BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Seperti
halnya al-Qur’an yang sarat akan berbagai hukum maupun ajaran yang dapat
dirujuk dalam berbagai aspek kehidupan, hadis pun memiliki berbagai ajaran
maupun pedoman yang dapat dirujuk bagi manusia dalam menjalankan kehidupannya,
baik dalam menjalankan hidupnya sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial.
Dalam penelitian ini penulis akan berfokus pada masalah sosial yang dibahas
pada hadis-hadis. Masalah sosial tersebut adalah kemiskinan.
Pada
zaman yang semakin berkembang ini, kemiskinan seolah menjadi masalah yang tak
kunjung terselesaikan. Seperti kata pepatah “Yang kaya semakin kaya, yang
miskin semakin miskin.” Sejak masa lampau yang tua sekalipun, hingga masa
terkini, di belahan dunia manapun, kemiskinan tak luput dari sebuah pembahasan
yang problematis.
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia kata “miskin” berarti; “tidak berharta; serba kekurangan (berpenghasilan sangat
rendah)”. Sedangkan kata “kemiskinan” berarti; “hal
miskin; keadaan miskin; situasi penduduk atau sebagian penduduk yang hanya
dapat memenuhi makanan, pakaian, dan perumahan yang sangat diperlukan untuk
mempertahankan tingkat kehidupan yang minimum.[1]
Sedangkan menurut Wikipedia[2]
“kemiskinan” adalah keadaan di mana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi
kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan
kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan
dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan dipahami
dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup:
·
Gambaran
kekurangan materi, yang biasanya
mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini
dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
·
Gambaran
tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam
masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena
hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada
bidang ekonomi. Gambaran kemiskinan jenis ini lebih mudah diatasi daripada dua
gambaran yang lainnya.
·
Gambaran
tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna
"memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia. Gambaran tentang ini dapat diatasi dengan mencari
objek penghasilan di luar profesi secara halal. Perkecualian apabila institusi
tempatnya bekerja melarang.
Dalam bahasa Arab sendiri kata miskin yang berasal dari kata sakana yang berarti diam atau tenang, sedang
kata masakin adalah bentuk jama’ dari miskin yang menurut bahasa diambil dari kata sakana yang artinya menjadi diam atau tidak
bergerak karena lemah fisik atau sikap yang sabar dan qana’ah.[3]
Menurut UU Nomor 13 Tahun 2011, tentang Penanganan Fakir-Miskin,
pada Pasal 1 (1) menyebutkan bahwa fakir miskin adalah orang yang sama sekali
tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata
pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang
layak bagi kehidupan dirinya dan keluarganya.
Sementara itu para tokoh agama berbeda-beda dalam
mendefinisikan kata “miskin” ini. Menurut Yasin Ibrahim sebagaimana yang
diungkapkan oleh M. Ridlwan Mas’ud dalam bukunya Zakat dan Kemiskinan, Instrument
Pemberdayaan Umat, mengartikan kata “miskin” yaitu orang yang tidak bisa
memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka kebalikan dari orang-orang kaya yang
mampu memenuhi apa yang diperlukannya.[4]
Ibnu Abbas mengartikan kata al-masakin sebagai orang yang keluar rumah untuk
meminta-minta.[5] Ibnu Zaid dalam menafsirkan al-masakin diartikan orang-orang yang
meminta-minta pada orang lain. Sedangkan menurut Qatadah al-masakin adalah orang yang
sehat (orang yang tidak mempunyai penyakit) yang membutuhkan.[6]
Sedangkan Umar bin Khattab menyatakan “bukanlah orang miskin yang tidak
mempunyai harta sama sekali, tetapi orang yang buruk raganya”.[7]
Imam Abu Hanifah memberi pengertian miskin adalah mereka yang benar-benar
miskin dan tidak memiliki apa-apa untuk memenuhi kebutuhan hidup.[8]
Dengan kata lain orang miskin lebih parah kondisinya daripada fakir.[9]
Sementara itu Masdar F. Mas’udi mengatakan bahwa miskin menunjuk pada orang
yang secara ekonomi lebih beruntung daripada si fakir. Tetapi secara
keseluruhan ia tergolong orang-orang yang masih tetap kerepotan dalam memenuhi
kebutuhan hidup kesehariannya.[10]
Dari berbagai definisi “miskin” tersebut penulis
berasumsi bahwa pemaknaan kata “miskin” harus ditinjau kembali. Hal ini
dikarenakan definisi “miskin” yang begitu banyak dari para ulama tersebut harus
dikontekskan dengan kondisi sosial kemasyarakatan pada masa kini. Permasalahan
global yang satu ini tidak hanya dapat dipecahkan dengan asumsi-asumsi yang
berdasar teori, namun perlu adanya praktek-praktek langsung untuk melihat
realita kemiskinan di tengah masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia.
Seperti contoh yang dapat diamati pada realitas
masyarakat, akhir-akhir ini banyak ditemukan para pengemis yang pekerjaan
utamanya meminta-minta di jalanan maupun tempat-tempat umum namun ternyata
mereka memiliki rumah mewah, kendaraan pribadi, dan aset-aset berharga lainnya.
Para peminta-minta ini kerap menggunakan kekurangan fisik pada tubuhnya sebagai
alasan meminta belas kasihan orang lain dengan mengatasnamakan kemiskinan dan
ketidakberdayaan.
Terdapat pula fenomena di mana banyak sekali
program-program pemerintah terkait penanggulangan kemiskinan bagi rakyat miskin
disalahgunakan berbagai pihak-pihak yang berkepentingan. Pihak-pihak ini tidak
sepenuhnya dapat dikatkan sebagai orang miskin namun menggunakan
fasilitas-fasilitas yang diperuntukkan bagi orang miskin, seperti Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) , Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan
Operasional Kesehatan (BOK), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
Mandiri, dan program-program lainnya.
Lebih jauh lagi jika ditelisik dari masalah keagamaan,
pemahaman “miskin” ini juga menjadi acuan dalam memberikan shadaqah, zakat
maupun amal-amal lain kepada yang berhak menerima. Terdapat delapan golongan
orang-orang yang berhak menerima zakat, salah satunya adalah orang miskin.
Sementara itu dalam praktek di lapangan masih banyak masyarakat miskin yang
tidak menerima haknya, maupun masyarakat tidak miskin yang menerima zakat yang
bukan haknya. Oleh karenanya pemahaman “orang miskin” dalam pandangan agama
maupun realitas sosial sangatlah penting.
Terdapat beberapa hadis yang membahas orang miskin, salah
satunya adalah hadis yang riwayat Bukhari nomor
1385:
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ
بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِي يَطُوفُ
عَلَى النَّاسِ تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ
وَلَكِنْ الْمِسْكِينُ الَّذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ وَلَا يُفْطَنُ بِهِ فَيُتَصَدَّقُ
عَلَيْهِ وَلَا يَقُومُ فَيَسْأَلُ النَّاسَ
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Isma'il bin 'Abdullah
berkata, telah menceritakan kepada saya Malik dari Abu Az Zanad dari Al A'raj
dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam
bersabda: "Bukanlah disebut miskin orang berkeliling meminta-minta kepada
manusia dan bisa diatasi dengan satu atau dua suap makanan atau satu dua butir
kurma. Akan tetapi yang disebut miskin adalah orang yang tidak mendapatkan
seseorang yang bisa memenuhi kecukupannya, atau yang kondisinya tidak diketahui
orang sehingga siapa tahu ada yang memberinya shedaqah atau orang yang tidak
meminta-minta kepada manusia".
Dari latar belakang masalah yang telah penulis kemukakan diatas,
penulis akan meneliti lebih lanjut pemaknaan “miskin” berdasar prespektif hadis
Bukhari nomor 1385 tersebut dengan mengkorelasikan realitas sosial masyarakat
masa kini dalam ranah kajian ma’ani hadis.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kritik Historis
1.
Takhrij Hadis
Dalam proses pencarian hadis penulis menggunkan Lidwa Pustaka
i-software untuk mencari hadis-hadis setema dengan hadis pokok yang
diteliti. Selanjutnya ditemukan 15
hadis penguat yang menjelaskan hadis Bukhori nomor 1385 tersebut. Sahih Bukhari
1 hadis, Sahih Muslim 1 hadis, Sunan Abu Dawud 1 hadis, Sunan Nasa’i 3 hadis,
Sunan Darimi 1 hadis, Sunan Ahmad 7 hadis, Sunan Malik 1 hadis.
Adapun bunyi teks hadis yang berkaitan dengan orang miskin akan
adalah sebagai berikut:
a.
Bukhari,
hadis 4175:
حَدَّثَنَا
ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ قَالَ حَدَّثَنِي
شَرِيكُ بْنُ أَبِي نَمِرٍ أَنَّ عَطَاءَ بْنَ يَسَارٍ وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ
أَبِي عَمْرَةَ الْأَنْصَارِيَّ قَالَا سَمِعْنَا أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ يَقُولُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ
الْمِسْكِينُ الَّذِي تَرُدُّهُ التَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ وَلَا اللُّقْمَةُ
وَلَا اللُّقْمَتَانِ إِنَّمَا الْمِسْكِينُ الَّذِي يَتَعَفَّفُ وَاقْرَءُوا إِنْ
شِئْتُمْ يَعْنِي قَوْلَهُ { لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا
{
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Maryam Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far dia berkata; Telah menceritakan
kepadaku Syarik bin Abu Namir bahwa Atha bin Yasar dan Abdurrahman bin Abu
'Amrah Al Anshari keduanya berkata; Kami mendengar Abu Hurairah radliallahu
'anhu berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Orang yang
miskin bukanlah orang yang merasa telah cukup dengan satu atau dua buah kurma,
atau sesuap atau dua suap makanan. Tetapi orang miskin adalah orang yang tidak
meminta-minta dan menunjukan kemiskinannya kepada orang lain. Jika kalian mau,
bacalah firman Allah: "Mereka tidak meminta-minta kepada orang lain."
(Al Baqarah: 273).
b.
Muslim,
hadis 1722:
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا الْمُغِيرَةُ يَعْنِي الْحِزَامِيَّ عَنْ
أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ الْمِسْكِينُ بِهَذَا الطَّوَّافِ
الَّذِي يَطُوفُ عَلَى النَّاسِ فَتَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ
وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ قَالُوا فَمَا الْمِسْكِينُ يَا رَسُولَ اللَّهِ
قَالَ الَّذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ وَلَا يُفْطَنُ لَهُ فَيُتَصَدَّقَ
عَلَيْهِ وَلَا يَسْأَلُ النَّاسَ شَيْئً
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah
menceritakan kepada kami Al Mughirah Al Hizami dari Abu Zinad dari Al A'raj
dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Orang miskin bukanlah mereka yang berkeliling meminta-minta kepada orang
banyak, lalu peminta itu diberi sesuap dua suap, atau sebutir dua butir
kurma." Para sahabat bertanya, "Kalau begitu, seperti apakah orang
yang miskin itu?" Beliau menjawab: "Orang miskin sesungguhnya ialah
mereka yang tidak memiliki apa-apa untuk menutupi kebutuhannya, namun
keadaannya itu tidak diketahui orang supaya orang bersedekah padanya, dan tidak
pula meminta-minta ke sana ke mari."
c.
Abu
Dawud, hadis 1390:
حَدَّثَنَا
عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالَا حَدَّثَنَا جَرِيرٌ
عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِي تَرُدُّهُ
التَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ وَالْأَكْلَةُ وَالْأَكْلَتَانِ وَلَكِنَّ
الْمِسْكِينَ الَّذِي لَا يَسْأَلُ النَّاسَ شَيْئًا وَلَا يَفْطِنُونَ بِهِ
فَيُعْطُونَهُ حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ وَعُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ وَأَبُو
كَامِلٍ الْمَعْنَى قَالُوا حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ زِيَادٍ حَدَّثَنَا
مَعْمَرٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَهُ قَالَ
وَلَكِنَّ الْمِسْكِينَ الْمُتَعَفِّفُ زَادَ مُسَدَّدٌ فِي حَدِيثِهِ لَيْسَ لَهُ
مَا يَسْتَغْنِي بِهِ الَّذِي لَا يَسْأَلُ وَلَا يُعْلَمُ بِحَاجَتِهِ
فَيُتَصَدَّقَ عَلَيْهِ فَذَاكَ الْمَحْرُومُ وَلَمْ يَذْكُرْ مُسَدَّدٌ
الْمُتَعَفِّفُ الَّذِي لَا يَسْأَلُ قَالَ أَبُو دَاوُد رَوَى هَذَا الْحَدِيثَ
مُحَمَّدُ بْنُ ثَوْرٍ وَعَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ مَعْمَرٍ وَجَعَلَا الْمَحْرُومَ
مِنْ كَلَامِ الزُّهْرِيِّ وَهُوَ أَصَحُّ
Artinya:Telah menceritakan kepada Kami Utsman bin Abu Syaibah dan
Zuhair bin Harb, mereka berkata; telah menceritakan kepada Kami Jarir dari Al
A'masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "Orang miskin bukanlah orang yang kembali
karena diberi satu atau dua butir kurma, serta satu atau dua kali makan, akan
tetapi orang miskin adalah orang yang tidak meminta sesuatu kepada orang-orang
dan mereka tidak memahaminya, sehingga mereka dapat memberi kepadanya."
Telah menceritakan kepada Kami Musaddad serta 'Ubaidullah bin Umar dan Abu
Kamil secara makna, mereka mengatakan; telah menceritakan kepada Kami Abdul
Wahid bin Ziyad, telah menceritakan kepada Kami Ma'mar dari Az Zuhri dari Abu
Salahamah dari Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah shallAllahu wa'alaihi wa
sallam bersabda seperti itu: "Akan tetapi orang yang miskin adalah orang
yang menjaga kehormatan dirinya…" Musaddad dalam haditsnya menambahkan; ia
tidak memiliki sesuatu yang mencukupinya, orang yang tidak meminta-minta dan
tidak diketahui kebutuhannya, sehingga dapat diberi sedekah. Maka itulah orang
yang terhalang mendapatkan pemberian. Musaddad tidak menyebutkan; orang yang
menjaga kehormatan dirinya yang tidak meminta-minta. Abu Daud berkata; Muhammad
bin Tsaur serta Abdurrazzaq telah meriwayatkan dari Ma'mar, dan mereka
menjadikan kata; orang yang terhalang mendapatkan pemberian merupakan perkataan
Az Zuhri, dan hal itu yang paling benar.
d.
Nasa’i
, hadis 2524:
أَخْبَرَنَا
عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ قَالَ أَنْبَأَنَا إِسْمَعِيلُ قَالَ حَدَّثَنَا شَرِيكٌ عَنْ
عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِي تَرُدُّهُ التَّمْرَةُ
وَالتَّمْرَتَانِ وَاللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ إِنَّ الْمِسْكِينَ
الْمُتَعَفِّفُ اقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ { لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا
{
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami 'Ali bin Hujr dia berkata;
Telah memberitakan kepada kami Isma'il dia berkata; Telah menceritakan kepada
kami Syarik dari 'Atha bin Yasar dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "Bukanlah orang miskin itu yang datang untuk
mendapatkan satu atau dua butir kurma, atau satu atau dua suap makanan, sesungguhnya
orang miskin itu adalah orang yang dapat menjaga diri dari meminta-minta, jika
kalian mau maka bacalah (ayat): " mereka tidak meminta kepada orang secara
mendesak."
e.
Nasa’i,
hadis 2525:
أَخْبَرَنَا
قُتَيْبَةُ عَنْ مَالِكٍ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ
الْمِسْكِينُ بِهَذَا الطَّوَّافِ الَّذِي يَطُوفُ عَلَى النَّاسِ تَرُدُّهُ
اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ قَالُوا فَمَا الْمِسْكِينُ
قَالُوا الَّذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ وَلَا يُفْطَنُ لَهُ فَيُتَصَدَّقَ
عَلَيْهِ وَلَا يَقُومُ فَيَسْأَلَ النَّاسَ
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah dari Malik dari Abu
Az Zinad dari Al A'raj dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Bukanlah seorang yang miskin itu yang mengelilingi
manusia lalu meminta-minta dan dia mendapatkan sepotong atau dua potong roti,
sebutir atau dua butir korma." Para shahabat bertanya: 'ya Rasulullah lalu
siapakah yang disebut miskin itu? Beliau bersabda: "Dia adalah orang yang
tidak mendapatkan kekayaan untuk mencukupi dirinya dan orang-orang tidak
memahami kebutuhannya lalu memberinya sedekah, dan dia tidak bisa mandiri
sehingga meminta-minta manusia."
f.
Nasa’i,
hadis 2526:
أَخْبَرَنَا
نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى قَالَ حَدَّثَنَا
مَعْمَرٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ الْمِسْكِينُ
الَّذِي تَرُدُّهُ الْأُكْلَةُ وَالْأُكْلَتَانِ وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ
قَالُوا فَمَا الْمِسْكِينُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الَّذِي لَا يَجِدُ غِنًى
وَلَا يَعْلَمُ النَّاسُ حَاجَتَهُ فَيُتَصَدَّقَ عَلَيْ
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami Nashr bin ‘Ali dia berkata;
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul A’la dia berkata; Telah menceritakan
kepada kami Ma’mar dari Az Zuhri dari Abu Salamah dari Abu Hurairah bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bukanlah orang miskin itu
yang datang untuk mendapatkan satu atau dua suap makanan atau satu atau dua
butir kurma”. Para sahabat bertanya; ‘Lalu bagaimanakah orang yang miskin itu
ya Rasulullah? Beliau menjawab: “Yaitu orang yang tidak mempunyai kecukupan
untuk hidupnya, dan orang lain tidak mengetahui kebutuhannya hingga berhak
mendapat sedekah.”
g.
Ahmad
, hadis 4039:
حَدَّثَنَا
عَبْد اللَّهِ قَالَ قَرَأْتُ عَلَى أَبِي حَدَّثَكَ عَمْرُو بْنُ مُجَمِّعٍ
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ الْهَجَرِيُّ عَنْ أَبِي الْأَحْوَصِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِنَّ الْمِسْكِينَ لَيْسَ بِالطَّوَّافِ الَّذِي تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ
وَاللُّقْمَتَانِ أَوْ التَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ
فَمَنْ الْمِسْكِينُ قَالَ الَّذِي لَا يَسْأَلُ النَّاسَ وَلَا يَجِدُ مَا
يُغْنِيهِ وَلَا يُفْطَنُ لَهُ فَيُتَصَدَّقَ عَلَيْ
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abdullah ia berkata; Aku
membacakan kepada ayahku Telah menceritakan kepadamu Amru bin Mujammi' telah
menceritakan kepada kami Ibrahim Al Hajari dari Abu Al Ahwash dari Abdullah bin
Mas'ud ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Orang miskin bukanlah orang yang berkeliling (meminta-minta) yang ditolak
karena satu dan dua suap atau satu dan dua kurma." Aku bertanya; Wahai Rasulullah,
lalu siapakah orang miskin itu? Beliau menjawab: "Ia adalah orang yang
tidak meminta-minta kepada manusia namun ia tidak mendapati apa yang
dibutuhkannya, dan tidak menampakkan (kemiskinannya) sehingga diberi
sedekah."
h.
Ahmad,
hadis 7275:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ الْأَعْلَى عَنْ مَعْمَرٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِي تَرُدُّهُ التَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ
وَالْأُكْلَةُ وَالْأُكْلَتَانِ قَالُوا فَمَنْ الْمِسْكِينُ يَا رَسُولَ اللَّهِ
قَالَ الَّذِي لَا يَجِدُ غِنًى وَلَا يَعْلَمُ النَّاسُ بِحَاجَتِهِ
فَيُتَصَدَّقَ عَلَيْهِ قَالَ الزُّهْرِيُّ وَذَلِكَ هُوَ الْمَحْرُومُ حَدَّثَنَا
عَبْدُ الْأَعْلَى عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ هَذَا
الْحَدِيثِ غَيْرَ أَنَّهُ قَالَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَمَنْ الْمِسْكِينُ
قَالَ الَّذِي لَيْسَ لَهُ غِنًى وَلَا يَسْأَلُ النَّاسَ إِلْحَافًا
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abdul A'la dari Ma'mar dari
Az Zuhri dari Abu Salamah dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa
Salam bersabda: "Bukanlah disebut miskin seseorang yang ditolak (gagal)
untuk mendapatkan satu atau dua butir kurma, atau satu atau dua porsi
makanan." Para sahabat bertanya; "lalu siapakah yang disebut miskin
wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Yaitu orang yang tidak mendapat
kecukupan, tetapi orang-orang tidak tahu dengan kebutuhannya sehingga mereka
bisa berinfaq kepadanya." Az Zuhri berkata: "mereka itulah
orang-orang yang tidak mendapatkan rizki." Telah menceritakan kepada kami
Abdul A'la dari Ma'mar dari Muhammad bin Ziyad dari Abu Hurairah dari Nabi
Shallallahu 'alaihi wa Salam, sebagaimana dalam hadits tersebut diatas, akan
tetapi Abu Hurairah menyebutkan; para sahabat bertanya; "Wahai Rasulullah,
lalu siapakah yang disebut miskin?" Beliau menjawab: "Orang yang
tidak mendapat kecukupan, dan tidak meminta-minta kepada manusia dengan
mendesak."
i.
Ahmad,
hadis 7840:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ الْأَعْلَى عَنْ مَعْمَرٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ الْمِسْكِينُ هَذَا الطَّوَافَ الَّذِي يَطُوفُ
عَلَى النَّاسِ تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ وَالتَّمْرَةُ
وَالتَّمْرَتَانِ إِنَّمَا الْمِسْكِينُ الَّذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ
وَيَسْتَحِي أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ وَلَا يُفْطَنُ لَهُ فَيُتَصَدَّقَ عَلَيْهِ
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abdul A'la dari Ma'mar dari
Az Zuhri dari Abu Salamah dari Abu Hurairah,dari Abu Hurairah; Dan Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam Bersabda: "Bukanlah orang yang miskin itu
orang yang selalu keliling kepada manusia, ia tertolak untuk mendapat satu atau
dua suap, satu kurma atau dua kurma, tetapi yang disebut orang miskin adalah
orang yang tidak mendapat sesuatu yang mencukupinya, ia malu untuk
meminta-minta kepada manusia, dan tidak ada orang yang tahu sehingga bisa
bersedekah kepadanya."
j.
Ahmad,
hadis 8777:
حَدَّثَنَا
سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ أَنْبَأَنَا إِسْمَاعِيلُ يَعْنِي ابْنَ جَعْفَرٍ قَالَ
أَخْبَرَنِي شَرِيكٌ يَعْنِي ابْنَ أَبِي نَمِرٍ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِي تَرُدُّهُ التَّمْرَةُ أَوْ التَّمْرَتَانِ أَوْ
اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ إِنَّ الْمِسْكِينَ الْمُتَعَفِّفُ اقْرَءُوا إِنْ
شِئْتُمْ { لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Dawud berkata;
telah memberitakan kepada kami Isma'il -yaitu Ibnu Ja'far- berkata; telah
mengabarkan kepadaku Syarik -yaitu Ibnu Abi Namir dari 'Atho` bin Yasar dari
Abu Hurairah berkata; Bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Bukanlah orang miskin itu yang tertolak untuk mendapatkan satu atau dua
butir kurma, atau satu atau dua suap makanan, sesungguhnya orang miskin itu
adalah orang yang dapat menjaga diri dari meminta-minta, jika kalian mau maka
bacalah (ayat): "mereka tidak meminta kepada orang secara
mendesak"."
k.
Ahmad,
hadis 9370
حَدَّثَنَا
وَكِيعٌ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَيْسَ الْمِسْكِينُ الطَّوَّافَ عَلَيْكُمْ الَّذِي تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ
وَاللُّقْمَتَانِ وَلَكِنَّ الْمِسْكِينَ
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Waki' berkata; telah
menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Muhammad bin Ziyad dari Abu
Hurairah berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Bukanlah
yang disebut miskin itu orang yang selalu keliling kepada kalian, yang
terkadang tertolak untuk mendapatkan satu atau dua suap makanan, tetapi yang
disebut miskin adalah orang yang bisa menahan diri dari meminta-minta."
l.
Ahmad,
hadis 9510:
حَدَّثَنَا
وَكِيعٌ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِي
تَرُدُّهُ الْأُكْلَةُ وَالْأُكْلَتَانِ وَاللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ أَوْ
التَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ شُعْبَةُ شَكَّ فِي اللُّقْمَةِ وَالتَّمْرَةِ
وَلَكِنَّ الْمِسْكِينَ الَّذِي لَيْسَ لَهُ غِنًى يُغْنِيهِ وَلَا يَسْأَلُ
النَّاسَ إِلْحَافًا أَوْ يَسْتَحِي أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ إِلْحَافًا
Artinya:
Masih Telah menceritakan kepada kami Waki' berkata; telah menceritakan kepada
kami Hammad bin Salamah dari Muhammad bin Ziyad dari Abu Hurairah berkata; Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Bukanlah yang disebut miskin itu
seseorang yang tertolak untuk mendapatkan satu atau dua porsi makanan dan satu atau
dua suap makanan, atau satu atau dua butir kurma, -Syu'bah masih merasa ragu
antara lafadz suap dan kurma, - tetapi yang disebut miskin adalah seseorang
yang tidak memiliki sesuatu yang mencukupinya tetapi dia tidak meminta kepada
orang lain secara mendesak, -atau beliau menyebutkan; - malu untuk
meminta-minta kepada manusia secara mendesak."
m.
Ahmad,
hadis9687:
حَدَّثَنَا
وَكِيعٌ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ سَمِعْتُ أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ لَيْسَ الْمِسْكِينُ بِالطَّوَّافِ الَّذِي تَرُدُّهُ
التَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ وَالْأُكْلَةُ وَالْأُكْلَتَانِ وَلَكِنَّ
الْمِسْكِينَ الَّذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ وَلَا يَسْأَلُ النَّاسَ
إِلْحَافًا
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Waki’ berkata; telah
menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Muhammad bin Ziyad dari Abu
Hurairah berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bukanlah yang
disebut miskin itu seseorang yang keliling (meminta-minta) dan tertolak untuk
mendapatkan satu atau dua butir kurma, atau satu atau dua porsi makanan, tetapi
yang disebut miskin adalah seseorang yang tidak mendapatkan sesuatu yang
menjadikannya berkecukupan, serta tidak meminta-minta kepada manusia secara memaksa.”
n.
Malik,
hadis 1440:
و
حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ
الْمِسْكِينُ بِهَذَا الطَّوَّافِ الَّذِي يَطُوفُ عَلَى النَّاسِ فَتَرُدُّهُ
اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ قَالُوا فَمَا
الْمِسْكِينُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الَّذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ وَلَا
يَفْطُنُ النَّاسُ لَهُ فَيُتَصَدَّقَ عَلَيْهِ وَلَا يَقُومُ فَيَسْأَلَ النَّاسَ
Artinya: Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Abu Az Zinad
dari Al A'raj dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Bukanlah orang miskin itu yang berkeliling mengitari
orang-orang lalu dia mendapatkan satu atau dua suapan, sebutir atau dua butir
kurma." Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, lalu siapakah orang
miskin itu?" Beliau menjawab: "(Yaitu) orang yang tidak mendapatkan
kecukupan bagi dirinya, namun orang-orang tidak menyadarinya sehingga
memberinya sedekah, dan dia tidak meminta-minta kepada manusia."
o.
Ad
Darimi, hadis 1564:
أَخْبَرَنَا
هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ قَالَ
سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يُحَدِّثُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِي تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ
وَاللُّقْمَتَانِ وَالْكِسْرَةُ وَالْكِسْرَتَانِ وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ
وَلَكِنْ الْمِسْكِينُ الَّذِي لَيْسَ لَهُ غِنًى يُغْنِيهِ يَسْتَحْيِي أَنْ
يَسْأَلَ النَّاسَ إِلْحَافًا أَوْ لَا يَسْأَلُ النَّاسَ إِلْحَافًا
Artinya:Telah mengabarkan kepada kami Hasyim bin Al Qasim telah
menceritakan kepada kami Syu'bah dari Muhammad bin Ziyad ia berkata, saya
mendengar Abu Hurairah menceritakan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,
bahwa beliau bersabda: "Orang miskin bukanlah orang yang tertolak untuk
mendapatkan satu atau dua suap makanan, sepotong atau dua potong roti, sebutir
atau dua butir kurma. Akan tetapi orang miskin adalah orang yang tidak memiliki
sesuatu yang mencukupinya dan malu untuk meminta kepada manusia dengan
mendesak, atau orang yang tidak meminta kepada manusia dengan mendesak."
B.
Kritik Eiditis
1.
Kajian Linguistik
Untuk bahan analisis makna suatu matan hadis, maka kajian
lingusitik sangatlah penting karena membahas standar gramatikal bahasa Arab.
Karena hadis berbahasa Arab, maka pemaknaan dari sudut bahasa diharapkan akan
menambah pemahaman matan hadis secara benar dan menyeluruh.
Dalam hadis tentang miskin ini, seluruh redaksi hadis yang
diriwayatkan para perowi menggunakan lafadz الْمِسْكِينُ dalam menyebut
orang miskin. Kata al miskinu memiliki kata dasar sakana yang
berarti jadi miskin[11].
Adapun kata miskinun berarti orang miskin yang memiliki bentuk jama’ masaakin.[12]
Sebelum kata al-miskinu seluruh redaksi hadis menggunakan kata laysa,
dimana kata itu berarti jangan, tidak, bukan.[13]Sehingga
dari kedua kata laysa al miskinu dapat diartikan sebagai bukanlah
orang miskin.
Sedangkan pada lafadz selanjutnya bebearapa hadis menggunkan kata يَطُوفُ
sedangkan pada redaksi lain menggunakan تَرُدُّهُ. Kata yadhufu merupakan fi’il mudhori’ berasal dari kata dhofa (طاف) mengelilingi.[14]
Sedangkan kata تَرُدُّهُ memiliki kata dasar رَدَّ
yang berarti mengembalikan.[15]
Lafadz غِنًى berarti kecukupan
yang memiliki
kata dasar غَنِيَ yang berarti kaya, banyak hartanya.[16] Sedangkan
lafadz يُغْنِيهِ berasal dari kata أَغْنىَ yang berarti mencukupi, memenuhi.
Lafadz يُفْطَنُ merupakan fi’il
mudhori’ dari kata dasarnya فَطَنَ yang
berarti mengerti, memahami.[17]Sedangkan
lafadz يَتَعَفَّفُ pada redaksi hadis lain berasal dari kata تَعَفَّفَ yang berarti memelihara diri. Dalam
konteks ini memilihara diri dari meminta-minta.
Sedangkan lafadz يَسْأَلُونَ
pada sertiap redaksi hadis berasal dari kata سَأَ لَ- يَسْأَلُ yang berarti meminta.[18]
Sedangkan dalam Kamus al-Azhar kata ini berarti meminta, memohon,
mengharap.[19]
2.
Kajian Tematik-Komprehensif
Dalam rangka mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai
hadis tentang miskin riwayat Bukhori, perlu adanya pemunculan hadis-hadis
lainnya yang dapat dijadikan sebagai bahan penguat ataupun penjelas dari
kandungan maknanya.
Berikut ini beberapa hadis yang memiliki tema atau kandungan makna
yang dapat dijadikan sebagai penjelas dari hadis tentang miskin. Diantaranya
sebagai berikut:
1.
Hadis
tentang keutamaan menyantuni orang miskin
BUKHARI
, hadis 4934:
حَدَّثَنَا يَحْيَى
بْنُ قَزَعَةَ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ ثَوْرِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ أَبِي الْغَيْثِ عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ السَّاعِي عَلَى الْأَرْمَلَةِ وَالْمِسْكِينِ كَالْمُجَاهِدِ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ الْقَائِمِ اللَّيْلَ الصَّائِمِ النَّهَارَ
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Qaza'ah Telah
menceritakan kepada kami Malik dari Tsaur bin Zaid dari Abul Ghaits dari Abu
Hurairah ia berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Orang
yang memberi kecukupan kepada para janda dan orang-orang miskin, maka ia
seperti halnya seorang mujahid di jalan Allah atau seorang yang berdiri
menunaikan qiyamullail dan berpuasa di siang harinya."
Hadis
ini menunjukkan bahwa menyantuni orang miskin dan memenuhi kebutuhan orang
miskin adalah suatu perbuatan mulia dan mendapat keutamaan yang sangat besar
dari Allah.
2.
Hadis
yang menjelaskan ciri-ciri orang miskin
MUSLIM
, hadis 1722:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ
بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا الْمُغِيرَةُ يَعْنِي الْحِزَامِيَّ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ
عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ الْمِسْكِينُ بِهَذَا الطَّوَّافِ
الَّذِي يَطُوفُ عَلَى النَّاسِ فَتَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ وَالتَّمْرَةُ
وَالتَّمْرَتَانِ قَالُوا فَمَا الْمِسْكِينُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الَّذِي لَا
يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ وَلَا يُفْطَنُ لَهُ فَيُتَصَدَّقَ عَلَيْهِ وَلَا يَسْأَلُ
النَّاسَ شَيْئًا
Artinya : Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah
menceritakan kepada kami Al Mughirah Al Hizami dari Abu Zinad dari Al A'raj
dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Orang miskin bukanlah mereka yang berkeliling meminta-minta kepada orang
banyak, lalu peminta itu diberi sesuap dua suap, atau sebutir dua butir kurma."
Para sahabat bertanya, "Kalau begitu, seperti apakah orang yang miskin
itu?" Beliau menjawab: "Orang miskin sesungguhnya ialah mereka yang
tidak memiliki apa-apa untuk menutupi kebutuhannya, namun keadaannya itu tidak
diketahui orang supaya orang bersedekah padanya, dan tidak pula meminta-minta
kesana kemari."
Hadis tersebut lebih merinci ciri-ciri orang miskin. Yaitu orang
yang tidak memiliki apa-apa untuk memenuhi kebutuhan namun tidak meminta-minta
kepada orang lain sehingga keadaannya tidak diketahui orang lain.
3.
Hadis
tentang keutamaan sedekah kepada kerabat daripada orang miskin
NASAI,
hadis 2535:
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ عَبْدِ الْأَعَلَى قَالَ حَدَّثَنَا خَالِدٌ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ عَوْنٍ عَنْ
حَفْصَةَ عَنْ أُمِّ الرَّائِحِ عَنْ سَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ
عَنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الصَّدَقَةَ عَلَى الْمِسْكِينِ صَدَقَةٌ
وَعَلَى ذِي الرَّحِمِ اثْنَتَانِ صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Abdul A'la dia
berkata; Telah menceritakan kepada kami Khalid dia berkata; Telah menceritakan
kepada kami Ibnu 'Aun dari Hafshah dari Ummu Ar Raaih dari Salman bin 'Amir
dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya sedekah
kepada orang miskin pahalanya satu sedekah, sedangkan sedekah kepada kerabat
pahalanya dua; pahala sedekah dan pahala silaturrahim."
Hadis tersebut memberi gambaran bahwa sedekah kepada orang miskin
akan mendapat satu pahala. Sedangkan sedekah kepada kerabat akan mendapat dua pahala
sedekah. Sehingga sedekah kepada kerabat lebih diutamakan daripada sedekah
kepada orang miskin.
4.
Hadis
tentang hak orang miskin menerima zakat
MALIK
, hadis 535:
حَدَّثَنِي يَحْيَى
عَنْ مَالِك عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلَّا
لِخَمْسَةٍ لِغَازٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا أَوْ لِغَارِمٍ أَوْ
لِرَجُلٍ اشْتَرَاهَا بِمَالِهِ أَوْ لِرَجُلٍ لَهُ جَارٌ مِسْكِينٌ فَتُصُدِّقَ عَلَى
الْمِسْكِينِ فَأَهْدَى الْمِسْكِينُ لِلْغَنِيِّ
Artinya: Telah menceritakan kepadaku Yahya dari Malik dari Zaid bin
Aslam dari 'Atha bin Yasar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Zakat tidak dihalalkan untuk orang kaya kecuali untuk lima golongan;
orang yang berperang di jalan Allah, pemungut zakat, orang yang terbelit
hutang, orang yang membeli harta zakat dengan hartanya, orang yang mempunyai
tetangga yang miskin yang diberi harta zakat, kemudian orang miskin tersebut memberinya
hadiah kepada orang kaya tersebut."
Pada hadis tersebut menyebutkan golongan-golongan yang berhak
menerima zakat. Salah satu golongan tersebut adalah orang miskin.
3.
Kajian Konfirmatif dengan Al-Qur’an
Untuk dapat memahami hadis Nabi tentang orang
miskin dengan benar sehingga terhindar dari penyimpangan dan penta’wilan harus
dilakukan di bawah arahan al-Qur’an.
Hadis
Nabi berfungsi sebagai penjelas teoritis dan implemantasi prkatis dari
al-Qur’an.[20]
Maka dari itu seharusnya sebuah hadis yang Sahih tidak akan bertentangan dengan
apa yang disampaikan al-Qur’an. Apabila
hadis Sahih betentangan dengan al-Qur’an maka terdapat beberapa kemungkinan. Pertama,
hadis tersebut dipertanyakan kesahihannya. Kedua, Pemahaman kita terdapat hadis tidak sesuai. Ketiga,
pertentangan terjadi sebatas sebagai dugaan.[21]
Di antara ayat-ayat al-Qur’an yang dikonfirmasi dengan hadis-hadis
tentang kemiskinan yaitu al-Baqarah ayat 273:
لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا
يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ
التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا
وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Artinya: Berinfaklah kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh
jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat berusaha di bumi; orang tidak tahu
menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta. Kamu
kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang
secara mendesak. Dan apa saja harta yang
baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah) maka sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui.
Ayat di atas merupakan anjuran untuk berinfak kepada orang fakir
yang tidak memperlihatkan kesusahannya (kefakirannya). Orang fakir yang kerap
disandingkan dengan orang miskin yang berada pada jalan Allah, yaitu orang
fakir yang sebenar-benarnya tidak akan meminta-minta secara mendesak kepada
orang lain. Orang-orang inilah yang lebih berhak mendapat infak.
Selanjutnya pada surat at-Taubah ayat 60:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ
وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ
وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ
وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Artinya:
Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para mu’alaf, untuk budak, orang-orang yang berhutang,
untuk jalan Allah, dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai
ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ayat di atas secara umum membahas
orang-orang yang berhak menerima zakat. Salah satu golongan yang berhak
menerima zakat adalah orang miskin. Sedang penjelasan secara rinci mengenai
orang miskin seperti apa yang berhak menerima zakat ada pada surat Ad Dzariat ayat 19:
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ
لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
Artinya: Dan pada harta-harta
mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak
mendapat bagian.
Pada
surat ad Dzariat ayat 19 tersebut terdapat hak orang miskin yang berhak
menerima zakat maupun infak, yaitu orang miskin yang meninta-minta dan orang
miskin yang tidak mendapat bagian. Menurut penulis “orang miskin yang tidak
mendapat bagian” ini memiliki arti yang sangat luas, salah satunya adalah
memiliki artian bahwa orang miskin tersebut tidak meminta-minta sehingga
keberadaaanya tidak diketahui dan pada akhirnya tidak mendapat bagian zakat.
4. Analisis Realita Historis
a. Makro
Dalam kehidupan bangsa Arab
zaman dahulu sudah banyak orang fakir miskin yang memerlukan bantuan zakat
maupun shadaqah. Pada saat itu orang miskin telah memiliki budaya meminta-minta
kepada orang lain.
Sementara itu ada pula Orang
miskin yang terikat jihad dijalan Allah, yaitu orang yang tidak mampu memenuhi
kebutuhannya namun tidak meminta-minta secara mendesak kepada orang lain. Maka
dengan latar belakang tersebut maka ada kemungkinan hadis Bukhori tersebut
muncul untuk membedakan miskin yang layak mendapat shadaqah dan zakat dengan
miskin yang tidak berhak mendapatkannya.
b. Mikro
Hadis tentang orang miskin tersebut muncul sangat erat kaitannya dengan
turunnya firman Allah pada surat al-Baqarah ayat 273. Di mana pada ayat
tersebut Allah berfirman “Mereka tidak meminta kepada Orang Secara
Mendesak”. Lalu Nabi menerangkan beberapa ukuran seseorang dikatakan
berkecukupan. Sabda Nabi Saw “Dan ia tidak menemukan kecukupan yang
mencukupinya.” Sabda ini berdasar firman Allah, “Kepada orang-orang
fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah.”[22]
5. Analisis Generalisasi
Secara tekstual hadis
Bukhori nomor 1385 tersebut menerangkan ciri-ciri orang miskin yang dilihat
dari pendekatan psikologis. Di mana setelah melakukan beberapa kajian-kajian
terhadap hadis yang berkaitan, dan kajian konfirmatif terhadap al-Qur’an dapat
ditarik beberapa point penting terkait hadis tentang orang miskin ini.
Dalam hadis tentang
orang miskin Nabi bersabda bahwa bukanlah disebut orang miskin itu yang
berkeliling kepada manusia untuk meminta-minta, akan tetapi orang miskin adalah
orang yang kekurangan namun ia malu meminta-minta kepada manusia secara
mendesak. Bahkan di hadis lain Nabi bersabda “Sesungguhnya Allah tidak
menyukai atas tiga perkara; perkataan yang tidak jelas, menyia-nyiakan harta,
dan banyak meminta.”
Namun dalam konteks
sosial masa kini orang miskin identik dengan orang yang meminta-minta kepada
orang lain dengan memperlihatkan kekurangan yang ia miliki. Hingga saat ini
belum ada batasan mutlak di mana seseorang dapat dikatakan sebagai orang
miskin.
Akan tetapi masyarakat memandang keterpenuhan
kebutuhan menjadi tolak ukur seseorang dapat dikatakan miskin.
Selain itu banyak pula
orang yang tidak miskin namun mengaku miskin agar mendapat hak-hak yang
seharusnya diperoleh orang miskin. Atau orang miskin yang masih dapat memenuhi
kebutuhan namun tidak berusaha memenuhi kebutuhannya. Hal ini tentunya
merupakan problem bagi umat muslim dalam menentukan orang miskin seperti apa
yang harus diberikan shadaqah . Padahal dalam hadis tersebut jelas disebutkan
bahwa orang miskin bukanlah orang yang meminta-minta secara mendesak.
Dengan pemahaman
tersebut, maka hadis ini secara khusus memberi gambaran bahwa sikap malu adalah
sikap yang dianjurkan dalam setiap keadaan, termasuk malu untuk meminta-minta
kepada orang lain. Selain itu hadis ini memberikan petunjuk bagi orang yang
bersedekah yaitu mengutamakan sedekah kepada orang yang menjaga diri daripada
meminta-minta.
C.
Kritik Praksis
1.
Hakikat Kemiskinan Menurut al-Qur’an
Kemiskinan secara singkat diartikan sebagai standar tingkat hidup yang
rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau
segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam
masyarakat yang bersangkutan.[23]
Dengan kata lain kemiskinan dapat berbeda-beda antara satu masyarakat dengan
masyarakat lain yang tidak sama standar kehidupan mereka pada umumnya.[24]
Kajian tentang hakikat kemiskinan menurut al-Qur’an terkait dengan tiga hal; a.
Hubungan antara manusia dan harta benda. b. Pengertian fakir dan miskin. c.
Kemiskinan: antara tindakan manusia dan sunnah Allah. Adapun perinciannya
adalah sebagai berikut:
a.
Hubungan antara Manusia dan Harta Benda
Hubungan manusia dan harta benda dijelaskan dalam beberapa ayat al-Qur’an
seperti surat al-Maidah ayat 17, Taha ayat 6, al-Baqarah ayat 29, dan
lain-lain. Adapun secara umum ayat-ayat tersebut menjelaskan beberapa point
yaitu;[25]
(1) Manusia memiliki kecenderungan mengumpulkan harta benda. (2) Manusia sangat
mencintai harta benda. (3) Manusia cenderung kikir karena sangat mencintai
harta benda. (4) Manusia diberikan cobaan dengan harta benda. (5) Bagi orang
beriman, harta benda merupakan sarana untuk mensucikan dan mendekatkan diri
kepada Allah. (6) Bagi orang kafir dan munafik, harta benda tidak dapat
menyelamatkan dari siksa neraka, harta benda merupakan sebab mereka tersesat.
(7) Manusia dapat dipalingkan dari ingat kepada Allah oleh harta bendanya.
Selanjutnya
menurut al-Qur’an sendiri harta benda adalah sarana yang bersifat netral, bukan menjadi
penentu pertanda kemuliaan dan kehinaan pada diri seseorang di hadapan Allah.
Sehingga tidak ada hubungan antara kemiskinan dan kehinaan, kemuliaan dan
kehinaan manusia bukan disebabkan oleh adanya harta benda yang dimiliki.[26]
Sekalipun tidak ada hubungan antara kemiskinan dengan kehinaan, akan tetapi
dalam al-Qur’an tetap memberi anjuran untuk tidak
melupakan kehidupan dunia denagn melakukan aktifitas-aktifitas pekerjaan demi
memenuhi kebutuhan hidup. Dengan kata lain aktifitas kerja adalah tuntutan
keagamaan sekaligus tuntutan sosial. Cara pandang manusia terhadap harta benda
akan mempengaruhi penyikapan manusia terhadap proses peraihan dan penggunaan
harta benda. [27]
b.
Pengertian Fakir dan Miskin
Kata faqir (bentuk mufrad), fuqara (bentuk jama’) dan faqr (bentuk masdar) di dalam
al-Qur’an tersebar dalam 13 ayat pada 10 surat. Di antaranya surat an-Nisa’,
al-Baqarah, Ali Imran, al-Taubah, dan lain-lain. Secara umum dalam al-Qur’an mengartikan
kata fakir sebagai orang yang memiliki harta benda tetapi karena sebab tertentu
ia terpisah dari harta tersebut, mereka tidak dapat berusaha memenuhi kebutuhan
hidup. Kefakiran adalah keadaan tidak tercukupinya kebutuhan hidup karena
sebab-sebab tertentu.[28]
Sedangkan
kata miskin (bentuk tunggal) dan kata masakin (bentuk jamak)
serta maskanah (bentuk masdhar) terdapat dalam 25 ayat dalam 19 surat.
Diantaranya terdapat pada surat al-Kahfi, al-Haqqah, Ali Imran, al-Insan, dan
lain-lain. Secara umum dalam al-Qur’an menjelaskan bahwa orang miskin adalah
orang yang sangat tidak berharta dan tidak berdaya atau lemah potensi dalam
mencukupi kebutuhan hidup, mereka sangat perlu menerima perlakuan-perlakuan
yang memperkuat jiwa dan kesabaran mereka. Dalam surat
al-Balad ayat 16 menjelaskan bahwa orang miskin bukan ditentukan oleh ketiadaan
atau kekurangan harta benda yang mereka miliki, akan tetapi lebih ditentukan
oleh lemah atau tiada potensi mereka untuk berusaha mencukupi kebutuhan hidup.[29] Sehingga
orang fakir dan miskin sama-sama sebagai pihak yang memerlukan bantuan untuk
mengentaskan diri dari kepapaan. Akan tetapi orang fakir memiliki potensi untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, sementara orang miskin tidak memiliki potensi
ataupun potensinya sangat rendah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.[30]
c.
Kemiskinan: antara tindakan manusia dan sunnah Allah
Sunnah adalah prinsip genaral pola tidakan Tuhan, atau secara singkat
adalah kebiasaanNya yang sering disebut sebagai hukum alam. Jika dikaitkan
dengan kemiskinan maka dapat dinyatakan oleh dua hal yaitu adanya tindakan atas
dasar kemauan manusia sendiri dalam mengupayakan pemenuhan kebutuhan hidupnya,
dan keberadaan sunnah Allah yang merupakan bentuk kausalitas.[31]
2.
Tolak Ukur Kemiskinan dan
Sebab-Sebab Kemiskinan
Tolak ukur kemiskinan ini digunakan untuk melihat golongan orang yang dapat
disebut sebagai orang miskin dan golongan orang yang taraf kehidupannya
termasuk dalam golongan orang miskin. Tolak ukur kemiskinan ini dapat dilihat dari
dua aspek yaitu;[32] (1) Diukur berdasarkan tingkat pendapatan per
waktu kerja (untuk Indonesia digunakan ukuran waktu kerja sebulan). Pada tahun
1976/1977 di Indonesia dibuat batasan orang miskin adalah orang yang
berpendapatan sama dengan atau kurang
dari Rp 30.000,- dalam sebulan. (2) Diukur berdasar kebutuhan minimal yang
harus dipenuhi sebuah keluarga agar dapat melangsungkan kehidupannya secara
sederhana tetapi memadahi sebagai warga masyarakat yang layak. Dalam hal ini
mencakup kebutuhan yang terkait dengan biaya sewa rumah, peralatan rumah yang
memadai, biaya-biaya untuk kesehatan, biaya pendidikan, biaya untuk sandang dan
pangan yang mencukupi dan memadai.
Para ahli ilmu sosial sependapat bahwa sebab utama kemiskinan adalah sitem
ekonomi yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan, tetapi kemiskinan itu
sendiri bukanlah sesuatu gejala yang terwujud semata-mata hanya karena sistem
ekonomi. Dalam kenyataannya, kemiskinan merupakan perwujudan dari hasil
interaksi yang melibatkan hampir seluruh aspek yang dimiliki manusia dalam
kehidupannya.[33]
Dalam surat
Maryam ayat 23-26 setidaknya mengandung penjelasan bahwa sebagian dari
sebab-sebab terjadinya kemiskinan dalam kaitannya dengan kondisi manusia itu
sendiri adalah kurangnya percaya pada kemampuannya, keengganan
mengaktualisasikan potensiyang ada dalam bentuk kerja nyata yang serius, serta
keengganan memberikan respek optimal terhadap perputaran waktu kehidupan. Kurangnya kepercayaan terhadap
kemampuan sendiri dapat disebabkan oleh adanya keyakinan bahwa kaya atau miskin
sudah ditentukan Tuhan. Kepercayaan tersebut bertentangan dengan berbagai ayat
yang memperintahkan agar manusia berusaha mengaktualisasikan potensi-potensi yang
ia miliki.[34]
Selain itu tingkat pendidikan juga dapat menyebabkan kemiskinan. Tampak
terjadi korelasi antara tingkat pendidikan dengan kepercayaan terhadap kemapuan
diri sendiri. Juga terdapat hubungan antara kekurangan kepercayaan diri dengan
terjadinya kemiskinan.[35]
Sedangkan salah satu sebab
kemiskinan yang berkaitan dengan kondisi sosial ialah terkonsentrasinya modal
di tangan orang-orang kaya (kolongmerat). Terkonsentrasinya modal di tangan
mereka menyebabkan orang-orang fakir tidak memiliki kesempatan untuk
mengaktualisasikan potensi-potensi demi meraih prestasi di bidang ekonomi.
Memiliki potensi tanpa didukung modal, seseorang tidak dapat mewujudkan kesejahteraan
hidupnya secara optimal.[36]
3.
Cara Penanggulangan Kemiskinan
Selama ini pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan hanyalah melalui
pendekatan ekonomi. Untuk itu perlu pendekatan lain dalam menanggulangi kemiskinan dengan pemberdayaan lapisan
masyarakat miskin dengan beberapa langkah yaitu;[37]
(1) Pemberdayaan masyarakat secara aktif. Ini bertujuan menekan perasaan
ketidak berdayaan masyarakat miskin bila berhadapan dengan struktur
sosial-politis. Langkah ini dilakukan dengan cara meningkatkan kesadaran kritis
atas posisinya dalam struktur sosial-politik di mana orang miskin itu tinggal,
sehingga ia tidak mudah akan nasibnya.
(2) Setelah kesadaran kritis atas posisi orang miskin dalam struktur sosial
dan politik, maka langkah selanjutnya adalah melalukan reorganisasi dalam
rangka meningkatkan produktivitas kerja dan kualitas hidupnya.
(3) Menanamkan rasa kesamaan dan memberi gambaran bahwa kemiskinan bukan
merupakan takdir tetapi penjelmaan kontruksi sosial. Nasib orang miskin
bukannya tidak dapat diubah, tetapi dapat diubah dengan kekuatan diri sendiri.
(4) Merealisasi perumusan pembangunan dengan melibatkan masyarakat miskin
secara penuh. Merealisasikan program pembangunan akan tercapai jika komunikasi
politik antara pemegang kekuasaan, kelompok-kelompok strategis, dan masyarakat
miskin tidak mengalami distorsi.
(5) Perlu pembangunan sosial dan budaya bagi masyarakat miskin. Selain
perubahan struktur yang diperlukan juga perubahan-perubahan nilai-nilai positif
kepada lapisan miskin seperti perencanaan hidup, optimisme, perubahan kebiasaan
hidup, peningkatan produktivitas kerja dan lain-lain.
(6) Perlu redistribusi infrastruktur pembangunan yang lebih merata. Tanpa
dukungan infrastruktur yang memadai orang miskin tetap saja tidak memperoleh
akses ekonomi yang akibatnya tidak memiliki akses ke bidang-bidang lainnya.
D. Kontekstualisasi
Pada realitas sosial masa kini masalah kemiskinan semakin
problematis. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, masyarakat miskin
mendominasi sebagian besar lapisan masyarakat Indonesia. Semakin banyaknya
masyarakat miskin tersebut tentunya tak lepas dari beberapa sebab seperti
tingkat pendidikan, tingginya harga kebutuhan pokok, sulitnya mendapat
pekerjaan, dan yang paling penting adalah mentalitas masyarakt miskin yang
rendah dalamm usaha memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu perlu adanya
pendekatan religius melalui hadis Nabi terkait pemaknaan orang miskin ini.
Hadis Bukori
tentang miskin tersebut menunjukkan hakekat orang miskin yang sesuai dengan
konteks ayat al-Qur’an. Pada hakekatnya orang miskin dan kaya sama-sama diuji
oleh Allah dalam bidang harta. Orang kaya diuji dengan kelebihan hartanya, dan
orang miskin diuji dengan kekurangannya.
Hadis tersebut juga memberi pelajaran kepada
manusia agar tidak meminta-minta kepada
selain Allah. Kekurangan harta tidak lantas menjadikan seseorang untuk gampang
meminta-minta kepada orang lain. Keadaannya itu harus dihadapi dengan kesabaran
dengan tetap ikhtiar dalam usaha
memenuhi kebutuhannya. Orang miskin yang diuji dengan kekurangannya tersebut
bukan berarti hina dimata Allah. Meski tidak memiliki harta, mereka memiliki
mentalitas dan derajad yang tinggi di hadapan Allah. Inilah hakekat orang
miskin dilihat dari mentalitasnya bukan dari kepemilikan hartanya.
Sedangkan
bagi orang yang kaya yang diberi kelebihan harta, seharusnya memperhatikan
golongan orang-orang yang miskin tetapi
tidak meminta-minta tersebut. Karena pada masa kini banyak orang miskin palsu
maupun orang miskin yang masih mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengukuran
kualitas seseorang bukan dilihat dari kepemilikan yang mereka punya maupun
perilaku-perilaku kesehariannya, melainkan bagaimana mentalitas seseorang dalam
menjalankan kehidupannya. Orang yang diberi kelebihan harta harus jeli dalam melihat kenyataan di
sekitarnya dan peduli dengan keadaan sekitarnya.
Untuk
konteks masyarakat secara umum, hadis ini memberi pelajaran bahwa malu
merupakan hal yang penting dalam menentukan kualitas seseorang. Malu di sini
berarti malu terhadap perilaku maupun mentalitas jelek yang dimiliki. Dalam
menjalankan kehidupan tentunya selalu ada jalan kemudahan dalam setiap
kesulitan, gampang menyerah bukanlah solusi, apalagi sampai mengandalkan iba
dari orang lain. “Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum
itu mengubah diri mereka sendiri.”
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asqalani,
Ibnu Hajar. 2009. Fathul Baari.
Jilid 8. Terj Amiruddin. Jakarta:Pustaka Azzam.
Al-Mawardi, Imam.
2000. Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam Jakarta:
Geman Insani.
Askar. S. 2010. Kamus al-
Azhar. Jakarta. Senayan Publishing.
Dewanta, Awan Setya, Nanang Pamuji, dkk., 1995. Kemiskinan dan
Kesenjangan di Indonesia. Yogyakarta:Aditya Media.
Gazalba, Sidi. 1985. Asas Agama Islam. Jakarta. PT. Bulan
Bintang.
Hasan , M. Ali. Zakat
dan Infaq. 2006. Jakarta: Kencana.
Ibrahim, Sa’ad. 2007. Kemiskinan dalam Prespektif al-Qur’an. Malang:
UIN Malang Press.
Mas’ud, Muh. Ridwa. 2005. Zakat dan Kemiskinan,
Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Umat. Yogya. UII Press.
Mas’udi, Masdar F. 2005. Menggagas Ulang Zakat .
Bandung: Mizan.
Munawir, Ahmad Warson.1984. Kamus al-Munawir. Surabaya:
Pustaka Progresif.
Qardawi, Yusuf. 1994. Metode
Memahami As-Sunnah Dengan Benar Terj. Saifullah Kamalie. Jakarta: Media
Da’wah.
Rahman, Fazlur. Doktrin
Ekonomi Islam. Yogyakarta. Dana Bakti Wakaf.
Saparlan , Parsudi (Ed.),1948 . Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta:Sinar
Harapan.
http://kbbi.web.id/miskin diakses pada 29 Maret 2017 pukul 10:00 WIB
https://id.wikipedia.org/wiki/Kemiskinan diakses pada 29 Maret 2017 pukul 10:10 WIB
[3] Sidi Gazalba, Asas
Agama Islam (Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 1985), hlm. 134.
[4]
Muh. Ridwan Mas’ud, Zakat dan Kemiskinan,
Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Umat (Yogya: UII Press, 2005), hlm. 55
[5]
Fazlur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam
(Yogyakarta:Dana Bakti Wakaf), hlm. 295.
[6] Ibid., hlm. 204.
[7] Ibid., hlm. 205.
[8] M. Ali Hasan, Zakat
dan Infaq (Jakarta: Kencana, 2006),
hlm. 96.
[9] Imam al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan
dalam Takaran Islam (Jakarta: Geman Insani, 2000), hlm. 241.
[10] Masdar F. Mas’udi, Menggagas Ulang Zakat (Bandung,
Mizan, 2005), hlm. 115.
[11]
S.Askar, Kamus al- Azhar (Jakarta:Senayan Publishing, 2010), hlm. 340
[12] Ibid.
[13] Ibid,
hlm. 814.
[14] Ahmad
Warson Munawir, Kamus al-Munawir (Surabaya: Pustaka Progresif,
1984), hlm. 872
[15] Ibid,
hlm. 485.
[16] Ibid,
hlm. 1021.
[17]Ibid,
hlm. 1063.
[18] Ibid,
hlm. 600.
[19]
S.Askar, Kamus al- Azhar (Jakarta:Senayan Publishing, 2010), hlm. 313.
[20] Yusuf
Qardawi, Metode Memahami As-Sunnah Dengan Benar Terj. Saifullah Kamalie
(Jakarta: Penerbit Media Da’wah, 1994), hlm. 148.
[21] Yusuf
Qardawi, Metode Memahami As-Sunnah Dengan Benar Terj. Saifullah Kamalie
(Jakarta: Penerbit Media Da’wah, 1994), hlm. 149.
[22] Ibnu
Hajar al-Asqalani, Fathul Baari, terj. Amiruddin, (Jakarta:Pustaka Azzam, 2009), jld. 8,
hlm. 241.
[23] Parsudi
Saparlan (Ed.), Kemiskinan di Perkotaan, (Jakarta:Sinar Harapan, 1984),
hlm. 11-12.
[24] Sa’ad
Ibrahim, Kemiskinan dalam Prespektif al-Qur’an, (Malang:UIN Malang
Press, 2007), hlm. 17.
[25] Ibid,
hlm. 19-20.
[26] Ibid,
hlm. 22.
[27] Ibid,
hlm. 28.
[28] Ibid,
hlm. 35.
[29] Ibid,
hlm. 40.
[30] Ibid,
hlm. 46.
[31] Ibid,
hlm. 51.
[32] Parsudi
Saparlan (Ed.), Kemiskinan di Perkotaan, (Jakarta:Sinar Harapan, 1984),
hlm. Xi-xii.
[33] Parsudi
Saparlan (Ed.), Kemiskinan di Perkotaan, (Jakarta:Sinar Harapan, 1984),
hlm. xii.
[34] Sa’ad
Ibrahim, Kemiskinan dalam Prespektif al-Qur’an, (Malang:UIN Malang
Press, 2007), hlm. 63.
[35] Ibid
[36] Ibid,
hlm. 82.
[37] Awan
Setya Dewanta, Nanang Pamuji, dkk., Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia,
(Yogyakarta:Aditya Media, 1995), hlm. 34-35.
0 komentar:
Posting Komentar