Miskin Prespektif Hadis

BAB I
PENDAHULUAN

A.         Latar Belakang Masalah

Seperti halnya al-Qur’an yang sarat akan berbagai hukum maupun ajaran yang dapat dirujuk dalam berbagai aspek kehidupan, hadis pun memiliki berbagai ajaran maupun pedoman yang dapat dirujuk bagi manusia dalam menjalankan kehidupannya, baik dalam menjalankan hidupnya sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial. Dalam penelitian ini penulis akan berfokus pada masalah sosial yang dibahas pada hadis-hadis. Masalah sosial tersebut adalah kemiskinan.

Pada zaman yang semakin berkembang ini, kemiskinan seolah menjadi masalah yang tak kunjung terselesaikan. Seperti kata pepatah “Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.” Sejak masa lampau yang tua sekalipun, hingga masa terkini, di belahan dunia manapun, kemiskinan tak luput dari sebuah pembahasan yang problematis.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “miskin” berarti; “tidak berharta; serba kekurangan (berpenghasilan sangat rendah)”. Sedangkan kata “kemiskinan” berarti; “hal miskin; keadaan miskin; situasi penduduk atau sebagian penduduk yang hanya dapat memenuhi makanan, pakaian, dan perumahan yang sangat diperlukan untuk mempertahankan tingkat kehidupan yang minimum.[1] Sedangkan menurut Wikipedia[2] “kemiskinan” adalah keadaan di mana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup:
·         Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
·         Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi. Gambaran kemiskinan jenis ini lebih mudah diatasi daripada dua gambaran yang lainnya.
·         Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna "memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia. Gambaran tentang ini dapat diatasi dengan mencari objek penghasilan di luar profesi secara halal. Perkecualian apabila institusi tempatnya bekerja melarang.

Dalam bahasa Arab sendiri kata  miskin yang berasal dari kata sakana yang berarti diam atau tenang, sedang kata masakin adalah bentuk jama’ dari miskin yang menurut bahasa diambil dari kata sakana yang artinya menjadi diam atau tidak bergerak karena lemah fisik atau sikap yang sabar dan qana’ah.[3]

Menurut UU Nomor 13 Tahun 2011, tentang Penanganan Fakir-Miskin, pada Pasal 1 (1) menyebutkan bahwa fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan keluarganya.
Sementara itu para tokoh agama berbeda-beda dalam mendefinisikan kata “miskin” ini. Menurut Yasin Ibrahim sebagaimana yang diungkapkan oleh M. Ridlwan Mas’ud dalam bukunya Zakat dan Kemiskinan, Instrument Pemberdayaan Umat, mengartikan kata “miskin” yaitu orang yang tidak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka kebalikan dari orang-orang kaya yang mampu memenuhi apa yang diperlukannya.[4] Ibnu Abbas mengartikan kata al-masakin sebagai orang yang keluar rumah untuk meminta-minta.[5]  Ibnu Zaid dalam menafsirkan al-masakin diartikan orang-orang yang meminta-minta pada orang lain. Sedangkan menurut Qatadah al-masakin adalah orang yang sehat (orang yang tidak mempunyai penyakit) yang membutuhkan.[6] Sedangkan Umar bin Khattab menyatakan “bukanlah orang miskin yang tidak mempunyai harta sama sekali, tetapi orang yang buruk raganya”.[7] Imam Abu Hanifah memberi pengertian miskin adalah mereka yang benar-benar miskin dan tidak memiliki apa-apa untuk memenuhi kebutuhan hidup.[8] Dengan kata lain orang miskin lebih parah kondisinya daripada fakir.[9] Sementara itu Masdar F. Mas’udi mengatakan bahwa miskin menunjuk pada orang yang secara ekonomi lebih beruntung daripada si fakir. Tetapi secara keseluruhan ia tergolong orang-orang yang masih tetap kerepotan dalam memenuhi kebutuhan hidup kesehariannya.[10]
Dari berbagai definisi “miskin” tersebut penulis berasumsi bahwa pemaknaan kata “miskin” harus ditinjau kembali. Hal ini dikarenakan definisi “miskin” yang begitu banyak dari para ulama tersebut harus dikontekskan dengan kondisi sosial kemasyarakatan pada masa kini. Permasalahan global yang satu ini tidak hanya dapat dipecahkan dengan asumsi-asumsi yang berdasar teori, namun perlu adanya praktek-praktek langsung untuk melihat realita kemiskinan di tengah masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia.
Seperti contoh yang dapat diamati pada realitas masyarakat, akhir-akhir ini banyak ditemukan para pengemis yang pekerjaan utamanya meminta-minta di jalanan maupun tempat-tempat umum namun ternyata mereka memiliki rumah mewah, kendaraan pribadi, dan aset-aset berharga lainnya. Para peminta-minta ini kerap menggunakan kekurangan fisik pada tubuhnya sebagai alasan meminta belas kasihan orang lain dengan mengatasnamakan kemiskinan dan ketidakberdayaan.
Terdapat pula fenomena di mana banyak sekali program-program pemerintah terkait penanggulangan kemiskinan bagi rakyat miskin disalahgunakan berbagai pihak-pihak yang berkepentingan. Pihak-pihak ini tidak sepenuhnya dapat dikatkan sebagai orang miskin namun menggunakan fasilitas-fasilitas yang diperuntukkan bagi orang miskin, seperti Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) , Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Operasional Kesehatan (BOK), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, dan program-program lainnya.
Lebih jauh lagi jika ditelisik dari masalah keagamaan, pemahaman “miskin” ini juga menjadi acuan dalam memberikan shadaqah, zakat maupun amal-amal lain kepada yang berhak menerima. Terdapat delapan golongan orang-orang yang berhak menerima zakat, salah satunya adalah orang miskin. Sementara itu dalam praktek di lapangan masih banyak masyarakat miskin yang tidak menerima haknya, maupun masyarakat tidak miskin yang menerima zakat yang bukan haknya. Oleh karenanya pemahaman “orang miskin” dalam pandangan agama maupun realitas sosial sangatlah penting.
Terdapat beberapa hadis yang membahas orang miskin, salah satunya adalah hadis yang riwayat Bukhari nomor 1385:    
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِي يَطُوفُ عَلَى النَّاسِ تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ وَلَكِنْ الْمِسْكِينُ الَّذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ وَلَا يُفْطَنُ بِهِ فَيُتَصَدَّقُ عَلَيْهِ وَلَا يَقُومُ فَيَسْأَلُ النَّاسَ
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Isma'il bin 'Abdullah berkata, telah menceritakan kepada saya Malik dari Abu Az Zanad dari Al A'raj dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Bukanlah disebut miskin orang berkeliling meminta-minta kepada manusia dan bisa diatasi dengan satu atau dua suap makanan atau satu dua butir kurma. Akan tetapi yang disebut miskin adalah orang yang tidak mendapatkan seseorang yang bisa memenuhi kecukupannya, atau yang kondisinya tidak diketahui orang sehingga siapa tahu ada yang memberinya shedaqah atau orang yang tidak meminta-minta kepada manusia".
Dari latar belakang masalah yang telah penulis kemukakan diatas, penulis akan meneliti lebih lanjut pemaknaan “miskin” berdasar prespektif hadis Bukhari nomor 1385 tersebut dengan mengkorelasikan realitas sosial masyarakat masa kini dalam ranah kajian ma’ani hadis.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kritik Historis
1.     Takhrij Hadis

Dalam proses pencarian hadis penulis menggunkan Lidwa Pustaka i-software untuk mencari hadis-hadis setema dengan hadis pokok yang diteliti. Selanjutnya ditemukan  15 hadis penguat yang menjelaskan hadis Bukhori nomor 1385 tersebut. Sahih Bukhari 1 hadis, Sahih Muslim 1 hadis, Sunan Abu Dawud 1 hadis, Sunan Nasa’i 3 hadis, Sunan Darimi 1 hadis, Sunan Ahmad 7 hadis, Sunan Malik 1 hadis.

Adapun bunyi teks hadis yang berkaitan dengan orang miskin akan adalah sebagai berikut:

a.       Bukhari, hadis 4175:
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ قَالَ حَدَّثَنِي شَرِيكُ بْنُ أَبِي نَمِرٍ أَنَّ عَطَاءَ بْنَ يَسَارٍ وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ أَبِي عَمْرَةَ الْأَنْصَارِيَّ قَالَا سَمِعْنَا أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِي تَرُدُّهُ التَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ وَلَا اللُّقْمَةُ وَلَا اللُّقْمَتَانِ إِنَّمَا الْمِسْكِينُ الَّذِي يَتَعَفَّفُ وَاقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ يَعْنِي قَوْلَهُ { لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا {
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Maryam Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far dia berkata; Telah menceritakan kepadaku Syarik bin Abu Namir bahwa Atha bin Yasar dan Abdurrahman bin Abu 'Amrah Al Anshari keduanya berkata; Kami mendengar Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Orang yang miskin bukanlah orang yang merasa telah cukup dengan satu atau dua buah kurma, atau sesuap atau dua suap makanan. Tetapi orang miskin adalah orang yang tidak meminta-minta dan menunjukan kemiskinannya kepada orang lain. Jika kalian mau, bacalah firman Allah: "Mereka tidak meminta-minta kepada orang lain." (Al Baqarah: 273).

b.      Muslim, hadis 1722:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا الْمُغِيرَةُ يَعْنِي الْحِزَامِيَّ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ الْمِسْكِينُ بِهَذَا الطَّوَّافِ الَّذِي يَطُوفُ عَلَى النَّاسِ فَتَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ قَالُوا فَمَا الْمِسْكِينُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الَّذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ وَلَا يُفْطَنُ لَهُ فَيُتَصَدَّقَ عَلَيْهِ وَلَا يَسْأَلُ النَّاسَ شَيْئً
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah menceritakan kepada kami Al Mughirah Al Hizami dari Abu Zinad dari Al A'raj dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Orang miskin bukanlah mereka yang berkeliling meminta-minta kepada orang banyak, lalu peminta itu diberi sesuap dua suap, atau sebutir dua butir kurma." Para sahabat bertanya, "Kalau begitu, seperti apakah orang yang miskin itu?" Beliau menjawab: "Orang miskin sesungguhnya ialah mereka yang tidak memiliki apa-apa untuk menutupi kebutuhannya, namun keadaannya itu tidak diketahui orang supaya orang bersedekah padanya, dan tidak pula meminta-minta ke sana ke mari."       
c.       Abu Dawud, hadis 1390:
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالَا حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِي تَرُدُّهُ التَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ وَالْأَكْلَةُ وَالْأَكْلَتَانِ وَلَكِنَّ الْمِسْكِينَ الَّذِي لَا يَسْأَلُ النَّاسَ شَيْئًا وَلَا يَفْطِنُونَ بِهِ فَيُعْطُونَهُ حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ وَعُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ وَأَبُو كَامِلٍ الْمَعْنَى قَالُوا حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ زِيَادٍ حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَهُ قَالَ وَلَكِنَّ الْمِسْكِينَ الْمُتَعَفِّفُ زَادَ مُسَدَّدٌ فِي حَدِيثِهِ لَيْسَ لَهُ مَا يَسْتَغْنِي بِهِ الَّذِي لَا يَسْأَلُ وَلَا يُعْلَمُ بِحَاجَتِهِ فَيُتَصَدَّقَ عَلَيْهِ فَذَاكَ الْمَحْرُومُ وَلَمْ يَذْكُرْ مُسَدَّدٌ الْمُتَعَفِّفُ الَّذِي لَا يَسْأَلُ قَالَ أَبُو دَاوُد رَوَى هَذَا الْحَدِيثَ مُحَمَّدُ بْنُ ثَوْرٍ وَعَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ مَعْمَرٍ وَجَعَلَا الْمَحْرُومَ مِنْ كَلَامِ الزُّهْرِيِّ وَهُوَ أَصَحُّ
Artinya:Telah menceritakan kepada Kami Utsman bin Abu Syaibah dan Zuhair bin Harb, mereka berkata; telah menceritakan kepada Kami Jarir dari Al A'masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Orang miskin bukanlah orang yang kembali karena diberi satu atau dua butir kurma, serta satu atau dua kali makan, akan tetapi orang miskin adalah orang yang tidak meminta sesuatu kepada orang-orang dan mereka tidak memahaminya, sehingga mereka dapat memberi kepadanya." Telah menceritakan kepada Kami Musaddad serta 'Ubaidullah bin Umar dan Abu Kamil secara makna, mereka mengatakan; telah menceritakan kepada Kami Abdul Wahid bin Ziyad, telah menceritakan kepada Kami Ma'mar dari Az Zuhri dari Abu Salahamah dari Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah shallAllahu wa'alaihi wa sallam bersabda seperti itu: "Akan tetapi orang yang miskin adalah orang yang menjaga kehormatan dirinya…" Musaddad dalam haditsnya menambahkan; ia tidak memiliki sesuatu yang mencukupinya, orang yang tidak meminta-minta dan tidak diketahui kebutuhannya, sehingga dapat diberi sedekah. Maka itulah orang yang terhalang mendapatkan pemberian. Musaddad tidak menyebutkan; orang yang menjaga kehormatan dirinya yang tidak meminta-minta. Abu Daud berkata; Muhammad bin Tsaur serta Abdurrazzaq telah meriwayatkan dari Ma'mar, dan mereka menjadikan kata; orang yang terhalang mendapatkan pemberian merupakan perkataan Az Zuhri, dan hal itu yang paling benar.
d.      Nasa’i , hadis 2524:
أَخْبَرَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ قَالَ أَنْبَأَنَا إِسْمَعِيلُ قَالَ حَدَّثَنَا شَرِيكٌ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِي تَرُدُّهُ التَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ وَاللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ إِنَّ الْمِسْكِينَ الْمُتَعَفِّفُ اقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ { لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا {
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami 'Ali bin Hujr dia berkata; Telah memberitakan kepada kami Isma'il dia berkata; Telah menceritakan kepada kami Syarik dari 'Atha bin Yasar dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Bukanlah orang miskin itu yang datang untuk mendapatkan satu atau dua butir kurma, atau satu atau dua suap makanan, sesungguhnya orang miskin itu adalah orang yang dapat menjaga diri dari meminta-minta, jika kalian mau maka bacalah (ayat): " mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak."           
e.       Nasa’i, hadis 2525:
أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ عَنْ مَالِكٍ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ الْمِسْكِينُ بِهَذَا الطَّوَّافِ الَّذِي يَطُوفُ عَلَى النَّاسِ تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ قَالُوا فَمَا الْمِسْكِينُ قَالُوا الَّذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ وَلَا يُفْطَنُ لَهُ فَيُتَصَدَّقَ عَلَيْهِ وَلَا يَقُومُ فَيَسْأَلَ النَّاسَ
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah dari Malik dari Abu Az Zinad dari Al A'raj dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Bukanlah seorang yang miskin itu yang mengelilingi manusia lalu meminta-minta dan dia mendapatkan sepotong atau dua potong roti, sebutir atau dua butir korma." Para shahabat bertanya: 'ya Rasulullah lalu siapakah yang disebut miskin itu? Beliau bersabda: "Dia adalah orang yang tidak mendapatkan kekayaan untuk mencukupi dirinya dan orang-orang tidak memahami kebutuhannya lalu memberinya sedekah, dan dia tidak bisa mandiri sehingga meminta-minta manusia."
f.       Nasa’i, hadis 2526:
أَخْبَرَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى قَالَ حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِي تَرُدُّهُ الْأُكْلَةُ وَالْأُكْلَتَانِ وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ قَالُوا فَمَا الْمِسْكِينُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الَّذِي لَا يَجِدُ غِنًى وَلَا يَعْلَمُ النَّاسُ حَاجَتَهُ فَيُتَصَدَّقَ عَلَيْ      
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami Nashr bin ‘Ali dia berkata; Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul A’la dia berkata; Telah menceritakan kepada kami Ma’mar dari Az Zuhri dari Abu Salamah dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bukanlah orang miskin itu yang datang untuk mendapatkan satu atau dua suap makanan atau satu atau dua butir kurma”. Para sahabat bertanya; ‘Lalu bagaimanakah orang yang miskin itu ya Rasulullah? Beliau menjawab: “Yaitu orang yang tidak mempunyai kecukupan untuk hidupnya, dan orang lain tidak mengetahui kebutuhannya hingga berhak mendapat sedekah.”  
g.      Ahmad , hadis 4039:
حَدَّثَنَا عَبْد اللَّهِ قَالَ قَرَأْتُ عَلَى أَبِي حَدَّثَكَ عَمْرُو بْنُ مُجَمِّعٍ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ الْهَجَرِيُّ عَنْ أَبِي الْأَحْوَصِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمِسْكِينَ لَيْسَ بِالطَّوَّافِ الَّذِي تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ أَوْ التَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَمَنْ الْمِسْكِينُ قَالَ الَّذِي لَا يَسْأَلُ النَّاسَ وَلَا يَجِدُ مَا يُغْنِيهِ وَلَا يُفْطَنُ لَهُ فَيُتَصَدَّقَ عَلَيْ

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abdullah ia berkata; Aku membacakan kepada ayahku Telah menceritakan kepadamu Amru bin Mujammi' telah menceritakan kepada kami Ibrahim Al Hajari dari Abu Al Ahwash dari Abdullah bin Mas'ud ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Orang miskin bukanlah orang yang berkeliling (meminta-minta) yang ditolak karena satu dan dua suap atau satu dan dua kurma." Aku bertanya; Wahai Rasulullah, lalu siapakah orang miskin itu? Beliau menjawab: "Ia adalah orang yang tidak meminta-minta kepada manusia namun ia tidak mendapati apa yang dibutuhkannya, dan tidak menampakkan (kemiskinannya) sehingga diberi sedekah."
h.      Ahmad, hadis 7275:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى عَنْ مَعْمَرٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِي تَرُدُّهُ التَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ وَالْأُكْلَةُ وَالْأُكْلَتَانِ قَالُوا فَمَنْ الْمِسْكِينُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الَّذِي لَا يَجِدُ غِنًى وَلَا يَعْلَمُ النَّاسُ بِحَاجَتِهِ فَيُتَصَدَّقَ عَلَيْهِ قَالَ الزُّهْرِيُّ وَذَلِكَ هُوَ الْمَحْرُومُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ هَذَا الْحَدِيثِ غَيْرَ أَنَّهُ قَالَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَمَنْ الْمِسْكِينُ قَالَ الَّذِي لَيْسَ لَهُ غِنًى وَلَا يَسْأَلُ النَّاسَ إِلْحَافًا

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abdul A'la dari Ma'mar dari Az Zuhri dari Abu Salamah dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda: "Bukanlah disebut miskin seseorang yang ditolak (gagal) untuk mendapatkan satu atau dua butir kurma, atau satu atau dua porsi makanan." Para sahabat bertanya; "lalu siapakah yang disebut miskin wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Yaitu orang yang tidak mendapat kecukupan, tetapi orang-orang tidak tahu dengan kebutuhannya sehingga mereka bisa berinfaq kepadanya." Az Zuhri berkata: "mereka itulah orang-orang yang tidak mendapatkan rizki." Telah menceritakan kepada kami Abdul A'la dari Ma'mar dari Muhammad bin Ziyad dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam, sebagaimana dalam hadits tersebut diatas, akan tetapi Abu Hurairah menyebutkan; para sahabat bertanya; "Wahai Rasulullah, lalu siapakah yang disebut miskin?" Beliau menjawab: "Orang yang tidak mendapat kecukupan, dan tidak meminta-minta kepada manusia dengan mendesak."   
i.        Ahmad, hadis 7840:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى عَنْ مَعْمَرٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ الْمِسْكِينُ هَذَا الطَّوَافَ الَّذِي يَطُوفُ عَلَى النَّاسِ تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ إِنَّمَا الْمِسْكِينُ الَّذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ وَيَسْتَحِي أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ وَلَا يُفْطَنُ لَهُ فَيُتَصَدَّقَ عَلَيْهِ       

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abdul A'la dari Ma'mar dari Az Zuhri dari Abu Salamah dari Abu Hurairah,dari Abu Hurairah; Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam Bersabda: "Bukanlah orang yang miskin itu orang yang selalu keliling kepada manusia, ia tertolak untuk mendapat satu atau dua suap, satu kurma atau dua kurma, tetapi yang disebut orang miskin adalah orang yang tidak mendapat sesuatu yang mencukupinya, ia malu untuk meminta-minta kepada manusia, dan tidak ada orang yang tahu sehingga bisa bersedekah kepadanya."      
j.        Ahmad, hadis 8777:
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ أَنْبَأَنَا إِسْمَاعِيلُ يَعْنِي ابْنَ جَعْفَرٍ قَالَ أَخْبَرَنِي شَرِيكٌ يَعْنِي ابْنَ أَبِي نَمِرٍ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِي تَرُدُّهُ التَّمْرَةُ أَوْ التَّمْرَتَانِ أَوْ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ إِنَّ الْمِسْكِينَ الْمُتَعَفِّفُ اقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ { لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Dawud berkata; telah memberitakan kepada kami Isma'il -yaitu Ibnu Ja'far- berkata; telah mengabarkan kepadaku Syarik -yaitu Ibnu Abi Namir dari 'Atho` bin Yasar dari Abu Hurairah berkata; Bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Bukanlah orang miskin itu yang tertolak untuk mendapatkan satu atau dua butir kurma, atau satu atau dua suap makanan, sesungguhnya orang miskin itu adalah orang yang dapat menjaga diri dari meminta-minta, jika kalian mau maka bacalah (ayat): "mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak"."      
k.      Ahmad, hadis 9370
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ الْمِسْكِينُ الطَّوَّافَ عَلَيْكُمْ الَّذِي تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ وَلَكِنَّ الْمِسْكِينَ
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Waki' berkata; telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Muhammad bin Ziyad dari Abu Hurairah berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Bukanlah yang disebut miskin itu orang yang selalu keliling kepada kalian, yang terkadang tertolak untuk mendapatkan satu atau dua suap makanan, tetapi yang disebut miskin adalah orang yang bisa menahan diri dari meminta-minta."
l.        Ahmad, hadis 9510:
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِي تَرُدُّهُ الْأُكْلَةُ وَالْأُكْلَتَانِ وَاللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ أَوْ التَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ شُعْبَةُ شَكَّ فِي اللُّقْمَةِ وَالتَّمْرَةِ وَلَكِنَّ الْمِسْكِينَ الَّذِي لَيْسَ لَهُ غِنًى يُغْنِيهِ وَلَا يَسْأَلُ النَّاسَ إِلْحَافًا أَوْ يَسْتَحِي أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ إِلْحَافًا
             Artinya: Masih Telah menceritakan kepada kami Waki' berkata; telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Muhammad bin Ziyad dari Abu Hurairah berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Bukanlah yang disebut miskin itu seseorang yang tertolak untuk mendapatkan satu atau dua porsi makanan dan satu atau dua suap makanan, atau satu atau dua butir kurma, -Syu'bah masih merasa ragu antara lafadz suap dan kurma, - tetapi yang disebut miskin adalah seseorang yang tidak memiliki sesuatu yang mencukupinya tetapi dia tidak meminta kepada orang lain secara mendesak, -atau beliau menyebutkan; - malu untuk meminta-minta kepada manusia secara mendesak."    


m.    Ahmad, hadis9687:
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ سَمِعْتُ أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَيْسَ الْمِسْكِينُ بِالطَّوَّافِ الَّذِي تَرُدُّهُ التَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ وَالْأُكْلَةُ وَالْأُكْلَتَانِ وَلَكِنَّ الْمِسْكِينَ الَّذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ وَلَا يَسْأَلُ النَّاسَ إِلْحَافًا
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Waki’ berkata; telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Muhammad bin Ziyad dari Abu Hurairah berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bukanlah yang disebut miskin itu seseorang yang keliling (meminta-minta) dan tertolak untuk mendapatkan satu atau dua butir kurma, atau satu atau dua porsi makanan, tetapi yang disebut miskin adalah seseorang yang tidak mendapatkan sesuatu yang menjadikannya berkecukupan, serta tidak meminta-minta kepada manusia secara memaksa.”      
n.      Malik, hadis 1440:
و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ الْمِسْكِينُ بِهَذَا الطَّوَّافِ الَّذِي يَطُوفُ عَلَى النَّاسِ فَتَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ قَالُوا فَمَا الْمِسْكِينُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الَّذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ وَلَا يَفْطُنُ النَّاسُ لَهُ فَيُتَصَدَّقَ عَلَيْهِ وَلَا يَقُومُ فَيَسْأَلَ النَّاسَ

Artinya: Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Abu Az Zinad dari Al A'raj dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Bukanlah orang miskin itu yang berkeliling mengitari orang-orang lalu dia mendapatkan satu atau dua suapan, sebutir atau dua butir kurma." Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, lalu siapakah orang miskin itu?" Beliau menjawab: "(Yaitu) orang yang tidak mendapatkan kecukupan bagi dirinya, namun orang-orang tidak menyadarinya sehingga memberinya sedekah, dan dia tidak meminta-minta kepada manusia."
o.      Ad Darimi, hadis 1564:
أَخْبَرَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يُحَدِّثُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِي تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ وَالْكِسْرَةُ وَالْكِسْرَتَانِ وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ وَلَكِنْ الْمِسْكِينُ الَّذِي لَيْسَ لَهُ غِنًى يُغْنِيهِ يَسْتَحْيِي أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ إِلْحَافًا أَوْ لَا يَسْأَلُ النَّاسَ إِلْحَافًا       

Artinya:Telah mengabarkan kepada kami Hasyim bin Al Qasim telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Muhammad bin Ziyad ia berkata, saya mendengar Abu Hurairah menceritakan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda: "Orang miskin bukanlah orang yang tertolak untuk mendapatkan satu atau dua suap makanan, sepotong atau dua potong roti, sebutir atau dua butir kurma. Akan tetapi orang miskin adalah orang yang tidak memiliki sesuatu yang mencukupinya dan malu untuk meminta kepada manusia dengan mendesak, atau orang yang tidak meminta kepada manusia dengan mendesak."


B.     Kritik Eiditis

1.     Kajian Linguistik

Untuk bahan analisis makna suatu matan hadis, maka kajian lingusitik sangatlah penting karena membahas standar gramatikal bahasa Arab. Karena hadis berbahasa Arab, maka pemaknaan dari sudut bahasa diharapkan akan menambah pemahaman matan hadis secara benar dan menyeluruh.

Dalam hadis tentang miskin ini, seluruh redaksi hadis yang diriwayatkan para perowi menggunakan lafadz الْمِسْكِينُ dalam menyebut orang miskin. Kata al miskinu memiliki kata dasar sakana yang berarti jadi miskin[11]. Adapun kata miskinun berarti orang miskin yang  memiliki bentuk jama’ masaakin.[12] Sebelum kata al-miskinu seluruh redaksi hadis menggunakan kata laysa, dimana kata itu berarti jangan, tidak, bukan.[13]Sehingga dari kedua kata laysa al miskinu dapat diartikan sebagai bukanlah orang miskin.

Sedangkan pada lafadz selanjutnya bebearapa hadis menggunkan kata يَطُوفُ sedangkan pada redaksi lain menggunakan  تَرُدُّهُ. Kata yadhufu merupakan fi’il mudhori’  berasal dari kata dhofa (طاف) mengelilingi.[14]  Sedangkan kata تَرُدُّهُ  memiliki kata dasar رَدَّ  yang berarti mengembalikan.[15]

Lafadz غِنًى berarti kecukupan yang  memiliki kata dasar غَنِيَ yang berarti kaya, banyak hartanya.[16] Sedangkan lafadz  يُغْنِيهِ  berasal dari kata أَغْنىَ yang berarti mencukupi, memenuhi.

Lafadz يُفْطَنُ merupakan fi’il mudhori’ dari kata dasarnya فَطَنَ  yang berarti mengerti, memahami.[17]Sedangkan lafadz يَتَعَفَّفُ pada redaksi hadis lain berasal dari kata تَعَفَّفَ yang berarti memelihara diri. Dalam konteks ini memilihara diri dari meminta-minta.

Sedangkan lafadz يَسْأَلُونَ  pada sertiap redaksi hadis berasal dari kata  سَأَ لَ- يَسْأَلُ  yang berarti meminta.[18] Sedangkan dalam Kamus al-Azhar kata ini berarti meminta, memohon, mengharap.[19]


2.    Kajian Tematik-Komprehensif

Dalam rangka mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai hadis tentang miskin riwayat Bukhori, perlu adanya pemunculan hadis-hadis lainnya yang dapat dijadikan sebagai bahan penguat ataupun penjelas dari kandungan maknanya.

Berikut ini beberapa hadis yang memiliki tema atau kandungan makna yang dapat dijadikan sebagai penjelas dari hadis tentang miskin. Diantaranya sebagai berikut:

1.    Hadis tentang keutamaan menyantuni orang miskin
BUKHARI , hadis 4934:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ قَزَعَةَ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ ثَوْرِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ أَبِي الْغَيْثِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ السَّاعِي عَلَى الْأَرْمَلَةِ وَالْمِسْكِينِ كَالْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ الْقَائِمِ اللَّيْلَ الصَّائِمِ النَّهَارَ
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Qaza'ah Telah menceritakan kepada kami Malik dari Tsaur bin Zaid dari Abul Ghaits dari Abu Hurairah ia berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Orang yang memberi kecukupan kepada para janda dan orang-orang miskin, maka ia seperti halnya seorang mujahid di jalan Allah atau seorang yang berdiri menunaikan qiyamullail dan berpuasa di siang harinya."
Hadis ini menunjukkan bahwa menyantuni orang miskin dan memenuhi kebutuhan orang miskin adalah suatu perbuatan mulia dan mendapat keutamaan yang sangat besar dari Allah.

2.    Hadis yang menjelaskan ciri-ciri orang miskin
MUSLIM , hadis 1722:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا الْمُغِيرَةُ يَعْنِي الْحِزَامِيَّ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ الْمِسْكِينُ بِهَذَا الطَّوَّافِ الَّذِي يَطُوفُ عَلَى النَّاسِ فَتَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ قَالُوا فَمَا الْمِسْكِينُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الَّذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ وَلَا يُفْطَنُ لَهُ فَيُتَصَدَّقَ عَلَيْهِ وَلَا يَسْأَلُ النَّاسَ شَيْئًا
Artinya : Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah menceritakan kepada kami Al Mughirah Al Hizami dari Abu Zinad dari Al A'raj dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Orang miskin bukanlah mereka yang berkeliling meminta-minta kepada orang banyak, lalu peminta itu diberi sesuap dua suap, atau sebutir dua butir kurma." Para sahabat bertanya, "Kalau begitu, seperti apakah orang yang miskin itu?" Beliau menjawab: "Orang miskin sesungguhnya ialah mereka yang tidak memiliki apa-apa untuk menutupi kebutuhannya, namun keadaannya itu tidak diketahui orang supaya orang bersedekah padanya, dan tidak pula meminta-minta kesana kemari."

Hadis tersebut lebih merinci ciri-ciri orang miskin. Yaitu orang yang tidak memiliki apa-apa untuk memenuhi kebutuhan namun tidak meminta-minta kepada orang lain sehingga keadaannya tidak diketahui orang lain.

3.        Hadis tentang keutamaan sedekah kepada kerabat daripada orang miskin
NASAI, hadis 2535:

أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْأَعَلَى قَالَ حَدَّثَنَا خَالِدٌ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ عَوْنٍ عَنْ حَفْصَةَ عَنْ أُمِّ الرَّائِحِ عَنْ سَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الصَّدَقَةَ عَلَى الْمِسْكِينِ صَدَقَةٌ وَعَلَى ذِي الرَّحِمِ اثْنَتَانِ صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ

Artinya: Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Abdul A'la dia berkata; Telah menceritakan kepada kami Khalid dia berkata; Telah menceritakan kepada kami Ibnu 'Aun dari Hafshah dari Ummu Ar Raaih dari Salman bin 'Amir dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya sedekah kepada orang miskin pahalanya satu sedekah, sedangkan sedekah kepada kerabat pahalanya dua; pahala sedekah dan pahala silaturrahim."

Hadis tersebut memberi gambaran bahwa sedekah kepada orang miskin akan mendapat satu pahala. Sedangkan sedekah kepada kerabat akan mendapat dua pahala sedekah. Sehingga sedekah kepada kerabat lebih diutamakan daripada sedekah kepada orang miskin.

4.    Hadis tentang hak orang miskin menerima zakat
MALIK , hadis 535:

حَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلَّا لِخَمْسَةٍ لِغَازٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا أَوْ لِغَارِمٍ أَوْ لِرَجُلٍ اشْتَرَاهَا بِمَالِهِ أَوْ لِرَجُلٍ لَهُ جَارٌ مِسْكِينٌ فَتُصُدِّقَ عَلَى الْمِسْكِينِ فَأَهْدَى الْمِسْكِينُ لِلْغَنِيِّ
Artinya: Telah menceritakan kepadaku Yahya dari Malik dari Zaid bin Aslam dari 'Atha bin Yasar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Zakat tidak dihalalkan untuk orang kaya kecuali untuk lima golongan; orang yang berperang di jalan Allah, pemungut zakat, orang yang terbelit hutang, orang yang membeli harta zakat dengan hartanya, orang yang mempunyai tetangga yang miskin yang diberi harta zakat, kemudian orang miskin tersebut memberinya hadiah kepada orang kaya tersebut."

Pada hadis tersebut menyebutkan golongan-golongan yang berhak menerima zakat. Salah satu golongan tersebut adalah orang miskin.




3.    Kajian Konfirmatif dengan Al-Qur’an     

 Untuk dapat memahami hadis Nabi tentang orang miskin dengan benar sehingga terhindar dari penyimpangan dan penta’wilan harus dilakukan di bawah arahan al-Qur’an.

Hadis Nabi berfungsi sebagai penjelas teoritis dan implemantasi prkatis dari al-Qur’an.[20] Maka dari itu seharusnya sebuah hadis yang Sahih tidak akan bertentangan dengan apa yang disampaikan al-Qur’an.  Apabila hadis Sahih betentangan dengan al-Qur’an maka terdapat beberapa kemungkinan. Pertama, hadis tersebut dipertanyakan kesahihannya. Kedua,  Pemahaman kita terdapat hadis tidak sesuai. Ketiga, pertentangan terjadi sebatas sebagai dugaan.[21]

Di antara ayat-ayat al-Qur’an yang dikonfirmasi dengan hadis-hadis tentang kemiskinan yaitu al-Baqarah ayat 273:

لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Artinya: Berinfaklah kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat berusaha di bumi; orang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang  baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah) maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.

Ayat di atas merupakan anjuran untuk berinfak kepada orang fakir yang tidak memperlihatkan kesusahannya (kefakirannya). Orang fakir yang kerap disandingkan dengan orang miskin yang berada pada jalan Allah, yaitu orang fakir yang sebenar-benarnya tidak akan meminta-minta secara mendesak kepada orang lain. Orang-orang inilah yang lebih berhak mendapat infak.


Selanjutnya pada surat at-Taubah ayat 60:

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
            Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’alaf, untuk budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

             Ayat di atas secara umum membahas orang-orang yang berhak menerima zakat. Salah satu golongan yang berhak menerima zakat adalah orang miskin. Sedang penjelasan secara rinci mengenai orang miskin seperti apa yang berhak menerima zakat ada pada surat Ad Dzariat ayat 19:
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ

            Artinya: Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.

            Pada surat ad Dzariat ayat 19 tersebut terdapat hak orang miskin yang berhak menerima zakat maupun infak, yaitu orang miskin yang meninta-minta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian. Menurut penulis “orang miskin yang tidak mendapat bagian” ini memiliki arti yang sangat luas, salah satunya adalah memiliki artian bahwa orang miskin tersebut tidak meminta-minta sehingga keberadaaanya tidak diketahui dan pada akhirnya tidak mendapat bagian zakat.


4.      Analisis Realita Historis
a.    Makro
Dalam kehidupan bangsa Arab zaman dahulu sudah banyak orang fakir miskin yang memerlukan bantuan zakat maupun shadaqah. Pada saat itu orang miskin telah memiliki budaya meminta-minta kepada orang lain.  
Sementara itu ada pula Orang miskin yang terikat jihad dijalan Allah, yaitu orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhannya namun tidak meminta-minta secara mendesak kepada orang lain. Maka dengan latar belakang tersebut maka ada kemungkinan hadis Bukhori tersebut muncul untuk membedakan miskin yang layak mendapat shadaqah dan zakat dengan miskin yang tidak berhak mendapatkannya.

b.   Mikro
Hadis tentang orang miskin tersebut muncul sangat erat kaitannya dengan turunnya firman Allah pada surat al-Baqarah ayat 273. Di mana pada ayat tersebut Allah berfirman “Mereka tidak meminta kepada Orang Secara Mendesak”. Lalu Nabi menerangkan beberapa ukuran seseorang dikatakan berkecukupan. Sabda Nabi Saw “Dan ia tidak menemukan kecukupan yang mencukupinya.” Sabda ini berdasar firman Allah, “Kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah.”[22]

5.      Analisis Generalisasi

Secara tekstual hadis Bukhori nomor 1385 tersebut menerangkan ciri-ciri orang miskin yang dilihat dari pendekatan psikologis. Di mana setelah melakukan beberapa kajian-kajian terhadap hadis yang berkaitan, dan kajian konfirmatif terhadap al-Qur’an dapat ditarik beberapa point penting terkait hadis tentang orang miskin ini.

Dalam hadis tentang orang miskin Nabi bersabda bahwa bukanlah disebut orang miskin itu yang berkeliling kepada manusia untuk meminta-minta, akan tetapi orang miskin adalah orang yang kekurangan namun ia malu meminta-minta kepada manusia secara mendesak. Bahkan di hadis lain Nabi bersabda “Sesungguhnya Allah tidak menyukai atas tiga perkara; perkataan yang tidak jelas, menyia-nyiakan harta, dan banyak meminta.”

Namun dalam konteks sosial masa kini orang miskin identik dengan orang yang meminta-minta kepada orang lain dengan memperlihatkan kekurangan yang ia miliki. Hingga saat ini belum ada batasan mutlak di mana seseorang dapat dikatakan sebagai orang miskin.
 Akan tetapi masyarakat memandang keterpenuhan kebutuhan menjadi tolak ukur seseorang dapat dikatakan miskin.

Selain itu banyak pula orang yang tidak miskin namun mengaku miskin agar mendapat hak-hak yang seharusnya diperoleh orang miskin. Atau orang miskin yang masih dapat memenuhi kebutuhan namun tidak berusaha memenuhi kebutuhannya. Hal ini tentunya merupakan problem bagi umat muslim dalam menentukan orang miskin seperti apa yang harus diberikan shadaqah . Padahal dalam hadis tersebut jelas disebutkan bahwa orang miskin bukanlah orang yang meminta-minta secara mendesak.

Dengan pemahaman tersebut, maka hadis ini secara khusus memberi gambaran bahwa sikap malu adalah sikap yang dianjurkan dalam setiap keadaan, termasuk malu untuk meminta-minta kepada orang lain. Selain itu hadis ini memberikan petunjuk bagi orang yang bersedekah yaitu mengutamakan sedekah kepada orang yang menjaga diri daripada meminta-minta.

C.    Kritik Praksis

1.        Hakikat Kemiskinan Menurut al-Qur’an

Kemiskinan secara singkat diartikan sebagai standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.[23] Dengan kata lain kemiskinan dapat berbeda-beda antara satu masyarakat dengan masyarakat lain yang tidak sama standar kehidupan mereka pada umumnya.[24] Kajian tentang hakikat kemiskinan menurut al-Qur’an terkait dengan tiga hal; a. Hubungan antara manusia dan harta benda. b. Pengertian fakir dan miskin. c. Kemiskinan: antara tindakan manusia dan sunnah Allah. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut:

a.         Hubungan antara Manusia dan Harta Benda
Hubungan manusia dan harta benda dijelaskan dalam beberapa ayat al-Qur’an seperti surat al-Maidah ayat 17, Taha ayat 6, al-Baqarah ayat 29, dan lain-lain. Adapun secara umum ayat-ayat tersebut menjelaskan beberapa point yaitu;[25] (1) Manusia memiliki kecenderungan mengumpulkan harta benda. (2) Manusia sangat mencintai harta benda. (3) Manusia cenderung kikir karena sangat mencintai harta benda. (4) Manusia diberikan cobaan dengan harta benda. (5) Bagi orang beriman, harta benda merupakan sarana untuk mensucikan dan mendekatkan diri kepada Allah. (6) Bagi orang kafir dan munafik, harta benda tidak dapat menyelamatkan dari siksa neraka, harta benda merupakan sebab mereka tersesat. (7) Manusia dapat dipalingkan dari ingat kepada Allah oleh harta bendanya.

Selanjutnya menurut al-Qur’an sendiri harta benda adalah sarana yang bersifat netral, bukan menjadi penentu pertanda kemuliaan dan kehinaan pada diri seseorang di hadapan Allah. Sehingga tidak ada hubungan antara kemiskinan dan kehinaan, kemuliaan dan kehinaan manusia bukan disebabkan oleh adanya harta benda yang dimiliki.[26]

Sekalipun tidak ada hubungan antara kemiskinan dengan kehinaan, akan tetapi dalam al-Qur’an tetap memberi anjuran untuk tidak melupakan kehidupan dunia denagn melakukan aktifitas-aktifitas pekerjaan demi memenuhi kebutuhan hidup. Dengan kata lain aktifitas kerja adalah tuntutan keagamaan sekaligus tuntutan sosial. Cara pandang manusia terhadap harta benda akan mempengaruhi penyikapan manusia terhadap proses peraihan dan penggunaan harta benda. [27]


b.        Pengertian Fakir dan Miskin
Kata faqir (bentuk mufrad), fuqara (bentuk jama’)  dan faqr (bentuk masdar) di dalam al-Qur’an tersebar dalam 13 ayat pada 10 surat. Di antaranya surat an-Nisa’, al-Baqarah, Ali Imran, al-Taubah, dan lain-lain. Secara umum dalam al-Qur’an mengartikan kata fakir sebagai orang yang memiliki harta benda tetapi karena sebab tertentu ia terpisah dari harta tersebut, mereka tidak dapat berusaha memenuhi kebutuhan hidup. Kefakiran adalah keadaan tidak tercukupinya kebutuhan hidup karena sebab-sebab tertentu.[28]
           
            Sedangkan kata miskin (bentuk tunggal) dan kata masakin (bentuk jamak) serta maskanah (bentuk masdhar) terdapat dalam 25 ayat dalam 19 surat. Diantaranya terdapat pada surat al-Kahfi, al-Haqqah, Ali Imran, al-Insan, dan lain-lain. Secara umum dalam al-Qur’an menjelaskan bahwa orang miskin adalah orang yang sangat tidak berharta dan tidak berdaya atau lemah potensi dalam mencukupi kebutuhan hidup, mereka sangat perlu menerima perlakuan-perlakuan yang memperkuat jiwa dan kesabaran mereka. Dalam surat al-Balad ayat 16 menjelaskan bahwa orang miskin bukan ditentukan oleh ketiadaan atau kekurangan harta benda yang mereka miliki, akan tetapi lebih ditentukan oleh lemah atau tiada potensi mereka untuk berusaha mencukupi kebutuhan hidup.[29] Sehingga orang fakir dan miskin sama-sama sebagai pihak yang memerlukan bantuan untuk mengentaskan diri dari kepapaan. Akan tetapi orang fakir memiliki potensi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sementara orang miskin tidak memiliki potensi ataupun potensinya sangat rendah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.[30]

c.         Kemiskinan: antara tindakan manusia dan sunnah Allah
Sunnah adalah prinsip genaral pola tidakan Tuhan, atau secara singkat adalah kebiasaanNya yang sering disebut sebagai hukum alam. Jika dikaitkan dengan kemiskinan maka dapat dinyatakan oleh dua hal yaitu adanya tindakan atas dasar kemauan manusia sendiri dalam mengupayakan pemenuhan kebutuhan hidupnya, dan keberadaan sunnah Allah yang merupakan bentuk kausalitas.[31]



2.        Tolak Ukur Kemiskinan dan Sebab-Sebab Kemiskinan 
Tolak ukur kemiskinan ini digunakan untuk melihat golongan orang yang dapat disebut sebagai orang miskin dan golongan orang yang taraf kehidupannya termasuk dalam golongan orang miskin. Tolak ukur kemiskinan ini dapat dilihat dari dua aspek yaitu;[32] (1)  Diukur berdasarkan tingkat pendapatan per waktu kerja (untuk Indonesia digunakan ukuran waktu kerja sebulan). Pada tahun 1976/1977 di Indonesia dibuat batasan orang miskin adalah orang yang berpendapatan sama dengan atau  kurang dari Rp 30.000,- dalam sebulan. (2) Diukur berdasar kebutuhan minimal yang harus dipenuhi sebuah keluarga agar dapat melangsungkan kehidupannya secara sederhana tetapi memadahi sebagai warga masyarakat yang layak. Dalam hal ini mencakup kebutuhan yang terkait dengan biaya sewa rumah, peralatan rumah yang memadai, biaya-biaya untuk kesehatan, biaya pendidikan, biaya untuk sandang dan pangan yang mencukupi dan memadai.

Para ahli ilmu sosial sependapat bahwa sebab utama kemiskinan adalah sitem ekonomi yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan, tetapi kemiskinan itu sendiri bukanlah sesuatu gejala yang terwujud semata-mata hanya karena sistem ekonomi. Dalam kenyataannya, kemiskinan merupakan perwujudan dari hasil interaksi yang melibatkan hampir seluruh aspek yang dimiliki manusia dalam kehidupannya.[33]

Dalam surat Maryam ayat 23-26 setidaknya mengandung penjelasan bahwa sebagian dari sebab-sebab terjadinya kemiskinan dalam kaitannya dengan kondisi manusia itu sendiri adalah kurangnya percaya pada kemampuannya, keengganan mengaktualisasikan potensiyang ada dalam bentuk kerja nyata yang serius, serta keengganan memberikan respek optimal terhadap perputaran waktu kehidupan. Kurangnya kepercayaan terhadap kemampuan sendiri dapat disebabkan oleh adanya keyakinan bahwa kaya atau miskin sudah ditentukan Tuhan. Kepercayaan tersebut bertentangan dengan berbagai ayat yang memperintahkan agar manusia berusaha mengaktualisasikan potensi-potensi yang ia miliki.[34]

Selain itu tingkat pendidikan juga dapat menyebabkan kemiskinan. Tampak terjadi korelasi antara tingkat pendidikan dengan kepercayaan terhadap kemapuan diri sendiri. Juga terdapat hubungan antara kekurangan kepercayaan diri dengan terjadinya kemiskinan.[35]

Sedangkan salah satu sebab kemiskinan yang berkaitan dengan kondisi sosial ialah terkonsentrasinya modal di tangan orang-orang kaya (kolongmerat). Terkonsentrasinya modal di tangan mereka menyebabkan orang-orang fakir tidak memiliki kesempatan untuk mengaktualisasikan potensi-potensi demi meraih prestasi di bidang ekonomi. Memiliki potensi tanpa didukung modal, seseorang tidak dapat mewujudkan kesejahteraan hidupnya secara optimal.[36]

3.        Cara Penanggulangan Kemiskinan
Selama ini pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan hanyalah melalui pendekatan ekonomi. Untuk itu perlu pendekatan lain dalam menanggulangi kemiskinan dengan pemberdayaan lapisan masyarakat miskin dengan beberapa langkah yaitu;[37]

(1) Pemberdayaan masyarakat secara aktif. Ini bertujuan menekan perasaan ketidak berdayaan masyarakat miskin bila berhadapan dengan struktur sosial-politis. Langkah ini dilakukan dengan cara meningkatkan kesadaran kritis atas posisinya dalam struktur sosial-politik di mana orang miskin itu tinggal, sehingga ia tidak mudah akan nasibnya.
(2) Setelah kesadaran kritis atas posisi orang miskin dalam struktur sosial dan politik, maka langkah selanjutnya adalah melalukan reorganisasi dalam rangka meningkatkan produktivitas kerja dan kualitas hidupnya.
(3) Menanamkan rasa kesamaan dan memberi gambaran bahwa kemiskinan bukan merupakan takdir tetapi penjelmaan kontruksi sosial. Nasib orang miskin bukannya tidak dapat diubah, tetapi dapat diubah dengan kekuatan diri sendiri.
(4) Merealisasi perumusan pembangunan dengan melibatkan masyarakat miskin secara penuh. Merealisasikan program pembangunan akan tercapai jika komunikasi politik antara pemegang kekuasaan, kelompok-kelompok strategis, dan masyarakat miskin tidak mengalami distorsi.
(5) Perlu pembangunan sosial dan budaya bagi masyarakat miskin. Selain perubahan struktur yang diperlukan juga perubahan-perubahan nilai-nilai positif kepada lapisan miskin seperti perencanaan hidup, optimisme, perubahan kebiasaan hidup, peningkatan produktivitas kerja dan lain-lain.
(6) Perlu redistribusi infrastruktur pembangunan yang lebih merata. Tanpa dukungan infrastruktur yang memadai orang miskin tetap saja tidak memperoleh akses ekonomi yang akibatnya tidak memiliki akses ke bidang-bidang lainnya.



D.    Kontekstualisasi

Pada realitas sosial masa kini masalah kemiskinan semakin problematis. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, masyarakat miskin mendominasi sebagian besar lapisan masyarakat Indonesia. Semakin banyaknya masyarakat miskin tersebut tentunya tak lepas dari beberapa sebab seperti tingkat pendidikan, tingginya harga kebutuhan pokok, sulitnya mendapat pekerjaan, dan yang paling penting adalah mentalitas masyarakt miskin yang rendah dalamm usaha memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu perlu adanya pendekatan religius melalui hadis Nabi terkait pemaknaan orang miskin ini.

Hadis Bukori tentang miskin tersebut menunjukkan hakekat orang miskin yang sesuai dengan konteks ayat al-Qur’an. Pada hakekatnya orang miskin dan kaya sama-sama diuji oleh Allah dalam bidang harta. Orang kaya diuji dengan kelebihan hartanya, dan orang miskin diuji dengan kekurangannya.

Hadis tersebut juga memberi pelajaran  kepada manusia agar  tidak meminta-minta kepada selain Allah. Kekurangan harta tidak lantas menjadikan seseorang untuk gampang meminta-minta kepada orang lain. Keadaannya itu harus dihadapi dengan kesabaran dengan tetap  ikhtiar dalam usaha memenuhi kebutuhannya. Orang miskin yang diuji dengan kekurangannya tersebut bukan berarti hina dimata Allah. Meski tidak memiliki harta, mereka memiliki mentalitas dan derajad yang tinggi di hadapan Allah. Inilah hakekat orang miskin dilihat dari mentalitasnya bukan dari kepemilikan hartanya.

Sedangkan bagi orang yang kaya yang diberi kelebihan harta, seharusnya memperhatikan golongan orang-orang  yang miskin tetapi tidak meminta-minta tersebut. Karena pada masa kini banyak orang miskin palsu maupun orang miskin yang masih mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengukuran kualitas seseorang bukan dilihat dari kepemilikan yang mereka punya maupun perilaku-perilaku kesehariannya, melainkan bagaimana mentalitas seseorang dalam menjalankan kehidupannya. Orang yang diberi kelebihan harta  harus jeli dalam melihat kenyataan di sekitarnya dan peduli dengan keadaan sekitarnya.

Untuk konteks masyarakat secara umum, hadis ini memberi pelajaran bahwa malu merupakan hal yang penting dalam menentukan kualitas seseorang. Malu di sini berarti malu terhadap perilaku maupun mentalitas jelek yang dimiliki. Dalam menjalankan kehidupan tentunya selalu ada jalan kemudahan dalam setiap kesulitan, gampang menyerah bukanlah solusi, apalagi sampai mengandalkan iba dari orang lain. “Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu mengubah diri mereka sendiri.”
DAFTAR PUSTAKA

Al-Asqalani, Ibnu Hajar. 2009.  Fathul Baari. Jilid 8. Terj Amiruddin. Jakarta:Pustaka Azzam.
Al-Mawardi,  Imam. 2000. Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam Jakarta: Geman Insani.
Askar. S. 2010.  Kamus al- Azhar. Jakarta. Senayan Publishing.
Dewanta, Awan Setya, Nanang Pamuji, dkk., 1995. Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia. Yogyakarta:Aditya Media.  
Gazalba, Sidi. 1985.  Asas Agama Islam. Jakarta. PT. Bulan Bintang.
Hasan , M. Ali.  Zakat dan Infaq. 2006. Jakarta: Kencana.
Ibrahim, Sa’ad. 2007. Kemiskinan dalam Prespektif al-Qur’an. Malang: UIN Malang Press.  
Mas’ud, Muh. Ridwa. 2005. Zakat dan Kemiskinan, Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Umat. Yogya. UII Press.
Mas’udi, Masdar F. 2005. Menggagas Ulang Zakat . Bandung: Mizan.
Munawir, Ahmad Warson.1984. Kamus al-Munawir. Surabaya: Pustaka Progresif.
Qardawi, Yusuf. 1994.  Metode Memahami As-Sunnah Dengan Benar Terj. Saifullah Kamalie. Jakarta: Media Da’wah.
Rahman, Fazlur.  Doktrin Ekonomi Islam. Yogyakarta. Dana Bakti Wakaf.
Saparlan , Parsudi (Ed.),1948 . Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta:Sinar Harapan.
http://kbbi.web.id/miskin diakses pada 29 Maret 2017 pukul 10:00 WIB
https://id.wikipedia.org/wiki/Kemiskinan diakses pada 29 Maret 2017 pukul 10:10 WIB




















[1] http://kbbi.web.id/miskin diakses pada 29 Maret 2017 pukul 10:00 WIB
[2] https://id.wikipedia.org/wiki/Kemiskinan diakses pada 29 Maret 2017 pukul 10:10 WIB



[3] Sidi Gazalba, Asas Agama Islam  (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1985),  hlm. 134.
[4] Muh. Ridwan Mas’ud, Zakat dan Kemiskinan, Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Umat (Yogya: UII Press, 2005), hlm. 55
[5] Fazlur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam (Yogyakarta:Dana Bakti Wakaf), hlm. 295.
[6]  Ibid., hlm. 204.
[7]  Ibid., hlm. 205.
[8]  M. Ali Hasan, Zakat dan Infaq (Jakarta: Kencana, 2006),  hlm. 96.
[9] Imam al-Mawardi,  Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam (Jakarta: Geman Insani, 2000), hlm. 241.
[10] Masdar F. Mas’udi, Menggagas Ulang Zakat (Bandung, Mizan, 2005),  hlm. 115.
[11] S.Askar, Kamus al- Azhar (Jakarta:Senayan Publishing, 2010), hlm. 340
[12] Ibid.
[13] Ibid, hlm. 814.
[14] Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir (Surabaya: Pustaka Progresif, 1984),  hlm. 872
[15] Ibid, hlm. 485.
[16] Ibid, hlm. 1021.
[17]Ibid, hlm. 1063.
[18] Ibid, hlm. 600.
[19] S.Askar, Kamus al- Azhar (Jakarta:Senayan Publishing, 2010), hlm. 313.

[20] Yusuf Qardawi, Metode Memahami As-Sunnah Dengan Benar Terj. Saifullah Kamalie (Jakarta: Penerbit Media Da’wah, 1994), hlm. 148.
[21] Yusuf Qardawi, Metode Memahami As-Sunnah Dengan Benar Terj. Saifullah Kamalie (Jakarta: Penerbit Media Da’wah, 1994), hlm. 149.
[22] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari, terj. Amiruddin,  (Jakarta:Pustaka Azzam, 2009), jld. 8, hlm. 241.
[23] Parsudi Saparlan (Ed.), Kemiskinan di Perkotaan, (Jakarta:Sinar Harapan, 1984), hlm. 11-12.
[24] Sa’ad Ibrahim, Kemiskinan dalam Prespektif al-Qur’an, (Malang:UIN Malang Press, 2007), hlm. 17.
[25] Ibid, hlm. 19-20.
[26] Ibid, hlm. 22.
[27] Ibid, hlm. 28.
[28] Ibid, hlm. 35.
[29] Ibid, hlm. 40.
[30] Ibid, hlm. 46.
[31] Ibid, hlm. 51.
[32] Parsudi Saparlan (Ed.), Kemiskinan di Perkotaan, (Jakarta:Sinar Harapan, 1984), hlm. Xi-xii.
[33] Parsudi Saparlan (Ed.), Kemiskinan di Perkotaan, (Jakarta:Sinar Harapan, 1984), hlm.  xii.
[34] Sa’ad Ibrahim, Kemiskinan dalam Prespektif al-Qur’an, (Malang:UIN Malang Press, 2007), hlm. 63.
[35] Ibid
[36] Ibid, hlm. 82.
[37] Awan Setya Dewanta, Nanang Pamuji, dkk., Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia, (Yogyakarta:Aditya Media, 1995), hlm. 34-35. 

0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.