Awal Mula (Sejarah) Aktivitas Penerjemahan Qur’an di Melayu(Indonesia)

Review “Earliest Quranic Exegtical Activity in the Malay-Speaking States- by Peter Riddell”
[Awal Mula (Sejarah) Aktivitas Penerjemahan Qur’an di Melayu(Indonesia)]

            Awal mula perkembangan aktivitas penerjemahan Quran di Melayu telah lama terhambat oleh kelangkaan catatan sejarah. Beberapa upaya telah dilakukan untuk mengisi kesenjangan penting ini dalam mencari sumber yang berkaitan dengan awal Melayu Islam, tapi masih banyak yang harus dilakukan sebelum menilai awal mula aktivitas penafsiran Quran pada negara berbahasa Melayu yaitu Indonesia. Sebelum itu, perlu kita lihat kembali mengenai kedatangan Islam di Melayu.
Kedatangan Islam di Asia Tenggara
Bukti fragmentaris sejarah menunjukkan bahwa islam masuk ke Indonesia dan mendapat penganut yang signifikan akhir abad ke-13. Bukti ini dapat dilihat dari beberapa catatan sejarah, diantaranya:
1)       Catatan pengadilan Cina 1282 mengirim  utusan dari kota pelabuhan Sumatera Utara dari Samudra-Pasai yang melahirkan nama-nama Muslim.
2)      Marco Polo  tercatat telah melakukan perjalanan ke Sumatera utara, sepuluh tahun kemudian mencatat bahwa kota Perlak telah memeluk Islam.
3)      Tradisi Melayu Sastra, didukung oleh tanggal pada prasarti, menunjukkan bahwa raja yang mendirikan Samudra-Pasai meninggal dalam keadaan  Muslim pada tahun 1297.

Dari beberapa bukti tersebut pada akhirnya menjadikan kesimpulam bahwa Islamisasi di Indonesia berlangsung sejak periode akhir abad ke-13. Dan pelabuhan Samudera Pasai sebagai «tempat lahir Islam di Indonesia»
Islamisasi di berbagai daerah di Indonesia tidak dilakukan dengan paksaan-paksaan dari sebuah penaklukan, melainkan melalui jalan damai dengan para pedagang muslim yang menikah dengan penduduk setempat. Para pedagang Muslim ini kemungkinan besar berasal dari India Selatan, sebagian besar pedagang itu berasal dari  dengan pantai Coromandal di India tenggara.
Selain itu, proses Islamisasi di Indonesia melalui tahap demi tahap, seperti yang akan diharapkan dari perubahan damai melalui perdagangan. Sebuah laporan Portugis pada awal abad ke-16 menunjukkan bahwa meskipun kota-kota pelabuhan Sumatera Utara seperti Samudera Pasai adalah Muslim, pedesaan itu sebagian besar masih belum memeluk Islam.
Pada abad ke-16 pulau Aceh yang terletak di sebelah barat Samudra-Pasai mengalami kebangkitan. Selama bertahun-tahun pada abad itu, Aceh merupakan salah  satu dari pulau di Sumatera Utara yang kemunculannya menjadi kekuatan utama di kawasan itu. Hal ini dikarenakan oleh beberapa faktor; penguasa di antara mereka mengalami pergolakan politik dan perdagangan disebabkan oleh penangkapan Portugis Malaka pada tahun 1511. Sebelum ini, Malaka telah menjadi tempat persiapan bagi pedagang Muslim dari Arab dan India dalam mencari lada dan rempah-rempah lainnya. Kerugian untuk non-Muslim menyebabkan para pedagang ini untuk mencari di tempat lain. Pada akhirnya Aceh menjadi tempat tujuan selanjutnya abad ke-16 dan ke-17.
Aturan yang dibuat Sultan Iskandar Muda (1607-1636) umumnya dianggap sebagai «Golden Age», yaitu sebuah periode yang ditandai oleh berkembangnya ekspansi militer, kegiatan ekonomi, sastra dan agama. Hal ini juga akan berpengaruh pada kegiatan penafsiran Quran pertama dalam bahasa Melayu yang terbukti ditemukannya karya seorang ulama Islam Aceh.

Awal Terjemahan Quran dalam bahasa Melayu: Terjemah al-Mustafid
Terjemahan Quran dalam bahasa Melayu pertama adalah Terjemah al-Mustafid oleh 'Abd al-Rauf  bin 'Ali al-Jawi al-Fansuri al-Singkili. Meskipun karya ini tidak menyertakan tanggal tepatnya disusun, cukup yang diketahui tentang kehidupan penulis untuk dapat mengetahui pada tahun berapa kira-kira kitab ini disusun. 'Abd al-Rauf  lahir sekitar tahun 1615, dan dari namanya menunjukkan bahwa keluarganya tinggal di Singkil, sebuah kota kecil di pantai barat pulau Sumatera yang sekarang  menjadi provinsi  Aceh. Dia menghabiskan  waktu sekitar sembilan belas tahun untuk  belajar tafsir, fiqih dan ilmu-ilmu Islam lainnya di Saudi dari tahun 1640- 1650, sebelum kembali ke Aceh pada sekitar 1661. Sisanya tiga puluh dua tahun hidupnya dicurahkan untuk melanjutkan menulis berbagai karya pada mata pelajaran Islam seperti hukum dan mistisisme, termasuk latihan spiritual dzikir. Di antara karya-karya sastra yang dihasilkan oleh 'Abd al-Rauf selama periode ini adalah Tarjuman al-Mustafid. Salinan naskah tertua yang  berisi informasi yang menunjukkan bahwa kitab itu ditulis setelah kembali dari Saudi dan dekat dari kematiannya sekitar tahun 1.693. Jadi, kemungkinan kitab ini ditulis pada tahun 1.675.
Kembali pada bahasan sebelumnya mengenai masuknya Islam di Indonesia, jika kita kedatangan islam terjadi pada akhir abad ke-13 maka ada 400 tahun selang waktu sebelum Indonesia memberikan  bukti pertama  kegiatan penafsiran Quran yang signifikan. Menimbang bahwa penafsiran Quran merupakan cabang utama dari belajar Islam dan merupakan alat penting dari pendidikan agama, ini selang waktu yang agaknya cukup lama. Kita tidak harus menerimanya pada nilai nominal, Perlu adanya penyelidikan untuk menentukan apakah selang tersebut dalam waktu yang tidak biasa dan, jika demikian, apa bukti yang bisa ditemukan untuk kegiatan penafsiran Tarjuman al-Mustafid.
Dalam penyelidikan itu dapat mempertimbangkan proses Islamisasi India untuk mengetahui kedatangan Islam dan bukti awal kegiatan penafsiran Quran di negara tersebut.

Islamisasi India
Meskipun penjajah Muslim Arab berhasil menaklukkan wilayah Sind, salah satu wilayah di laut India pada abad kedelapan, Islam tidak berhasil sepenuhnya menaklukkan wilayah tersebut. Pergolakan umat Islam tak tertahankan Islam pada abad-abad pertama setelah wafatnya Nabi kandas  ketika berhadapan dengan gurun Makran yang memisahkan jantung Islam dari India; gurun ini membuat lautan menyeberang ke India yang diperlukan, dan faktor ini adalah penyebab utama Islam yang sebagian besar diselenggarakan di teluk sampai sekitar 460 tahun setelah kematian Muhammad. Delhi jatuh ke tentara Muslim pada tahun 1.192 dan pemerintahan Islam dikonsolidasikan di India utara pada abad ketiga belas dengan pembentukan Kesultanan  Delhi. 

Kegiatan Penerjemahan Awal di India
Pada periode awal menunjukkan bahwa bahasa Arab klasik dalam penafsiran seperti Kashshàf dari Zamakhsyari dan Tafsir Imam Nasiri yang digunakan di kalangan ilmiah selama abad 12 dan 13 menunjukkan bukti adanya kegiatan penerjemahan ketika itu. Doktrin-doktrin dari Ibn al-'Arabi (560-638 / 1165-1240) membawa sebuah berkembang dalam pemikiran keagamaan di abad ke-13 dan salah satu karya penafsiran lokal yang paling awal ditulis, Tafsir al-Rahman wa Taysir al-Mannan oleh Syaikh al-Mahà'imî (d. 853/1431), mewakili upaya untuk mencari dukungan tekstual Alquran untuk doktrin Ibn al-'Arabi. Namun, itu ditulis dalam bahasa Arab dan itu seperti karya penafsiran awal lain yang ditulis di India.
Seiring berjalannya waktu, Muslim India mulai memiliki minat yang lebih besar dalam karya Muslim berbahasa Persia yang  bukan dalam bahasa Arab. Isi Al-Qur'an tidak dibuat langsung diakses penduduk pada umumnya sampai Shah Wali Allah Dihlawi (d. 1176/1762) melakukan penerjemahan bahasa Persia dalam Al Qur'an, dan terjemahan populer ke Urdu dilakukan oleh Shah Rafi 'al-Din dan Shah' Abd al-Qadir (d. 1228/1813) <15).
Dari bukti sejarah ini dapat dilihat perbandingan antara Islamisasi dan munculnya aktivitas penerjemahan Quran di India yang  memberikan gambaran perbedaan dengan sejarah di negara Indonesia. Di kedua daerah, beberapa ratus tahun berlalu sebelum dapat ditemukan upaya penerjemahan isi Al quran ke dalam bahasa lokal. Perbedaan besar, tentu saja, terletak pada kenyataan bahwa kita memiliki bukti sejarah  bahwa bahasa Arab digunakan di kalangan tertentu oleh  Muslim India dari waktu berdirinya  Kesultanan Delhi di abad ke-13, sedangkan daerah Melayu tidak membuktikan adanya kegiatan penafsiran yang signifikan dalam bahasa apapun sampai bagian akhir dari abad ke-17, sekitar 400 tahun setelah adopsi pertama Islam oleh negara Indonesia.

Kehidupan Politik dan Agama Aceh di 17 H
Selanjutnya untuk menyelidiki awal aktivitas penafsiran Terjemahan 'Abd al-Rauf Singkili perlu memeriksa catatan paling awal dari kehidupan politik dan agama dari negara-negara Melayu. Di mana kita akan kembali melihat ke Kerajaan Aceh, sebagai bukti substansial pertama sifat dan arah doktrin Islam di dunia Melayu yang ditelusuri pada akhir abad ke-16. Ada bukti yang menunjukkan bahwa hal itu menjadi semakin umum dalam periode ini untuk perkembangan Aceh Islam.
            Seorang tokoh bernama Hamzah Fansuri pada akhir abad ke-16, yang merupakan ahli agama pertama dari dunia Melayu. Hal ini terbukti dari salinan beberapa karyanya yang masih ada sampai kini, dan karya-karya ini memberi sekilas gambaran  kehidupan beragama masyarakat Aceh Raya pada akhir abad ke-16. Mereka juga memberikan informasi berharga tentang Hamzah sendiri, dan dari puisinya yang masih ditemukan bahwa ia masuk ke dalam aliran Qadiriyah di Saudi. Dalam kesehariannya, ia setidaknya bergabung, dan mungkin telah menetapkan tradisi Sufi yang 'Abd al-Rauf ikuti pada beberapa dekade kemudian.
            Di India dan Aceh, maupun di seluruh dunia Muslim, Sufi atau sekolah pemikiran mistis berkembang selama abad ke-17. Inti dari keyakinan Sufi adalah bahwa tujuan utama agama adalah manusia dengan Allah. Menurut ajaran dari beberapa sufi awal, perbedaan antara Pencipta dan makhluk akhirnya tidak ada ketika persekutuan dengan Allah dimusnahkan. Perkembangan doktrin-doktrin sufistik di Aceh terkait erat dengan arah perkembangan kontemporer di Muslim di India.
            Namun tokoh bernama Nuruddin al-Raniri, seorang cendekiawan Islam yang berasal dari Guje- di India, tiba di Aceh. Dia menjadi terkenal di bawah perlindungan Sultan baru (Sultan Iskandar Muda), selama tujuh tahun ke depan ia mencurahkan energinya untuk menulis karya yang bertujuan untuk menyangkal apa yang dianggap sebagai ajaran sesat dari Hamzah dan Shams al-din. Inti dari kritiknya berkisar tuduhan bahwa ajaran kedua ulama ini adalah panteistik dan sesat. Al-Raniri mendorong periode penganiayaan widescale dari para pengikut Hamzah dan Shams al-din. Selama periode ini, banyak pengikut dari dua Sufi dibunuh dan buku yang ditulis oleh kedua Hamzah dan Shams al-Din dibakar.

Tafsir Quran Bahasa Melayu Awal adalah Tarjemahan al-Mustafid?
Kembali pada pencarian kegiatan penafsiran awal Terjemah al-Mustafid. Terdapat informasi penting, yaitu bahwa banyak catatan aktivitas sastra religius Hamzah dan Shams al-Din dihancurkan oleh para pengikut al-Raniri. Mungkin saja jika salah satu dari mantan ulama telah melahirkan sebuah karya besar dari tafsir Quran, salinan dari karya ini akan dibakar  oleh perintah al-Raniri.
Namun masih ada jejak sastra penafsiran ditemukan di antara abu kebakaran ini. Ada penafsiran dan terjemahan ke dalam bahasa Melayu dari ayat-ayat Al quran individu termasuk dalam salinan dari karya-karya Hamzah dan Shams al-Din untuk menggambarkan suatu keadaantertentu. Tapi karya-karya ini sendiri tidak bersifat eksegetis, melainkan berurusan dengan pemahaman penulis sendiri terkait  isu penting seperti sifat Allah, Dunia, Manusia dan hubungan antara ketiganya.
Hanya dengan melakukan pencarian yang dikumpulkan oleh pelaut Eropa dan disimpan di Eropa bahwa kita menemukan petunjuk terakhir. Petunjuk ini ditemukan di naskah koleksi Cambridge University Library katalog MS Ii.6.45. Naskah ini berisi komentar dalam bahasa Melayu pada bab 18 dari Al-Qur'an, dan awalnya milik koleksi pribadi dari Belanda Arabist Erpenius (d. 1624). Koleksi itu dibawa kembali ke Eropa dari Aceh pada awal abad ke-17 , maka kitab  itu  telah disusun sekitar 1.600.
Pentingnya MS ini terletak pada kenyataan bahwa tanggal yang dapat meyakinkan periode di mana Shams al-Din, dan mungkin Hamzah Fansiiri, hidup. Fakta bahwa ada salinan lain dari pekerjaan ini yang masih menunjukkan bahwa masih adanya karya Hamzah mungkin telah dibawa keluar Aceh sebelum perintah pembakaran dari al-Raniri sekitar empat dekade kemudian yang mungkin menghancurkan salinan lain dari pekerjaan yang sama dan penafsiran serupa lainnya. Ini tentu juga berarti bahwa Cambridge MS adalah MS sangat berharga, karena itu menjadi petunjuk tersisa satu-satunya untuk memahami bahwa adanya aktivitas penafsiran Quran dalam bahasa Melayu sebelum 'Abd al-Rauf dalam Terjemah al-Mustafid.









           



0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.