Hakikat Al-Qur’an dan Tafsir Menurut Fazlur Rahman dan Muhammad Syahrur

Berbicara mengenai al-Qur’an dan tafsir merupakan suatu perbincangan yang tidak tabu lagi bagi sebagian besar umat Muslim. Al-Qur’an sebagai kitab suci bagi umat Islam tidak lagi dipandang menjadi barang baru dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai produk kitab tafsir pun terus bermunculan seiring dengan waktu yang terus berjalan. Dari keumuman masyarakat Muslim yang telah akrab dengan al-Qur’an dan tafsir tersebut, muncul problema baru yang perlu dicermati, yaitu; apakah nilai-nilai al-Qur’an dan tafsir mampu seiring dan sejalan dengan perkembangan kehidupan saat ini? Lalu apakah dalam kehidupan sehari-hari posisi al-Qur’an dan tafsir telah memberi andil atau sekedar menjadi landasan bagi umat Muslim kotemporer dalam menjalankan segala aspek kehidupannya? Pertanyaan inilah yang sekiranya dapat menguatkan argumen bahwa upaya melihat perbandingan  hakikat al-Qur’an dan tafsir konteks masa lalu dengan konteks masa kini perlu dilakukan.                                  
Jika melihat sejarah masa lampau yang biasa disebut zaman klasik, pemaknaan al-Qur’an bahkan pembahasan seputar al-Qur’an secara umum hanya tebatas pada nilai-nilai religius al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai kitab suci dianggap memiliki sakralitas yang sangat tinggi kedudukannya, sehingga kebenarannya pun dianggap final. Al-Qur’an pada masa itu dipandang sebagai kitab yang hanya perlu dibaca apa adanya tanpa mengharuskan adanya analisis-analisis tertentu. Apa yang terkandung dalam al-Qur’an, apa yang disampaikan al-Qur’an, dan apa yang menjadi keputusan hukum al-Qur’an akan diikuti persis seperti itu adanya, sedangkan konteks dan realitas tidak menjadi pertimbangan dalam pembacaan al-Qur’an masa itu. Bisa ditarik kesimpulan bahwa pada masa klasik al-Qur’an merupakan sesuatu yang elit bagi kehidupan masyarakat.                                                              
Tidak berbeda jauh dengan pandangan al-Qur’an pada zaman klasik, kedudukan tafsir pada masa itu pun tidak lebih dari hasil ijtihad mufassir untuk membahas makna bahasa al-Qur’an melalui pendekatan linguistik. Penafsiran pada masa itu lebih terfokus pada pemahaman mufassir terkait dengan maksud ayat secara literal saja. Bahkan produk tafsir masa klasik dapat dikatakan ideologis dan sektarian sesuai dengan kepentingan serta latar belakang para mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an.
Hakikat al-Qur’an dan tafsir pada masa klasik tersebut jauh berbeda dengan masa kini (kotemporer). Jika pada masa klasik al-Qur’an dianggap sangat sakral dan kaku, maka pada masa kini al-Qur’an sudah beralih fungsi menjadi alat yang diharapkan mampu untuk menjawab berbagai problem kehidupan. Al-Qur’an benar-benar difungsikan dengan berbagai macam cara agar nilai-nilai yang dikandungnya dapat sejalan dengan realitas konteks kekinian. Keontentikan dan kesucian al-Qur’an tetap terjaga, namun pemahaman dan cara pandangnya saja yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.                                                    
Tafsir pada masa kotemporer pun telah mengalami peralihan makna yang signifikan bagi sebagian pemikir kotemporer. Para pemikir kotemporer telah memandang tafsir sebagai produk yang dihasilkan dari dialog sinergis antara wahyu, mufassir, dan realitas. Sehingga tafsir sebagai produk pemikiran manusia tidaklah memiliki kebenaran yang final. Konteks realitas yang terus berkembang menuntut pemahaman mufassir pun terus berkembang. Hasil dari produk tafsir harus mampu menjawab problem-problem masyarakat sesuai konteksnya. Berangkat dari asumsi-asumsi tersebut, maka muncullah berbagai tokoh kotemporer yang menggagas pemahaman al-Qur’an dan tafsir di era kotemporer. Di antara tokoh-tokoh itu adalah Falzlur Rahman dan Muhammad Syahrur. Meskipun Rahman dan Syahrur tidak diketahui memiliki relasi hubungan guru murid, namun kedua tokoh tersebut memiliki pandangan yang secara garis besar mirip-mirip terhadap al-Qur’an dan tafsir.                         Fazlur Rahman dikenal sebagai salah satu tokoh filsafat lahir pada 21 September di Barat Laut Pakistan.[1] Pada tahun 1942 ia mendapat gelar MA pada bidang Sastra Arab di Punjab University, lalu gelar doktornya didapatkan dari Universitas Oxford pada tahun 1949 pada bidang filsafat.[2] Sedangkan Syahrur dengan latar belakang tokoh linguistik dan sains  lahir pada 11 April 1938 di Damaskus.[3] Tahun 1969 ia mendapat gelar Master of Science dari Ireland National University, gelar doktornya didapatkan pada 1972.[4] Berbeda dengan tokoh-tokoh pemikir Islam terdahulu dalam memandang al-Qur’an, Rahman berpendapat bahwa al-Qur’an merupakan dasar keimanan, dasar pemahaman, dasar tingkah laku dan moral dalam menjalankan kehidupan. Al-Qur’an yang dahulunya dianggap sakral dan tertutup, baginya kini al-Qur’an adalah suatu pedoman kehidupan yang selalu aktual dan kontekstual sepanjang zaman. Oleh karenanya al-Qur’an sendiri mampu menjawab problem-problem kotemporer sesuai konteks yang dihadapi masyarakat.            
Sayhrur memiliki pemikiran yang tidak jauh berbeda dengan Rahman, menurut Syahrur al-Qur’an merupakan basic moral teologis yang dapat dijadikan alat untuk menyelesaikan problem-problem kehidupan kotemporer. Lanjutnya menurut Syahrur pada era kotemporer saat ini dalam memahami al-Qur’an tidak perlu lagi terbebani secara psikologis maupun teologis terhadap produk-produk tafsir masa lalu. Perlu analogi pemahaman baru bahwa al-Qur’an adalah kitab yang baru saja diturunkan, sehingga pembacaannya pun harus kreatif dan inovatif sesuai kacamata keilmuan kotemporer maupun mempertimbangkan konteks kekinian.                                                  
Terkhusus pada padangan Rahman dan Syahrur terkait tafsir secara garis besar memiliki persamaan. Mereka berpendapat bahwa tafsir adalah hasil ijtihad atau interpretasi manusia atas teks al-Qur’an yang tidak final kebenarannya. Tafsir sebagai proses dialektika antara teks wahyu, akal dan realitas yang dialektis dan dinamis. Proses penafsiran ini menurut mereka harus mempertimbangkan antara teks dan konteks dengan seimbang melalui akal (ijtihad). Hal ini perlu diterapkan mengingat produk tafsir sendiri bersifat nisbi, relatif dan temporer. Sehingga diharapkan produk tafsir tersebut dapat objektif tanpa bias ideologis yang pada akhirnya produk tafsir tersebut mampu menjadi parameter dan acuan masyarakat untuk menyelesaikan berbagai problem-problem kekinian sesuai konteksnya.                            
Perbedaan pendapat Syahrur dan Rahman terhadap tafsir terletak pada pandangan mereka mengenai kebenaran tafsir. Menurut Rahman suatu produk penafsiran dapat dibenarkan ketika penafsiran tersebut sesuai dengan realitas empiris. Sedangkan menurut Syahrur kebanaran tafsir dapat diakui ketika penafsiran tersebut mampu menangkap ideal moral teks wahyu sesuai makna otentiknya yang selanjutnya mampu diterapkan pada konteks zamannya.                                                                                                                                  
Melihat dari pemikiran tokoh pemikir kotemporer Muhammad Syahrur dan Fazlur Rahman dalam mensikapi al-Qur’an dan tafsir tersebut setidaknya dapat memberi pelajaran kepada para pembaca kotemporer bahwa realitas zaman yang terus berkembang seperti saat ini tentunya membutuhkan pembacaan yang lebih cerdas dan maju dalam melihat berbagai masalah kehidupan. Teks suci keagamaan berupa al-Qur’an mapun produknya berupa kitab tafsir seharunya tidak kehilangan sakralitasnya, akan tetapi cara pandang dan pembacaannya memang perlu diperhatikan sesuai dengan konteks perkembangan zamannya.







[1] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kotemporer, (Yogyakarta:LKIS, 2010), hlm. 87.
[2] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kotemporer...hlm. 89.
[3] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kotemporer...hlm. 92.
[4] M. Aunul Abied Shah et al. (ed.), Islam Garda Depan; Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 237. 

0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.