur’an berbagai permasalahan mengenai kehidupan dapat ditemukan. Tidak hanya itu, al-Qur’an pun memiliki beragam pengetahuan yang tetap relevan hingga saat ini. Bahasa yang digunakan al-Qur’an tak kalah menarik untuk dibahas. Karena bahasa al-Qur’an penuh dengan nuansa sastra yang sangat tinggi. Dari kekayaan isi dan kandungan al-Qur’an inilah yang kadang menyebabkan beragam penafsiran dalam mengartikan lafadz dalam al-Qur’an.

Yang baru-baru ini sedang hangat diperbincangkan oleh umat islam terkhususnya di Indonesia adalah kasus penistaan agama yang dilakukan seorang gubernur dalam sebuah ayat al-Maidah ayat 51. Lafadz “auliya” dalam surat al-Maidah ayat 51 itu menjadi inti permasalahan dari berbagai macam pro dan kontra terhadap kasus tersebut. Beragam penafsiran mulai bermunculan untuk ikut membahas penafsiran kata “auliya ”. Problem inilah yang menginspirasi penulis untuk menelisik lebih dalam mengenai ragam arti auliya dalam al-Qur’an. Penulis memilih tafsir al-Maraghi sebagai rujukan utama dengan alasan tafsir ini mudah dipahami serta kelengkapan pembahasan tafsirannya termasuk aspek kebahasaan yang dibahas secara rinci dalam kitab tafsir ini.

Kata auliya sendiri berasal dari bahasa Arab yang merupakan bentuk  jamak dari kata waliy. Kata waliy seringkali dipahami sebagai pemimpin di dunia politik, namun kerap pula diartikan sebagai kekasih. Bahkan di beberapa tempat di Indonesia mengartikan waliy sebagai sosok suci yang dikeramatkan oleh mereka. Singkatnya kata waliy ini kerap kali diartikan beragam tergantung dimana posisi dan kepentingan yang menyertainya.
Prof Sumanto al-Qurthubi dalam artikelnya menyebutkan beragam arti auliya  yang dihimpun dari beberapa wawancara singkatnya dengan teman dan muridnya yang tinggal di Arab Saudi. Menurut mereka, kata auliya  merupakan bahasa Arab klasik (fushah) yang sudah jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Jika kata ini digunakan, maka penggunaanya mengandung makna dan arti yang spesifik, seperti[1]:                                     Pertama, auliya diartikan sebagai ayah, ibu, paman atau siapa saja yang menjaga, mengasuh, melindungi, dan mengurus seorang anak. Atau jika seorang anak tidak memiliki orangtua (yatim-piatu) sehingga diurus oleh negara atau pemerintah, maka pemerintah itulah sebagai “auliya(legal guardian) karena telah mengurus anak tersebut.                                              Kedua, kata “auliya ” juga berarti “wali murid”. Dalam surat-surat formal dari sekolahan misalnya tertulis: “Ila auliya al-umur” (Kepada para wali murid).                                    Ketiga, auliya diartikan sebagai orang-orang saleh dan alim yang dekat dengan Allah. Di Indonesia dapat diibaratkan seperti Walisongo atau siapa saja yang dianggap saleh dan alim. Keempat, auliya diartikan sebagai teman atau sekutu. Itulah beberapa pendapat orang arab mengenai arti auliya. Sedang kata auliya yang berkaitan dengan pemimpin, mereka menjawab jika “wulahjamak dari “waa-lii”, sedang “auliya” jamak dari “wa-lii”.  Contoh dari kata “wulah” ini adalah sultan (seperti di Oman), raja atau malik (seperti di Saudi), amir (seperti di Qatar), hakim, gubernur, walikota atau umdah, dan pengunanaan-penggunaan lainnya.
Arti auliya dalam Google translate adalah “Orang tua”. Sedangkan kedalam bahasa Inggris arti auliya ternyata diartikan menjadi, custodian, sponsor dan protector.
Custodian ini bermakna sebagai petugas, atau pemelihara. Sedangkan sponsor adalah perseorangan maupun kelompok yang provides fund yaitu penyandang dana untuk sebuah proyek ataupun kegiatan. Sedangkan protector adalah seseorang yang bertugas menjaga sesuatu.
Sedangkan dalam kamus al-Ma’any, kamus english-arabic dictionary, mengartikan kata Auliya sebagai allies, protectors, friends dan patron.[2]
Allies adalah sekutu. Kata ini digunakan sebagai gabungan orang atau kelompok yang tergabung atas dasar ancaman tertentu yang diwujudkan dalam bentuk sebuah perjanjian. Sedangkan friends mengacu pada handai taulan (teman dekat). Kata patron merujuk pada penggunaan beberapa kalimat yang memiliki arti sebagai pelindung, penyokong, langganan tetap. Protectors adalah pelindung yang bertugas menjaga seseorang atau menjaga sesuatu.
Sejumlah tokoh penerjemah pun ikut mengartikan auliya degan beragam arti dari bahasa Inggris kedalam bahasa Indonesia. Diantara tokoh-tokoh tersebut diantaranya seperti[3]:   1. Yusuf Ali dalam The Meaning of the Holy Qur’an menerjemahkan auliya dengan friends and  protectors (teman dan pelindung).                                                                                       2. Muhammad Asad dalam The Message of the Qur’an dan M.A.S Abdel Haleem dalam The Qur’an menerjemahkan auliya dengan allies (sekutu).                                            3. Muhammad Marmaduke Pickthal dalam The Glorious Qur’an mengalihbahaskan kata auliya menjadi friends. Begitu juga N.J. Dawood dalam The Koran dan MH. Shakir dalam The Qur’an. Sedangkan berdasar The Qur’an terjemahan T.B. Irving, auliya diartikan sebagai sponsors.
Sedangkan tokoh lainnya H.A Mukhti Ali dalam bukunya Metode Memahami Agama Islam mengartikan auliya dengan melihat konteks surat Yunus ayat 62-63  yang berbunyi:
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (62) الَّذِينَ آَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ (63)
Artinya: “Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran dan tidak pula bersedih hati, yaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.”
Dengan berdasar dalil tersebut, Mukhti Ali mengartikan auliya sebagai semua orang yang mengikuti apa yang disampaikan oleh para utusan Allah dan berusaha mendekat pada-Nya dan menjalankan syariat-Nya dan menjauhi apa yang dilarang-Nya.[4]
            Sedangkan di Indonesia sendiri kata waliy (mufrad dari auliya) sering disandingkan dengan kata Allah menjadi waliyullah artinya “wali Allah”. Para ulama tafsir pun berbeda-beda dalam mengartikan ungkapan kata tersebut. Diantara ulama-ulama ini seperti[5]:
1.      Al-Imam al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam karyanya  Fathul Baari Syarah Shahih al-Bukhari, beliau mengatakan:
المُرَادُ بِوَلِيِّ اللهِ : الْعَالِمُ بِاللهِ الْمُوَاظِبُ عَلَى طَاعَتِهِ الْمُخْلِصُ فِي عِبَادَتِهِ
“Yang dimaksud dengan waliyullah adalah orang yang mengetahui (memiliki ilmu) tentang Allah, senantiasa menjalankan ketaatan kepada-Nya, dan ikhlas dalam beribadah kepada-Nya.)[6] 
Penjelasan ini beliau sampaikan ketika memberikan syarah (penjabaran) hadits riwayat al-Bukhari di atas.
2.      Ibnu Daqiq al-‘Id dalam Syarah Arbain Nawawiyyah menukilkan definisi waliyullah yang disampaikan oleh penulis kitab al-Ifshah ‘an Ma’ani ash-Shihah (yang dikenal dengan Ibnu Hubairah meninggal pada tahun 560 H):
وَوَلِيُّ اللهِ عز وجل هُوَ الَّذِي يَتَّبِعُ شَرْعَ اللهِ
“Dan waliyullah ‘Azza wa jalla adalah orang yang mengikuti syari’at Allah.”

3.      Al-Imam Ibnu Katsir  dalam Tafsir Ibnu Katsir beliau membawakan penjelasan tentang auliya’:
يُخْبِرُ تَعَالَى أَنَّ أَوْلِيَاءَهُ هُمُ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ، كَمَا فَسَرَّهُمْ  رَبُّهُمْ، فَكُلُّ مَنْ كَانَ تَقِيًّا كَانَ لِلَّهِ وَلِيًّا: أَنَّهُ {لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ} [أَيْ] فِيمَا يَسْتَقْبِلُونَ مِنْ أَهْوَالِ الْقِيَامَةِ، {وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ} عَلَى مَا وَرَاءَهُمْ فِي الدُّنْيَا.
“Allah Ta’ala memberitakan bahwa auliya’-Nya adalah orang-orang yang beriman dan mereka itu bertakwa sebagaimana Rabb mereka menafsirkan tentang mereka. Sehingga setiap orang yang bertakwa, ia akan menjadi waliyullah, yaitu tidak khawatir terhadap apa yang akan mereka hadapi dari keadaan yang mencekam pada hari kiamat nanti dan tidak pula bersedih atas apa yang mereka tinggalkan di belakang mereka dalam dunia ini.”

            Dari beragam pengertian auliya berdasar dari beragam sumber, tentunya semakin menimbulkan pertanyaan bagaimana auliya diartikan sebenar-benarnya? Apakah benar kata auliya tersebut memiliki beragam makna yang dapat digunakan dalam konteks-konteks tertentu? Lalu dalam konteks apa saja kata auliya dapat berubah arti dan maknanya? Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, penulis akan menghimpun lafadz-lafadz auliya dalam al-Qur’an dan bagimana kitab Tafsir al-Maraghi menafsirkan lafadz-lafadz auliya  tersebut dalam beragam arti. Sehingga penulis akan mencoba memberi pencerahan atas kebingungan, keraguan serta kesalahpahaman bagi sebagian besar umat islam terhadap konteks arti lafadz auliya ini.



B.     Rumusan Masalah
Dengan bertolak pada rumusan masalah di atas, penulis menarik rpokok-pokok permasalahan sebagai berikut:
1.      Bagimana sekilas gambaran mengenai kitab al-Maraghi?
2.      Pada ayat apa saja lafadz auliya disebut dalam al-Qur’an?
3.      Apa saja ragam arti auliya dalam kitab Tafsir al-Maraghi?


C.    Tinjauan Pustaka

Dalam melakukan penelitian ragam arti lafadz auliya ini, penulis merujuk pada sebuah kitab tafsir modern berjudul al-Maraghi karya Ahmad Musthafa Al-Maraghi. Kitab tafsir al-Maraghi terdiri dari 30 jilid, namun penulis hanya melakukan penelitian  dalam jilid-jilid tertentu terkait tema yang diteliti. Penulis menemukan setidaknya 7 jilid dalam kitab tersebut yang ditemukan 14 ragam arti auliya yang berbeda-beda. Jilid-jilid tersebut antara lain; jilid 3, jilid 8, jilid 10, jilid 11, jilid 16, jilid 25, jilid 26. Pada jilid ke 3 ditemukan satu ayat. Pada jilid 8 ditemukan 2 ayat. Pada jilid 10 ditemukan 4 ayat. Pada jilid 11 ditemukan 1 ayat. Pada jilid 16 ditemukan 1 ayat. Pada jilid 25 ditemukan 5 ayat. Pada jilid 26 ditemukan 1 ayat.  

Untuk melihat seluk beluk kitab al-Maraghi, penulis merujuk pada kitab-kitab yang membahas kitab al-Maraghi seperti kitab Terjemahan Tafsir Al-Maraghi Juz I. Muhammad Ali Al-Iyazy dalam karyanya Al-Mufassiruna Hayatuhum wa Manhajuhum Fi At-Tafsir. Mani’ Abd Halim Mahmud, penterjemah, Faisal Shaleh dan Syahdianor dalam karyanya Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsi. M. Hasby As-Shiddieqy, dalam karyanya Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran dan Tafsir.  

Selain itu, sedikitnya referensi buku yang penulis temukan yang terkait ragam arti auliya dalam al-Qur’an, sehingga atas dasar problem tersebut penulis merujuk beberapa artikel di internet untuk dujadikan pelengkap maupun perbandingan dalam penyusunan proposal penelitian ini.

D.    Kerangka Teori

Dalam buku Muhammad Ali Al-Iyazy, Al-Mufassiruna Hayatuhum wa Manhajuhum Fi At-Tafsir penulis kitab al-Maragi memiliki nama lengkap Ahmad Mustafa bin Muhammad bin Abdul Mun’im  Al-Maraghi,. Tokoh mufassir ini lahir di kota Maragah, sebuah kota yang terletak dipinggiran sungai Nil, kira kira 70 Km arah selatan kota Kairo Mesir, Pada Tahun 1300 H/1883 M.[7]

 Dalam Muqaddimah Tafsir al-Maraghi, latar belakang  al-Maragi menulis kitab tafsir ini adalah karena beliau merasa bertanggung jawab akan peristiwa dan problema yang terjadi di masyarakat, ia merasa terpanggil untuk menawarkan berbagai solusi berdasarkan dalil dalil qur’ani sebagai alternatif. Tafsir ini lahir dari buah pikiranya dengan gaya modern, yaitu disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang sudah maju dan modern, agar dapat dipahami dengan mudah.[8]

Sementara itu masih dalam Muqaddimah Tafsir al-Maraghi, al-Maraghi menyebutkan Metode dan Sistematika Penafsiran serta Sumber Penafsiran. Dari sisi metodologi, Al-Maragi menggunakan  metode tafsir yang memisahkan antara “Uraian Global” dan “Uraian rincian” sehingga penjelasan ayat-ayat didalamnya dibagi menjadi dua kategori, yaitu ma’na Ijmali dan ma’na tahlili. Tafsir al-Maragi sangat dipengaruhi oleh tafsir-tafsir yang ada sebelumnya, terutama tafsir Al-Manar, hal ini wajar karena dua penulis tafsir tersebut Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha adalah guru yang paling banyak memberikan bimbingan kepada Al-Maragi di bidang tafsir, bahkan sebagian orang berpendapat bahwa tafsir Al-Maragi adalah penyempurnaan terhadap tafsir Al-Manar yang sudah ada sebelumnya, metode yang digunakan juga dipandang sebagai pengembangan dari metode yang digunakan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.[9]

Sedangkan sistematika dalam kitab al-Maraghi yang dapat memudahkan penulis dalam melakukan penelitian ini adalah sistematika kitab ini yang menjelaskan kosa kata (Syarah al-mufradat), setelah menyebutkan satu, dua atau kelompok ayat. Al-Maragi melanjutkannya dengan menjelaskan beberapa kosa kata yang sukar menurut ukurannya, namun tidak semua kosa kata dalam sebuah ayat dijelaskan melainkan dipilih beberapa kata yang bersifat konotatif atau sulit bagi pembaca. Selain itu al-Maraghi menjelaskan makna ayat secara umum (Ma’na Ijmali), dalam hal ini Al-Maragi berusaha menggambarkan maksud ayat secara global, yang dimaksudkan agar pembaca sebelum melangkah kepada penafsiran yang lebih rinci dan luas ia sudah memiliki pandangan umum yang dapat digunakan sebagai asumsi dasar dalam memahami maksud ayat tersebut. Dengan sistematika-sistematika itulah penulis lebih mudah dalam menemukan ragam arti lafadz auliya dengan berbagai konteks yang berbeda.

Dalam terjemahan kitab tafsir al-Maraghi, penulis menemukan setidaknya 7 jilid dalam kitab tersebut yang ditemukan 14 ragam arti auliya yang berbeda-beda. Jilid-jilid tersebut antara lain; jilid 3, jilid 8, jilid 10, jilid 11, jilid 16, jilid 25, jilid 26. Ragam arti lafadz auliya tersebut antara lain:
a.       Dalam surat Ali Imran ayat 28 yang berbunyi:
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ (28)
Pada ayat tersebut lafadz auliya diartikan sebagai mufrad dari kata walliyun yang berarti “penolong”. Namun menurut al-Maraghi dalam konteks ayat tersebut kata auliya diartikan sebagai “kekasih orang-orang kafir”.[10]
b.      Dalam surat al-A’raf ayat 3 yang berbunyi:
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ (3)
        Pada konteks ayat tersebut lafadz auliya oleh al-Marghi diartikan sebagai “pemimpin suatu urusan”.[11]


c.       Dalam surat Asy-Syura ayat 6 yang berbunyi:
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ اللَّهُ حَفِيظٌ عَلَيْهِمْ وَمَا أَنْتَ عَلَيْهِمْ بِوَكِيلٍ (6)
        Pada konteks ayat tersebut lafadz auliya oleh al-Maraghi diartikan sebagai “Sekutu-sekutu dan tandingan-tandingan Allah”.[12]

           Tentunya ini sudah dapat memberi gambaran bahwa lafadz auliya memiliki ragam arti dan makna yang tergantung dengan konteks ayatnya. Perincian lebih lanjut mengenai ragam arti auliya ini akan penulis paparkan dalam bab-bab penelitian berikutnya.



E.     Metodologi Penelitian

1.      Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian  pustaka (library research) dengan mengumpulkan data dan meneliti dari buku-buku kepustakaan dan karya-karya dalam bentuk lainnya. Juga merujuk berbagai artikel di internet yang membahas tema terkait sebagai pembanding dan pelengkap referensi.

2.      Tehnik Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini diperoleh dari literatur-literatur yang berkaitan dengan objek penelitian. Objek penelitian ini adalah kitab tafsir al-Maraghi pada jilid-jilid tertentu dan juga dari berbagai referensi yang berkaitan dengan tema penelitian.

Literatur-literatur yang dijadikan data terbagi menjadi dua bagian, yaitu primer dan sekunder. Sumber primer dalam penelitian ini adalah kitab tafsir al-Maraghi. Sementara buku-buku, artikel, yang berkaitan dengan tema penelitian ini menjadi sumber sekunder.


3.      Metode Pengolahan Data

Mayoritas metode yang digunakan dalam pembahasan penelitian ini adalah kualitatif, penulis mengolah data yang ada untuk selanjutnya di interpretasikan ke dalam konsep yang bisa mendukung sasaran dan objek pembahasan. Pembahasan yang dibahas di sini adalah lafadz auliya yang beragam arti di berbagi surat yang ada di al-Qur’an. Beragam pengertian mengenai auliya dapat ditemui, yaitu pelindung, teman setia, pemimpin, penolong, pembantu, penguasa, patung-patung yang disembah, sembah-sembahan yang melindungi mereka, pemimpin

4.      Metode Analisis

Pada metode ini, penulis menggunakan tiga macam metode, yaitu :
·                     Metode deduktif, yaitu metode yang digunakan untuk menyajikan bahan atau teori yang sifatnya umum untuk kemudian diuraikan dan diterapkan secara khusus dan terperinci. 
·                     Metode induktif, yaitu metode analisis yang berangkat dari fakta-fakta yang khusus lalu ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum. 
·                     Metode komparatif, yaitu metode penyajian yang dilakukan dengan mengadakan perbandingan antara satu konsep dengan lainnya, kemudian menarik suatu kesimpulan.


4.      Pendekatan

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan penafsiran al- Quran dari segi tafsir tematik. Yakni, menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang terdapat tema membahas auliya di dalamnya. Setelah itu penulis melakukan pencarian terkait arti-arti lafadz auliya tersebut dalam kitab tafsir al-Maraghi.



6.      Analisis Data

Untuk menganalisis data yang telah terkumpul, penulis menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif maksudnya adalah menguraikan secara teratur dari objek penelitian, ragam arti auliya dalam kitab tafsir al-Maraghi.





F.     Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Dalam suatu penelitian atau kajian tentu mempunyai tujuan yang mendasari tulisan ini, diantaranya sebagai berikut :
1.                  Untuk mengetahui sekilas gambaran mengenai kitab tafsir al-Maraghi sebelum mengkaji lebih lanjut ragam arti auliya dalam kitab tersebut
2.                  Untuk berusaha mengkaji ayat-ayat tentang auliya dalam al- Qu’ran, sehingga dengan adanya kajian ini, umat Islam semakin memahami arti auliya dalam berbagai konteks ayat.

 Sedangkan kegunaannya, diantaranya sebagai berikut :
1.                  Dengan adanya kajian penelitian ini, dapat menambah wawasan tentang garis besar gambaran kitab tafsir al-Maraghi.
2.                  Dengan adanya kajian penelitian ini penulis berharap dapat memberi pemahaman baru tentang beragam arti lafadz auliya yang memiliki beragam makna dengan konteks-konteks ayat tertentu.
3.                  Dengan adanya kajian penelitian ini penulis berharap masyarakat pada umumnya tidak salah kembali dalam menempatkan arti lafadz auliya dalam menafsirkan al-Qur’an.
4.                  Selanjutnya penulis melalui penelitian ini ingin memberi pelajaran kepada para penafsir maupun masyarakat umum agar tidak sembarangan mudah menafsirkan suatu lafadz maupun ayat dalam al-Qur’an tanpa melihat konteks ayat maupun lafadz tersebut.  



DAFTAR PUSTAKA


Ali Mukhti, Metode Memahami Agama Islam. Jakarta:Bulan Bintang,. 1991. 
Fathul Baari: 11/342-versi Maktabah Syamilah
Muhammad Ali Al-Iyazy. Muhammad , Al-Mufassiruna Hayatuhum wa Manhajuhum Fi At-Tafsir. Teheran: Waziqaf al-Irsyad al-Islamiyyah.  1414.
Mustafa. Ahmad al-maraghi . Tafsir Al-Maraghi. Terj. Bahrun Abu Bakar. Jld 3.  Semarang: PT.karya Toha Putra Semarang. 19920.
Mustafa. Ahmad al-maraghi . Tafsir Al-Maraghi. Terj. Bahrun Abu Bakar. Jld 8.  Semarang: PT.karya Toha Putra Semarang. 19920.
Mustafa. Ahmad al-maraghi . Tafsir Al-Maraghi. Terj. Bahrun Abu Bakar. Jld 25. Semarang: PT.karya Toha Putra Semarang. 19920.
 https://fatwasyafii.wordpress.com/2016/03/24/mengenal-auliya/ diakses pada 6 Januari 2017 pukul 10:10 WIB
http://www.jembermu.com/2016/10/auliya-adalah.html diakses pada 6 Januari 2017 pukul 10:40 WIB
























[2] http://www.jembermu.com/2016/10/auliya-adalah.html diakses pada 6 Januari 2017 pukul 10:40 WIB

[4] Mukhti Ali, Metode Memahami Agama Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1991), hlm. 87.
[5]  https://fatwasyafii.wordpress.com/2016/03/24/mengenal-auliya/ diakses pada 6 Januari 2017 pukul 10:10 WIB
[6] Fathul Baari: 11/342-versi Maktabah Syamilah
[7] Muhammad Ali Al-Iyazy, Al-Mufassiruna Hayatuhum wa Manhajuhum Fi At-Tafsir, (Teheran:Waziqaf al-Irsyad al-Islamiyyah), 1414, hal.357

[8] Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Muqaddimah Tafsir Al-Maraghi, hal.1

[9] Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Muqaddimah Tafsir Al-Maraghi, hal.20


[10] Ahmad Mustafa al-maraghi, Tafsir Al-Maraghi. Terj. Bahrun Abu Bakar, ( Semarang: PT.karya Toha Putra Semarang, 19920), jld. 3, hlm. 241.

[11] Ahmad Mustafa al-maraghi, Tafsir Al-Maraghi. Terj. Bahrun Abu Bakar, ( Semarang: PT.karya Toha Putra Semarang, 19920), jld. 8, hlm. 174.

[12]  Ahmad Mustafa al-maraghi, Tafsir Al-Maraghi. Terj. Bahrun Abu Bakar, ( Semarang: PT.karya Toha Putra Semarang, 19920), jld. 25, hlm. 23.

Read More

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Ayok Menulis!

Artikel ini terinspirasi dari sebuah tulisan seseorang yg sedang belajar di negeri yg jauh sedangkan sebagai mahasiswa ia harus banyak menul...