Berbicara mengenai al-Qur’an dan tafsir merupakan suatu
perbincangan yang tidak tabu lagi bagi sebagian besar umat Muslim. Al-Qur’an
sebagai kitab suci bagi umat Islam tidak lagi dipandang menjadi barang baru
dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai produk kitab tafsir pun terus bermunculan
seiring dengan waktu yang terus berjalan. Dari keumuman masyarakat Muslim yang
telah akrab dengan al-Qur’an dan tafsir tersebut, muncul problema baru yang
perlu dicermati, yaitu; apakah nilai-nilai al-Qur’an dan tafsir mampu seiring
dan sejalan dengan perkembangan kehidupan saat ini? Lalu apakah dalam kehidupan
sehari-hari posisi al-Qur’an dan tafsir telah memberi andil atau sekedar
menjadi landasan bagi umat Muslim kotemporer dalam menjalankan segala aspek
kehidupannya? Pertanyaan inilah yang sekiranya dapat menguatkan argumen bahwa upaya
melihat perbandingan hakikat al-Qur’an
dan tafsir konteks masa lalu dengan konteks masa kini perlu dilakukan.
Jika
melihat sejarah masa lampau yang biasa disebut zaman klasik, pemaknaan
al-Qur’an bahkan pembahasan seputar al-Qur’an secara umum hanya tebatas pada
nilai-nilai religius al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai kitab suci dianggap memiliki
sakralitas yang sangat tinggi kedudukannya, sehingga kebenarannya pun dianggap
final. Al-Qur’an pada masa itu dipandang sebagai kitab yang hanya perlu dibaca
apa adanya tanpa mengharuskan adanya analisis-analisis tertentu. Apa yang
terkandung dalam al-Qur’an, apa yang disampaikan al-Qur’an, dan apa yang
menjadi keputusan hukum al-Qur’an akan diikuti persis seperti itu adanya,
sedangkan konteks dan realitas tidak menjadi pertimbangan dalam pembacaan
al-Qur’an masa itu. Bisa ditarik kesimpulan bahwa pada masa klasik al-Qur’an
merupakan sesuatu yang elit bagi kehidupan masyarakat.
Tidak
berbeda jauh dengan pandangan al-Qur’an pada zaman klasik, kedudukan tafsir
pada masa itu pun tidak lebih dari hasil ijtihad mufassir untuk membahas
makna bahasa al-Qur’an melalui pendekatan linguistik. Penafsiran pada masa itu
lebih terfokus pada pemahaman mufassir terkait dengan maksud ayat secara
literal saja. Bahkan produk tafsir masa klasik dapat dikatakan ideologis dan
sektarian sesuai dengan kepentingan serta latar belakang para mufassir
dalam menafsirkan al-Qur’an.
Hakikat al-Qur’an dan tafsir pada masa klasik tersebut jauh berbeda
dengan masa kini (kotemporer). Jika pada masa klasik al-Qur’an dianggap sangat
sakral dan kaku, maka pada masa kini al-Qur’an sudah beralih fungsi menjadi
alat yang diharapkan mampu untuk menjawab berbagai problem kehidupan. Al-Qur’an
benar-benar difungsikan dengan berbagai macam cara agar nilai-nilai yang
dikandungnya dapat sejalan dengan realitas konteks kekinian. Keontentikan dan
kesucian al-Qur’an tetap terjaga, namun pemahaman dan cara pandangnya saja yang
disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Tafsir
pada masa kotemporer pun telah mengalami peralihan makna yang signifikan bagi
sebagian pemikir kotemporer. Para pemikir kotemporer telah memandang tafsir
sebagai produk yang dihasilkan dari dialog sinergis antara wahyu, mufassir,
dan realitas. Sehingga tafsir sebagai produk pemikiran manusia tidaklah
memiliki kebenaran yang final. Konteks realitas yang terus berkembang menuntut
pemahaman mufassir pun terus berkembang. Hasil dari produk tafsir harus
mampu menjawab problem-problem masyarakat sesuai konteksnya. Berangkat dari asumsi-asumsi tersebut,
maka muncullah berbagai tokoh kotemporer yang menggagas pemahaman al-Qur’an dan
tafsir di era kotemporer. Di antara tokoh-tokoh itu adalah Falzlur Rahman dan
Muhammad Syahrur. Meskipun Rahman dan Syahrur tidak diketahui memiliki relasi
hubungan guru murid, namun kedua tokoh tersebut memiliki pandangan yang secara
garis besar mirip-mirip terhadap al-Qur’an dan tafsir. Fazlur Rahman dikenal sebagai salah satu tokoh
filsafat lahir pada 21 September di Barat Laut Pakistan.[1] Pada
tahun 1942 ia mendapat gelar MA pada bidang Sastra Arab di Punjab University,
lalu gelar doktornya didapatkan dari Universitas Oxford pada tahun
1949 pada bidang filsafat.[2] Sedangkan
Syahrur dengan latar belakang tokoh linguistik dan sains lahir pada 11 April 1938 di Damaskus.[3] Tahun
1969 ia mendapat gelar Master of Science dari Ireland National
University, gelar doktornya didapatkan pada 1972.[4] Berbeda
dengan tokoh-tokoh pemikir Islam terdahulu dalam memandang al-Qur’an, Rahman
berpendapat bahwa al-Qur’an merupakan dasar keimanan, dasar pemahaman, dasar
tingkah laku dan moral dalam menjalankan kehidupan. Al-Qur’an yang dahulunya
dianggap sakral dan tertutup, baginya kini al-Qur’an adalah suatu pedoman
kehidupan yang selalu aktual dan kontekstual sepanjang zaman. Oleh karenanya
al-Qur’an sendiri mampu menjawab problem-problem kotemporer sesuai konteks yang
dihadapi masyarakat.
Sayhrur
memiliki pemikiran yang tidak jauh berbeda dengan Rahman, menurut Syahrur
al-Qur’an merupakan basic moral teologis yang dapat dijadikan alat untuk
menyelesaikan problem-problem kehidupan kotemporer. Lanjutnya menurut Syahrur
pada era kotemporer saat ini dalam memahami al-Qur’an tidak perlu lagi
terbebani secara psikologis maupun teologis terhadap produk-produk tafsir masa
lalu. Perlu analogi pemahaman baru bahwa al-Qur’an adalah kitab yang baru saja
diturunkan, sehingga pembacaannya pun harus kreatif dan inovatif sesuai
kacamata keilmuan kotemporer maupun mempertimbangkan konteks kekinian.
Terkhusus
pada padangan Rahman dan Syahrur terkait tafsir secara garis besar memiliki
persamaan. Mereka berpendapat bahwa tafsir adalah hasil ijtihad atau
interpretasi manusia atas teks al-Qur’an yang tidak final kebenarannya. Tafsir
sebagai proses dialektika antara teks wahyu, akal dan realitas yang dialektis
dan dinamis. Proses penafsiran ini menurut mereka harus mempertimbangkan antara
teks dan konteks dengan seimbang melalui akal (ijtihad). Hal ini perlu
diterapkan mengingat produk tafsir sendiri bersifat nisbi, relatif dan temporer.
Sehingga diharapkan produk tafsir tersebut dapat objektif tanpa bias ideologis
yang pada akhirnya produk tafsir tersebut mampu menjadi parameter dan acuan
masyarakat untuk menyelesaikan berbagai problem-problem kekinian sesuai
konteksnya.
Perbedaan
pendapat Syahrur dan Rahman terhadap tafsir terletak pada pandangan mereka
mengenai kebenaran tafsir. Menurut Rahman suatu produk penafsiran dapat
dibenarkan ketika penafsiran tersebut sesuai dengan realitas empiris. Sedangkan
menurut Syahrur kebanaran tafsir dapat diakui ketika penafsiran tersebut mampu
menangkap ideal moral teks wahyu sesuai makna otentiknya yang selanjutnya mampu
diterapkan pada konteks zamannya.
Melihat
dari pemikiran tokoh pemikir kotemporer Muhammad Syahrur dan Fazlur Rahman
dalam mensikapi al-Qur’an dan tafsir tersebut setidaknya dapat memberi
pelajaran kepada para pembaca kotemporer bahwa realitas zaman yang terus
berkembang seperti saat ini tentunya membutuhkan pembacaan yang lebih cerdas
dan maju dalam melihat berbagai masalah kehidupan. Teks suci keagamaan berupa
al-Qur’an mapun produknya berupa kitab tafsir seharunya tidak kehilangan
sakralitasnya, akan tetapi cara pandang dan pembacaannya memang perlu
diperhatikan sesuai dengan konteks perkembangan zamannya.
[1]
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kotemporer, (Yogyakarta:LKIS, 2010),
hlm. 87.
[2]
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kotemporer...hlm. 89.
[3]
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kotemporer...hlm. 92.
[4]
M. Aunul Abied Shah et al. (ed.), Islam Garda Depan; Mosaik Pemikiran Islam
Timur Tengah, (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 237.
0 komentar:
Posting Komentar